Oleh : Dr. Dadang Gani GH., M.Ag
Salah satu sarana
pendidikan nilai dan pengembangan kepribadian seseorang adalah proses
pembelajaran materi keagamaan, sebab tujuan utama pembelajaran materi keislaman
adalah pendidikan nilai dan karakter mulia. Salah satu lembaga pendidikan yang memiliki
program pembelajaran agama dengan porsi yang besar adalah pesantren. Sebagai lembaga
pendidikan yang berciri khas keislaman, pesantren memiliki peran yang luas
untuk menciptakan suasana dan situasi pembelajaran yang dapat menumbuhkan
keimanan dan ketakwaan serta mengembangkan potensi para santri untuk aktif dan kreatif
dalam kehidupan mereka di lingkungan pesantren. Dengan kepercayaan seperti itu,
banyak lembaga pendidikan Islam terutama pesantren mencari formulasi Pembelajaran
Agama Islam yang efektif sehingga mampu membentuk kepribadian para santri
dengan wujud adanya kesadaran berakhlak dalam kehidupan sosialnya. Sebab, bagi
pesantren, integritas kepribadian dipandang sebagai tujuan utama dalam
pembelajaran, karena integritas itu sendiri adalah keterpaduan antara pikiran,
perasaan dan tindakan. Integritas kepribadian itu sendiri dihasilkan dari
proses pendidikan nilai yang dijalankan. Pesantren tertuntut memiliki
perencanaan dan disain yang unggul agar dapat mengantisipasi dan memperkirakan
tentang apa yang akan dilaksanakan dalam pembelajaran termasuk pembelajaran
keagamaan sehingga dapat mengantar para santri mencapai tujuan yang diharapkan.
Peran pimpinan lembaga dan para pendidik serta tenaga kependidikan mempunyai
pengaruh besar terhadap proses pembelajaran itu sendiri. Mereka harus peka
terhadap berbagai situasi sehingga dapat menyusun dan mengembangkan program
yang dibuatnya agar efektif. Lingkungan pesantren yang baik akan memberikan umpan
balik kepada para santri dalam memelihara minat dan semangat mereka untuk
melaksanakan internalisasi nilai baik melalui pembelajaran atau kehidupan di
pesantren. Belajar adalah proses berubah. Dan proses perubahan tersebut hasil
dari penyerapan nilai yang ada. Pembelajaran
Agama Islam
meliputi seluruh program atau kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan
materi keislaman. Hal itu mencakup beberapa aspek, antara lain pengembangan
tujuan pembelajaran, pemetaan bahan ajar, pengembangan proses pembelajaran,
pengembangan evaluasi pembelajaran dan hal yang mendukung dalam pembelajaran
yang lebih luas antara lain pola interaksi, aktifitas, lingkungan dan budaya di
pesantren termasuk di dalamnya model lembaga pendidikan itu sendiri. Lembaga
pendidikan berbasis pesantren memiliki waktu yang luas dalam menyediakan
kegiatan dan program pembelajaran serta memiliki otoritas penuh untuk mendidik
para santrinya. Pesantren memiliki jadwal rutin pembelajaran materi keagamaan
yang telah ditetapkan di luar pembelajaran di sekolah. Dengan model pendidikan
berasrama, pesantren dapat secara maksimal mengembangkan berbagai kegiatan dan
program yang mendukung terhadap proses pembelajaran keagamaan. Dalam dunia
pendidikan, setidaknya ada enam faktor[1] yang dapat
membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi dalam pembelajaran, yaitu:
faktor tujuan, peserta didik, pendidik, materi, metode pembelajaran, dan
situasi lingkungan. Substansi Pembelajaran Agama Islam di pesantren adalah
proses pembelajaran moral dan karakter yang merupakan keseluruhan dinamika
relasional antar para santri dengan berbagai macam dimensi. Hasilnya peserta
didik dapat menghayati hakikat kehidupan dan semakin bertanggung jawab atas
pertumbuhan dirinya sebagai pribadi dan makhluk sosial. Aturan dan norma yang
dipahami menjadi pegangan bagi seseorang dan komunitasnya dalam bersikap dan
berperilaku dan mereka semakin menghargai kemartabatan masing-masing. Karena
itu pendidikan dan pembelajaran moral dan karakter lebih merupakan sebuah usaha
dari individu untuk semakin membentuk dirinya sehingga menyatu atas nilai-nilai
tertentu yang menjadi kendali atas kehidupannya.
