Minggu, 17 Mei 2015

Pembelajaran Agama Islam, sarana Pengembang Kepribadian



Oleh : Dr. Dadang Gani GH., M.Ag
Salah satu sarana pendidikan nilai dan pengembangan kepribadian seseorang adalah proses pembelajaran materi keagamaan, sebab tujuan utama pembelajaran materi keislaman adalah pendidikan nilai dan karakter mulia.  Salah satu lembaga pendidikan yang memiliki program pembelajaran agama dengan porsi yang besar adalah pesantren. Sebagai lembaga pendidikan yang berciri khas keislaman, pesantren memiliki peran yang luas untuk menciptakan suasana dan situasi pembelajaran yang dapat menumbuhkan keimanan dan ketakwaan serta mengembangkan potensi para santri untuk aktif dan kreatif dalam kehidupan mereka di lingkungan pesantren. Dengan kepercayaan seperti itu, banyak lembaga pendidikan Islam terutama pesantren mencari formulasi Pembelajaran Agama Islam yang efektif sehingga mampu membentuk kepribadian para santri dengan wujud adanya kesadaran berakhlak dalam kehidupan sosialnya. Sebab, bagi pesantren, integritas kepribadian dipandang sebagai tujuan utama dalam pembelajaran, karena integritas itu sendiri adalah keterpaduan antara pikiran, perasaan dan tindakan. Integritas kepribadian itu sendiri dihasilkan dari proses pendidikan nilai yang dijalankan. Pesantren tertuntut memiliki perencanaan dan disain yang unggul agar dapat mengantisipasi dan memperkirakan tentang apa yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran termasuk pembelajaran keagamaan sehingga dapat mengantar para santri mencapai tujuan yang diharapkan. Peran pimpinan lembaga dan para pendidik serta tenaga kependidikan mempunyai pengaruh besar terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Mereka harus peka terhadap berbagai situasi sehingga dapat menyusun dan mengembangkan program yang dibuatnya agar efektif. Lingkungan pesantren yang baik akan memberikan umpan balik kepada para santri dalam memelihara minat dan semangat mereka untuk melaksanakan internalisasi nilai baik melalui pembelajaran atau kehidupan di pesantren. Belajar adalah proses berubah. Dan proses perubahan tersebut hasil dari penyerapan nilai yang ada. Pembelajaran Agama Islam meliputi seluruh program atau kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan materi keislaman. Hal itu mencakup beberapa aspek, antara lain pengembangan tujuan pembelajaran, pemetaan bahan ajar, pengembangan proses pembelajaran, pengembangan evaluasi pembelajaran dan hal yang mendukung dalam pembelajaran yang lebih luas antara lain pola interaksi, aktifitas, lingkungan dan budaya di pesantren termasuk di dalamnya model lembaga pendidikan itu sendiri. Lembaga pendidikan berbasis pesantren memiliki waktu yang luas dalam menyediakan kegiatan dan program pembelajaran serta memiliki otoritas penuh untuk mendidik para santrinya. Pesantren memiliki jadwal rutin pembelajaran materi keagamaan yang telah ditetapkan di luar pembelajaran di sekolah. Dengan model pendidikan berasrama, pesantren dapat secara maksimal mengembangkan berbagai kegiatan dan program yang mendukung terhadap proses pembelajaran keagamaan. Dalam dunia pendidikan, setidaknya ada enam faktor[1] yang dapat membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi dalam pembelajaran, yaitu: faktor tujuan, peserta didik, pendidik, materi, metode pembelajaran, dan situasi lingkungan. Substansi Pembelajaran Agama Islam di pesantren adalah proses pembelajaran moral dan karakter yang merupakan keseluruhan dinamika relasional antar para santri dengan berbagai macam dimensi. Hasilnya peserta didik dapat menghayati hakikat kehidupan dan semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan dirinya sebagai pribadi dan makhluk sosial. Aturan dan norma yang dipahami menjadi pegangan bagi seseorang dan komunitasnya dalam bersikap dan berperilaku dan mereka semakin menghargai kemartabatan masing-masing. Karena itu pendidikan dan pembelajaran moral dan karakter lebih merupakan sebuah usaha dari individu untuk semakin membentuk dirinya sehingga menyatu atas nilai-nilai tertentu yang menjadi kendali atas kehidupannya.
