Minggu, 17 Mei 2015

Pembelajaran Agama Islam sebagai Faktor Utama Pengembangan Kepribadian





Oleh : Dr. Dadang Gani GH., M.Ag
Hakikatnya, pembelajaran seharusnya mampu mengembangkan nilai-nilai transendental pada peserta didik sehingga tercermin suatu tindakan sosial yang humanis dan bermartabat. Pembelajaran yang ideal adalah proses pembelajaran yang diimbangi dengan penanaman mental dan karakter yang membuat peserta didik mampu menghadapi problem kehidupan ini. Mental dan karakter yang sudah terinternalisasi dalam diri akan menjadi utuh dan tersatukan dalam jiwa, sehingga membentuk integritas kepribadian, satu istilah bagi individu yang memiliki keutuhan kepribadian. Integritas kepribadian itu sendiri adalah keterpaduan antara kualitas ‘aqliyyah (pikiran, penalaran), kualitas ruhiyyah (penghayatan) dan kualitas ‘amaliyyah (tindakan), sehingga keterpaduan itu akan memunculkan pribadi yang utuh. Kepribadian utuh merupakan sebuah hasil yang dibentuk dari proses perjalanan panjang sebuah pembelajaran nilai sepanjang perkembangan. Secara khusus, pembelajaran keagamaan berperan penuh dalam penanaman nilai-nilai dan pembentukkan kepribadian. Pembelajaran keagamaan, khususnya materi agama Islam akan membentuk sikap utama yang harus dimiliki seseorang yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Sikap ini akan melahirkan seluruh sikap, karakter dan nilai yang ada. Seluruh sifat ini akan berkembang dan terinternalisasi dalam diri subjek belajar.
            Pendidikan dan pembelajaran ditujukan dan dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengembangkan semua sifat baik dan potensi yang ada pada manusia, sebagaimana dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]Berdasarkan undang-undang itu, salah salah satu ciri manusia berkualitas adalah mereka yang tangguh iman dan takwanya serta memiliki akhlak mulia.
            Lembaga pesantren sebagai salah satu model lembaga pendidikan Islam, memiliki tujuan utama yaitu membentuk out put yang memiliki ketangguhan dalam keimanan dan ketakwaan serta memiliki akhlak yang terwujud dalam kepribadian yang mulia. Kepribadian ini akan terwujud dengan adanya keselarasan pola pikir, perasaan dan pengamalan yang dihasilkan dari proses pembelajaran nilai. Pembelajaran keagamaan di pesantren berfungsi mempersiapkan dan membekali para santri menjadi anggota masyarakat yang memiliki kepribadian dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya. Bagi seluruh warga negara Indonesia, pendidikan keagamaan merupakan salah satu materi ajar yang wajib disampaikan di semua jenjang pendidikan, mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi.[2]
            Materi agama Islam yang diajarkan di pesantren memiliki banyak macamnya. Dan materi tersebut menjadi berbagai nama mata pelajaran baik itu yang disajikan di sekolah ataupun di kelas pengajian. Materi tersebut membekali para santri berbagai pengetahuan keagamaan agar dijadikan sebagai bekal untuk mengembangkan fitrahnya di dunia. Pengetahuan yang telah dipahaminya akan selalu membentuk kesadaran untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang telah dipahaminya, serta menjadikannya terhindar dari perbuatan tercela.
            Saat ini, Pembelajaran Agama Islam yang berlangsung di beberapa lembaga pendidikan masih dianggap relatif kurang berhasil dalam membentuk sikap, karakter dan perilaku peserta didik. Terlihat dari banyak persoalan yang muncul dalam lingkungan sosial disebabkan oleh faktor individu yang mengalami ketidakutuhan jiwa (split personality). Individu tersebut bukan tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah perbuatan tercela, tetapi karena suatu hal dan nilai-nilai kebaikan tidak terlalu terinternalisasi dan mewarnai dirinya maka dia melakukan perbuatan buruk tersebut. Dalam beberapa hasil penelitian dinyatakan bahwa sebagian kelemahan yang melekat pada pelaksanaan pendidikan agama di sebuah lembaga adalah faktor pelaksanaannya kurang bisa mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi makna dan nilai sehingga kurang mendorong penjiwaan terhadap nilai-nilai keagamaan yang seyogyanya perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik. Pembelajaran agama selama ini lebih menekankan pada aspek knowing dan doing dan belum banyak mengarah ke aspek being, yakni peserta didik menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama yang diketahui, padahal inti pembelajaran agama berada di aspek ini. Islam memberikan gambaran adanya pola pendidikan dan pembelajaran yang menyeluruh meliputi pendidikan ruh, akal dan badan, sebagaimana Ali Ahmad Madkur menyatakan:[3]
و الإسلام عندما يتناول تربية الإنسان الصالح الذي يعرف الله ويؤمن بعبديته له فإنه يأخذ بعين الإعتبار جميع المكونات الذي تدخل في تركيبه: الروح والعقل والجسم
            Faktor selanjutnya, Pembelajaran Agama Islam kurang dapat berjalan bersama dan bekerjasama dengan materi-materi umum, serta kurangnya kontekstualisasi dalam pembelajaran agama Islam terhadap keadaan sosial yang terjadi di masyarakat sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.[4]
Memperhatikan kelemahan Pembelajaran Agama Islam tersebut, maka pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sangat berperan dalam menghilangkan kelemahan tersebut. Bagi pesantren, hal tersebut menyangkut rekonstruksi sistem dan aspek metodologi pembelajaran dari yang bersifat dogmatis doktriner dan tradisional menuju kepada pembelajaran yang lebih dinamis dan kontekstual. Salah satu tolok ukur kualitas Pembelajaran Agama Islam adalah diwujudkannya dalam proses yang dinamis dan terpadu, yang dapat memotivasi peserta didik untuk berperilaku baik sehingga akan didapatkan hasil yang maksimal dalam memahami dan mengamalkan nilai agama.[5] Mengajarkan materi agama Islam bukan hanya penyampaian materi saja melainkan melakukan pekerjaan yang bersifat kompleks. Sebagai pengampu materi agama Islam, seorang guru agama memerlukan keahlian khusus dalam melaksanakan proses pembelajarannya yang didasarkan pada teori kependidikan dan karakteristik materinya. Hal itu karena dia dituntut untuk memiliki kemampuan dan pemahaman tentang berbagai pengetahuan yang mendukung proses itu. Proses pendidikan dan pembelajaran merupakan upaya untuk mengembangkan bakat dan kemampuan individu sehingga potensi-potensi kejiwaannya dapat diaktualisasikan secara sempurna,[6] sebagaimana makna pendidikan itu sendiri dalam bahasa Inggris “educate” ini menggambarkan perkembangan jasmani dan kecerdasan akibat hasil proses pendidikan tersebut. Kata educate ini kemudian disepadankan dengan kata al-tarbiyah yang mengandung arti berkembang.[7] Sedangkan pembelajaran memiliki makna pokok yaitu perubahan. Dalam pengertian ini maka proses pendidikan dan pembelajaran menjadi hal pokok untuk mengembangkan potensi baik agar menjadi individu yang dinamis. Proses pendidikan dan pembelajaran diarahkan bukan pada segi fisik dan intelektual tetapi juga segi sosial dan afektif, emosi, sikap, perasaan, minat, nilai dan lain-lain, seperti model pendidikan humanistik yang menekankan aspek kemanusiaan subjek belajar. Pendidikan juga mewujudkan suasana pembelajaran yang dinamis yang dapat secara efektif mengembangkan segala potensi yang dimilikinya.[8] Upaya meningkatkan keberhasilan Pembelajaran Agama Islam merupakan keniscayaan yang ada dan menjadi tantangan tersendiri yang dihadapi oleh lembaga pesanten. Dalam perbaikan proses pembelajaran, peranan pendidik di pesantren sangat penting dalam mendesain kelembagaan dan kurikulum termasuk di dalamnya penetapan tujuan, proses, metode serta evaluasi pembelajaran.