Pesantren
berkewajiban menyediakan sarana dan program untuk mendorong proses internalisasi
nilai agar tertanam pada diri setiap santri. Sebagaimana yang dinyatakan
al-Abrasyi bahwa pembelajaran materi keagamaan merupakan pendidikan yang memiliki
jiwa budi pekerti yang bertujuan untuk mencapai akhlak yang sempurna.[2] Akhlak sendiri
merupakan serangkaian sendi moral, keutamaan tingkah laku dan naluri yang wajib
dilakukan, dibiasakan dan diusahakan sejak kecil.[3] Akhlak merupakan
aspek fundamental dalam kehidupan seseorang, masyarakat maupun negara dan akhlak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang
mengatur hubungan antar sesama manusia, tetapi juga norma yang mengatur
hubungan antara manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta.[4]
Adapun Imam
al-Ghazali mendefenisikan akhlak sebagai bentuk jiwa (nafs) yang
terpatri, yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa
membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Apabila suatu bentuk memunculkan beragam
perbuatan indah dan terpuji berdasarkan akal dan syariat, maka ia dinamakan
akhlak yang terpuji (akhlak mahmudah). Sebaliknya, jika darinya
muncul beragam perbuatan buruk, ia dinamakan akhlak tercela (akhlak mazmumah)[5]
Seorang santri dianggap
berhasil mengembangkan kepribadiannya apabila dia telah menyenangi dan
menyadari dengan sepenuh hati kebenaran ajaran agama yang dia pelajari, lalu
dijadikannya sebagai sistem nilai diri dan sebagai penuntun hidup dalam
berbagai keadaan. Dalam pembelajaran ilmu agama Islam, penghayatan dan
pengamalan nilai-nilai menjadi indikator berhasilnya proses pembelajaran. Internalisasi
nilai-nilai yaitu terlihat ketika seorang anak belajar merasakan, menampilkan
dan mengendalikan emosi melalui aktifitas hubungan interpersonal dengan
lingkungan sosialnya. Keberhasilan tingkat pengamalan seseorang dipengaruhi
oleh keberhasilan tingkat pemahaman dan penghayatannya terhadap satu materi.
Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap materi
Agama Islam akan merasa senang mempelajarinya, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran
yang optimal.
Dasar filosofis,
pengembangan Pembelajaran Agama Islam, mengacu pada hakikat pembelajaran itu
sendiri: Pertama, proses pembelajaran adalah proses yang kompleks,
interaktif dan dinamis sehingga diperlukan perencanaan yang matang. Pembelajaran
bukan hanya dalam ruangan saja tetapi dalam seluruh kegiatan yang disediakan di
lembaga. Pembelajaran Agama Islam mengandung arti setiap kegiatan yang
dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai
dari materi agama. Kesiapan para ustad untuk mengenal karaktersitik para santri
dalam Pembelajaran Agama Islam merupakan modal utama penyampaian bahan belajar
dan menjadi indikator susksesnya pelaksanaan pembelajaran; Kedua, proses
Pembelajaran Agama Islam yang terencana itu diarahkan untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran itu sendiri sehingga seluruh tujuan
pembelajaran agama tercapai dengan maksimal. Pembelajaran agama tidak semata-mata
berusaha untuk mencapai hasil belajar akan tetapi memperoleh hasil atau proses
belajar yang terjadi pada diri anak. Proses itu merupakan waktu yang penting
bagi terjadinya internalisasi nilai-nilai agama; Ketiga, suasana belajar
dan Pembelajaran Agama Islam itu diarahkan agar pesera didik dapat
mengembangkan potensi kebaikan yang ada dalam dirinya sesuai dengan fitrah yang
diberikan Tuhan kepada setiap orang. Hal ini berarti proses pembelajaran itu
harus berorientasi kepada peserta didik. Pembelajaran Agama Islam adalah upaya
pengembangan potensi kebaikan peserta didik yang telah tertanam dan ada sejak
ruh ditiupkan, dengan demikian anak harus dipandang sebagai organisme yang
sedang berkembang dan memiliki potensi kebaikan.[6] Tugas pendidikan adalah mengembangkan potensi kebaikan
yang dimiliki anak; Keempat, akhir dari proses pendidikan dan Pembelajaran
Agama Islam adalah kemampuan anak memiliki kekuatan spiritual keagamaan dan
akhlak mulia.
Dalam proses
pembelajaran materi agama Islam dituntut untuk adanya pemahaman dari pihak pendidik
berkaitan dengan proses pembelajaran baik formulasi tujuan, bahan ajar dan
karakteristiknya, proses pembelajaran serta bentuk evaluasi yang sesuai.