            Pesantren berkewajiban menyediakan sarana dan program untuk mendorong proses internalisasi nilai agar tertanam pada diri setiap santri. Sebagaimana yang dinyatakan al-Abrasyi bahwa pembelajaran materi keagamaan merupakan pendidikan yang memiliki jiwa budi pekerti yang bertujuan untuk mencapai akhlak yang sempurna.[2] Akhlak sendiri merupakan serangkaian sendi moral, keutamaan tingkah laku dan naluri yang wajib dilakukan, dibiasakan dan diusahakan sejak kecil.[3] Akhlak merupakan aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun negara dan akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta.[4]
            Adapun Imam al-Ghazali mendefenisikan akhlak sebagai bentuk jiwa (nafs) yang terpatri, yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Apabila suatu bentuk memunculkan beragam perbuatan indah dan terpuji berdasarkan akal dan syariat, maka ia dinamakan akhlak yang terpuji (akhlak mahmudah). Sebaliknya, jika darinya muncul beragam perbuatan buruk, ia dinamakan akhlak tercela (akhlak mazmumah)[5]
            Seorang santri dianggap berhasil mengembangkan kepribadiannya apabila dia telah menyenangi dan menyadari dengan sepenuh hati kebenaran ajaran agama yang dia pelajari, lalu dijadikannya sebagai sistem nilai diri dan sebagai penuntun hidup dalam berbagai keadaan. Dalam pembelajaran ilmu agama Islam, penghayatan dan pengamalan nilai-nilai menjadi indikator berhasilnya proses pembelajaran. Internalisasi nilai-nilai yaitu terlihat ketika seorang anak belajar merasakan, menampilkan dan mengendalikan emosi melalui aktifitas hubungan interpersonal dengan lingkungan sosialnya. Keberhasilan tingkat pengamalan seseorang dipengaruhi oleh keberhasilan tingkat pemahaman dan penghayatannya terhadap satu materi. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap materi Agama Islam akan merasa senang mempelajarinya, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal.
            Dasar filosofis, pengembangan Pembelajaran Agama Islam, mengacu pada hakikat pembelajaran itu sendiri: Pertama, proses pembelajaran adalah proses yang kompleks, interaktif dan dinamis sehingga diperlukan perencanaan yang matang. Pembelajaran bukan hanya dalam ruangan saja tetapi dalam seluruh kegiatan yang disediakan di lembaga. Pembelajaran Agama Islam mengandung arti setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai dari materi agama. Kesiapan para ustad untuk mengenal karaktersitik para santri dalam Pembelajaran Agama Islam merupakan modal utama penyampaian bahan belajar dan menjadi indikator susksesnya pelaksanaan pembelajaran; Kedua, proses Pembelajaran Agama Islam yang terencana itu diarahkan untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran itu sendiri sehingga seluruh tujuan pembelajaran agama tercapai dengan maksimal. Pembelajaran agama tidak semata-mata berusaha untuk mencapai hasil belajar akan tetapi memperoleh hasil atau proses belajar yang terjadi pada diri anak. Proses itu merupakan waktu yang penting bagi terjadinya internalisasi nilai-nilai agama; Ketiga, suasana belajar dan Pembelajaran Agama Islam itu diarahkan agar pesera didik dapat mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam dirinya sesuai dengan fitrah yang diberikan Tuhan kepada setiap orang. Hal ini berarti proses pembelajaran itu harus berorientasi kepada peserta didik. Pembelajaran Agama Islam adalah upaya pengembangan potensi kebaikan peserta didik yang telah tertanam dan ada sejak ruh ditiupkan, dengan demikian anak harus dipandang sebagai organisme yang sedang berkembang dan memiliki potensi kebaikan.[6] Tugas pendidikan adalah mengembangkan potensi kebaikan yang dimiliki anak; Keempat, akhir dari proses pendidikan dan Pembelajaran Agama Islam adalah kemampuan anak memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan akhlak mulia.