[1] Pada tahun 2010, Pemerintah telah melahirkan suatu kesepakatan nasional  tentang pengembangan pendidikan budaya dan karakterbangsa, kesepakatan ini meliputi 4 pokok penting: Pertama, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral dari pendidikan nasional. Kedua, Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehenship. Ketiga, pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggungjawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orang tua. Keempat, dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan udaya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional  dalam pelaksanaan di lapangan. Tim Direktorat Pendidikan Madrasah Kementrian Agama, Wawasan Pendidikan Karakter dalam Islam, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Madrasah Kementerian Agama, 2010), hlm. 12

[2] Udang-undang RI no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada bab IX  tentang kurikulum pasal 39 ayat 2, dinyatakan bahwa “Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat: a. pendidikan Pancasila, b. pendidikan agama, dan c. pendidikan kewarganegaraan.Tim Redaksi Fokusmedia, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, No 20 Tahun 2003, (Bandung, Fokusmedia, 2003), hlm. 89

[3] Ali Ahmad Madkur, Manhaj al-Tarbiyah fi al-Tashawwuri al-Islamy, (Kairo: Cetakan Pertama Dar al-Fikr al-Araby, 2002), hlm. 259

[4] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam: Mengurai Benang Kusut Dunia Pendidikan, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), hlm. 13-14

                [5] Dalam standar proses dinyatakan bahwa proses pembelajaran pada tingkat satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberi ruang lingkup yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 19 ayat 1.

[6] Muhammad Amin, Konsep Masyarakat Islam Upaya Mencari Identitas dalam Era Modernisasi, (Jakarta: Fikahati Aneksa, 1992), hlm. 93

[7] Ahmad Tafsir (ed.), Teori-Teori Pendidikan Islam, (Bandung: Fakultas Tarbiyah, 2003), hlm. 124


[8] Seperti yang dinyatakan Mc. Neil: The new humanists are self actualizers who see curriculum as a liberating process that can meet the need for growth and personal integrity. McNeil, John D., Curriculum, A Comprehensive Introduction, (Boston: MA Little-Brown, 1997), hlm. 48

Artikel Terkait Kajian Pendidikan Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Postingan