Sebagai mata pelajaran yang dianggap pokok di madrasah dan memiliki kurikulum
dengan karakteristik tersendiri, hal ini menuntut upaya maksimal dalam
meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap mata pelajaran ini. Semua menjadi
tantangan yang selalu dihadapi oleh setiap guru, sebab banyak karakteristik
bahan ajarnya yang sulit untuk disampaikan karena sifat dasar materi itu
sendiri. Pembelajaran materi keagamaan yang diberikan
secara utuh. Mulai dari pemberian pengetahuan, pembinaan sikap, dan
kepribadiannya sampai kepada pembinaan tingkah laku sesuai dengan ajaran agama.
Dengan pendidikan agama ini diharapkan tercipta suatu menifestasi nyata yang
tercermin dalam perilaku bermoral. Moral dan nilai tersebut menjadi sifat yang
menyatu dalam kepribadian anak. Segala sikap, tindakan dan perbuatan
dikendalikan oleh nilai yang ada. Proses pembelajaran keagamaan ini tertuntut
untuk menggunakan pendekatan yang humanis. Sebagaimana yang dinyatakan oleh
Syaibani bahwa proses pendidikan yang humanis dapat meningkatkan mutu
pendidikan, tetapi dipengaruhi pula oleh keadaan sosial.[7]
Seluruh program dan
kegiatan yang berkaitan dengan Pembelajaran Agama Islam harus berdasar pada
pengembangan core curriculum yaitu peningkatan keimanan dan ketakwaan.
Desain pembelajaran ini membutuhkan kajian yang bersifat filosofis sebab
kurikulum yang ideal harus dipandang dan dianalisa secara mendalam dengan
menggunakan filsafat.[8] Hakikatnya
pendidikan agama bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi
bagaimana membentuk kepribadian siswa agar memiliki keimanan dan ketakwaan yang
kuat dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia dimanapun
mereka berada, dan dalam posisi apapun mereka bekerja.
Sebagai lembaga
pendidikan yang mempunyai ciri khas Islam, pesantren modern[9] memiliki peran penting
dalam proses pembentukan kepribadian para santri dan memiliki potensi untuk
menjadi tempat alternatif pembelajaran. Pesantren modern memiliki lembaga
pendidikan formal yang disebut madrasah ataupun sekolah. Melalui pendidikan
madrasah ataupun pengajian diharapkan peserta didik atau disebut juga para
santri memiliki dua kemampuan sekaligus, tidak hanya pengetahuan umum tetapi
juga memiliki kepribadian dan komitmen yang tinggi terhadap agamanya. Saat ini,
madrasah berbasis pesantren memiliki kurikulum terpadu dan integratif sebagai
standarisasi kurikulum dengan beberapa perubahan seiring dengan perkembangan
zaman. Pesantren secara kualitas mempunyai peran yang sama dengan lembaga
pendidikan lainnya malahan memiliki nilai lebih dilihat dari kurikulumnya yang
terpadu.[10] Proses Pembelajaran
Agama Islam memerlukan konsep tersendiri dalam pelaksanaannya. Untuk itu proses
pembelajarannya perlu diupayakan metode dan bentuk-bentuk penyajian pesan yang
menarik dan mudah dicerna.[11] Memahami karakteristik
materi agama Islam dianggap penting karena sebagai basis untuk merancang dan
menyusun program pembelajarannya. Hakikatnya, pembelajaran memiliki dua
karakteristik, yaitu prosesnya sangat melibatkan proses mental secara maksimal,
bukan hanya menuntut mereka sekedar mendengar dan mencatat, akan tetapi menghendaki
adanya aktivitas dalam proses berpikir. Selanjutnya dapat membangun suasana
dialogika yang diarahkan untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan berpikir
yang pada gilirannya membantu peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang
mereka konstruksi sendiri. Dan itu bisa terjadi dalam pembelajaran dan
kehidupan sosial di pesantren.
Dari alur berpikir di atas bahwa pendidikan Islam merupakan
bingkai utama dalam penanaman nilai kepribadian. Sedangkan pendidikan nilai
itu, dapat dilaksanakan di berbagai program. Salah satunya adalah Pembelajaran
Agama Islam. Pembelajaran materi keagamaan di pesantren terkait dengan seluruh
program dan kegiatan yang disediakan. Desain pembelajaran harus mampu
mengembangkan dan menjabarkan nilai-nilai. Hal itu agar kurikulum dapat
diaktualisasikan dalam proses pembelajaran sehingga hasil belajar terwujud
dalam diri peserta didik.[12] Apapun yang dirancang
dan didesain oleh seorang pendidik dalam membantu proses Pembelajaran Agama
Islam secara maksimal tetap harus berlandaskan pada pembentukkan integritas
kepribadian peserta didik.