            Dalam proses pembelajaran materi agama Islam dituntut untuk adanya pemahaman dari pihak pendidik berkaitan dengan proses pembelajaran baik formulasi tujuan, bahan ajar dan karakteristiknya, proses pembelajaran serta bentuk evaluasi yang sesuai. Sebagai mata pelajaran yang dianggap pokok di madrasah dan memiliki kurikulum dengan karakteristik tersendiri, hal ini menuntut upaya maksimal dalam meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap mata pelajaran ini. Semua menjadi tantangan yang selalu dihadapi oleh setiap guru, sebab banyak karakteristik bahan ajarnya yang sulit untuk disampaikan karena sifat dasar materi itu sendiri. Pembelajaran materi keagamaan yang diberikan secara utuh. Mulai dari pemberian pengetahuan, pembinaan sikap, dan kepribadiannya sampai kepada pembinaan tingkah laku sesuai dengan ajaran agama. Dengan pendidikan agama ini diharapkan tercipta suatu menifestasi nyata yang tercermin dalam perilaku bermoral. Moral dan nilai tersebut menjadi sifat yang menyatu dalam kepribadian anak. Segala sikap, tindakan dan perbuatan dikendalikan oleh nilai yang ada. Proses pembelajaran keagamaan ini tertuntut untuk menggunakan pendekatan yang humanis. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Syaibani bahwa proses pendidikan yang humanis dapat meningkatkan mutu pendidikan, tetapi dipengaruhi pula oleh keadaan sosial.[7]
Seluruh program dan kegiatan yang berkaitan dengan Pembelajaran Agama Islam harus berdasar pada pengembangan core curriculum yaitu peningkatan keimanan dan ketakwaan. Desain pembelajaran ini membutuhkan kajian yang bersifat filosofis sebab kurikulum yang ideal harus dipandang dan dianalisa secara mendalam dengan menggunakan filsafat.[8] Hakikatnya pendidikan agama bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana membentuk kepribadian siswa agar memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia dimanapun mereka berada, dan dalam posisi apapun mereka bekerja.
Sebagai lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam, pesantren modern[9] memiliki peran penting dalam proses pembentukan kepribadian para santri dan memiliki potensi untuk menjadi tempat alternatif pembelajaran. Pesantren modern memiliki lembaga pendidikan formal yang disebut madrasah ataupun sekolah. Melalui pendidikan madrasah ataupun pengajian diharapkan peserta didik atau disebut juga para santri memiliki dua kemampuan sekaligus, tidak hanya pengetahuan umum tetapi juga memiliki kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya. Saat ini, madrasah berbasis pesantren memiliki kurikulum terpadu dan integratif sebagai standarisasi kurikulum dengan beberapa perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Pesantren secara kualitas mempunyai peran yang sama dengan lembaga pendidikan lainnya malahan memiliki nilai lebih dilihat dari kurikulumnya yang terpadu.[10] Proses Pembelajaran Agama Islam memerlukan konsep tersendiri dalam pelaksanaannya. Untuk itu proses pembelajarannya perlu diupayakan metode dan bentuk-bentuk penyajian pesan yang menarik dan mudah dicerna.[11] Memahami karakteristik materi agama Islam dianggap penting karena sebagai basis untuk merancang dan menyusun program pembelajarannya. Hakikatnya, pembelajaran memiliki dua karakteristik, yaitu prosesnya sangat melibatkan proses mental secara maksimal, bukan hanya menuntut mereka sekedar mendengar dan mencatat, akan tetapi menghendaki adanya aktivitas dalam proses berpikir. Selanjutnya dapat membangun suasana dialogika yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir yang pada gilirannya membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksi sendiri. Dan itu bisa terjadi dalam pembelajaran dan kehidupan sosial di pesantren.
Dari alur berpikir di atas bahwa pendidikan Islam merupakan bingkai utama dalam penanaman nilai kepribadian. Sedangkan pendidikan nilai itu, dapat dilaksanakan di berbagai program. Salah satunya adalah Pembelajaran Agama Islam. Pembelajaran materi keagamaan di pesantren terkait dengan seluruh program dan kegiatan yang disediakan. Desain pembelajaran harus mampu mengembangkan dan menjabarkan nilai-nilai. Hal itu agar kurikulum dapat diaktualisasikan dalam proses pembelajaran sehingga hasil belajar terwujud dalam diri peserta didik.[12] Apapun yang dirancang dan didesain oleh seorang pendidik dalam membantu proses Pembelajaran Agama Islam secara maksimal tetap harus berlandaskan pada pembentukkan integritas kepribadian peserta didik.


[1] Fuad Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 7, Zahara Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 1995). hlm. 15 dan Barnadib, Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: ANDI offset, 1994), hlm. 6
[2] Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, terj. H. Bustami dan Johar Bahry, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 1.
[3] Abdullah Nasikh Ulwan, Pendidikan Anak Menurut Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, terj. Khalilulah Ahmad Masykur, (Bandung: Rema Rosda Karya, 1990), hlm. 169, Ruswan Thoyyib dan Darmu’in, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 63.
[4] Harun Nasution (et.all), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), cet. ke-28, hlm. 164, Anwar Masy’ari, Akhlaq al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 1
[5] Sayyid Kamal Haydari, Manajemen Ruh,  (Bogor: Cahaya, 2004), hlm. 29
[6] Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Madkur :
أن الإنسان من خلق الله و أنه مفطور علي توحيد الله و أن الأعتراف بربوبية الله فطرة في الكيان البشر
Ali Ahmad Madkur, Manhaj, hlm. 164
[7] Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1991), hlm. 57
[8] Kedudukan filsafat dalam kurikulum sejak lama dijelaskan oleh Hopkins “Philosophy has entered into every important decision that has ever been made about curriculum and teaching in the past and will continue to be the basis of every important decision in the future…there is rarely a moment in a school day when a teacher is not confronted with occasions where philosophy is a vital part of action”. Thomas Hopkin, Interaction: The Democratic Process, (Boston: D.C Heath, 1941), hlm. 198
[9] Pondok Pesantren modern merupakan lembaga pendidikan yang membangun struktur keilmuan yang holistik (syumuly) dan integratif karena menggabungkan sistem pesantren tradisional dengan sistem sekolah formal. Pesantren mengadopsi model pendidikan modern dengan adanya madrasah, bahkan mulai menggunakan bahasa asing selain bahasa Arab dalam menyampaikan materi karena saat sekarang para santri tidak hanya bisa dituntut untuk menguasai ilmu agama saja, melainkan mampu menguasai skill untuk menghadapi perubahan zaman. Sehingga santri sebisa mungkin akrab dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang dinilai mampu meningkatkan nilai santri di mata masyarakat.
[10] The traditional pondok pesantren was already there for quite a long time, but it was never recognized officially as part of eduacation system in the country. And the madrasah system, as we understand it now, was not yet in existence. This particular system began to develop only after 1950.  Mochtar Buchori, Notes on Education in Indonesia,  (Jakarta: The Jakarta Post, 2001), hlm. 5
[11] Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan, ( Jakarta : Rajawali Press, 2002), hlm. 93
[12] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Jakarta: Prenadha, 2002), hlm. 146

Artikel Terkait Kajian Pendidikan Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Postingan