[1] Fuad
Ihsan, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 7, Zahara
Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Grasindo, 1995).
hlm. 15 dan Barnadib, Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: ANDI
offset, 1994), hlm. 6
[2] Muhammad
‘Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok
Pendidikan Islam, terj. H. Bustami dan Johar Bahry, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1970), hlm. 1.
[3] Abdullah
Nasikh Ulwan, Pendidikan Anak Menurut
Islam: Pemeliharaan Kesehatan Jiwa, terj. Khalilulah Ahmad Masykur,
(Bandung: Rema Rosda Karya, 1990), hlm. 169, Ruswan Thoyyib dan Darmu’in, Pemikiran Pendidikan Islam: Kajian Tokoh
Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 63.
[4] Harun
Nasution (et.all), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta:
Djambatan, 1992), cet. ke-28, hlm. 164, Anwar Masy’ari, Akhlaq al-Qur’an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 1
[5] Sayyid Kamal Haydari, Manajemen Ruh, (Bogor: Cahaya, 2004), hlm. 29
[6]
Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Madkur :
أن الإنسان من خلق الله و أنه مفطور علي توحيد الله و أن الأعتراف بربوبية
الله فطرة في الكيان البشر
Ali Ahmad Madkur, Manhaj, hlm.
164
[7] Al-Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bulan Bintang,
1991), hlm. 57
[8] Kedudukan filsafat dalam kurikulum sejak
lama dijelaskan oleh Hopkins “Philosophy has entered into every important
decision that has ever been made about curriculum and teaching in the past and
will continue to be the basis of every important decision in the future…there
is rarely a moment in a school day when a teacher is not confronted with
occasions where philosophy is a vital part of action”. Thomas Hopkin, Interaction:
The Democratic Process, (Boston: D.C Heath, 1941), hlm. 198
[9] Pondok Pesantren modern merupakan lembaga pendidikan yang
membangun struktur keilmuan yang holistik (syumuly) dan integratif karena menggabungkan sistem pesantren
tradisional dengan sistem sekolah formal. Pesantren mengadopsi model pendidikan
modern dengan adanya madrasah, bahkan mulai menggunakan bahasa asing selain bahasa
Arab dalam menyampaikan materi karena saat sekarang para santri tidak hanya
bisa dituntut untuk menguasai ilmu agama saja, melainkan mampu menguasai skill
untuk menghadapi perubahan zaman. Sehingga santri sebisa mungkin akrab dengan
perkembangan ilmu pengetahuan yang dinilai mampu meningkatkan nilai santri di
mata masyarakat.
[10] The traditional pondok pesantren was already there for quite a long time,
but it was never recognized officially as part of eduacation system in the
country. And the madrasah system, as we understand it now, was not yet in
existence. This particular system began to develop only after 1950. Mochtar Buchori, Notes
on Education in Indonesia, (Jakarta:
The Jakarta Post, 2001), hlm. 5
[11] Abudin Nata, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,
( Jakarta : Rajawali Press, 2002), hlm. 93
[12] Muhaimin, Paradigma Pendidikan
Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Jakarta: Prenadha, 2002), hlm. 146
Artikel Terkait Kajian Pendidikan Islam
- Surat Ali Imran Ayat 159 (renungan untuk pendidik)
- Kajian Pembelajaran Agama Islam di Pesantren Modern
- Institusi Pendidikan dalam Perspektif al-Quran; sebuah kajian tematik
- Pembelajaran Agama Islam Pada Awal Kelahiran Muhammadiyah dan NU
- Prinsip Pengembangan Pembelajaran Dalam Perspektif PI
- Pesantren Sebagai Subkultur Budaya Indonesia
- Pembelajaran PAI di Pesantren Modern (Bag. ke-1)
- Ibu-ibu Perkasa taun 1800an nu Nurunkeun para Kyai sabudeureun Ciamis
- Sistem Pendidikan Islam (Kajian Teoritis)
- Pembelajaran Agama Islam, sarana Pengembang Kepribadian
- Pembelajaran Agama Islam sebagai Faktor Utama Pengembangan Kepribadian
- Peran Pesantren dalam Pendidikan Agama
- Mahfudzat (Hafalan2 Pribahasa dan Syair Pendidikan)
- Kompetensi Guru dalam Al-Qur'an (renungan bagi para pendidik)
- Kajian Surah Shad Ayat 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar