Filsafat Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya filsafat ini berpangkal pada filsafat empirisme Inggris. Filsafat ini berpendapat bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Filsafat ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat praktis. Praja. (2008 : 171)
Filsafat pendidikan perenialisme merupakan suatu aliran filsafat dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresivisme. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu, perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum, yang dikemukakan oleh para filosuf seperti Plato dan Aristoteles, yang telah menjadi pedoman hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung aliran filsafat ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.
Filsafat Idealisme memandang bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind), atau jiwa (self) dan bukan benda material dan kekuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) dari pada materi. Idealisme berpendapat bahwa akal itulah yang riil dan materi hanyalah merupakan produk sampingan. Dengan demikian, idealisme mengingkari dunia ini pada dasarnya sebagai sebuah mesin besar yang harus ditafsirkan sebagai materi, mekanisme atau kekuatan saja. Praja, (2008 : 126)
Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lain adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Sadulloh, (2007 : 103)
Filsafat Pendidikan yang muncul berikutnya yaitu filsafat esensialisme yang menggabungkan dari filsafat idealisme dengan filsafat realisme. Dalam makalah ini, pembahasannya akan difokuskan pada latar belakang filsafat esensialisme, hakekat filsafat esensialisme, pandangan-pandangan filsafat esensialisme tentang pendidikan dan persamaan dan perbedaan antara filsafat perenialisme dan filsafat esensialisme.
Plato dianggap sebagai peletak batu pertama dari objective idealism yang merupakan satu dari dua kerangka teori esensialis kontemporer yang sangat dominant. Objective realism merupakan kerangka teori esensialisme yang lain yang dikemukakan oleh Democritus.Esensialisme muncul pada zaman renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaan yang utama antara filsafat esensialisme dan progresivisme adalah dasar pijakan pendidikan yang sangat fleksibel dan terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai universal yang telah teruji.Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
Gerakan esensialisme muncul pada awal tahun 1930 dengan beberapa orang pelopornya seperti William C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell. Pada tahun 1938 mereka membentuk suatu lembaga yang disebut dengan “the essensialist committee for the advancement of American Education” sementara Bagley sebagai pelopor esensialsme adalah seorang guru besar pada “Teacher College” Colombia University. Bagley yakin bahwa fungsi utama sekolah adalah mentransmiskan warisan budaya dan sejarah kepada generasi muda. George F. Kneller, (1971 : 57)
Bagley dan rekan-rekannya yang memiliki kesamaan pemikiran dalam hal pendidikan sangat kritis terhadap ppraktek pendidikan progresif. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standar-standar intelektual dan moral anak muda. Setelah perang dunia ke-2, kritk terhadap pendidikan progresiv telah tersebar luar dan tampak merujuk pada kesimpulan : sekolah gagal dalam tugas mereka mentransmisikan warisan-warisan intelektual dan sosial.
Esensialisme, yang memiliki beberapa kesamaan dengan perenialisme, berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang harus diberikan sekolah-sekolah kepada para siswa dalam suatu cara yang sistematis dan berdisiplin. Sadulloh, (2007 : 159)
Kata esensialisme tidak umum digunakan oleh para filosuf. Kata ini hanya digunakan dalam istilah filsafat pendidikan. Salah satu buku yang ditulis oleh Frederck Mayer yang berjudul “essensialim” merupakan istilah yang diperdebatkan oleh para filosuf. Theodore Brameld, (1955 : 206). Kata esensialsm hanya digunakan dalam filsafat pendidikan. Esensialisme adalah aliran filsafat pendidikan yang merupakan kombinasi filsafat idealisme dan realisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-masing Aliran ini mendasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia, di samping mendasarkan pada lingkungan social
Pada dasarnya di dalam aliran esensialisme terdapat friksi-friksi. Friksi-friksi tersebut diakibatkan oleh perbedaan filsafat yang dianut. Mereka berbeda pandangan dalam melihat alam semesta dan nilai-nilai pendidikan. Akan tetapi, mereka memiliki persamaan dalam empat prinsip pokok. Keempat hal yang dimaksud adalah pertama, Belajar. Mereka sepakat bahwa belajar adalah melibatkan kerja dan memaksa. Kedua, inisiatif dalam pendidikan berada pada guru.Ketiga, Pusat proses pendidikan terletak mata pelajaran yang disesuaikan dengan kondisi lingkungan social.Keempat, Sekolah harus melestarikan metode disiplin tradisional yaitu mengajarkan konsep-konsep dasar, meskipun konsep itu harus disesuaikan dengan tingkat intelektual dan psikologi anak.
Beberapa tokoh aliran Esensialisme yang memiliki pendangan tentang pendidikan adalah sebagai berikut : Pertama,, Desiderius Erasmu Dia adalah seorang humanis Belanda yang hidup pada abag ke-15 dan permulaan abad ke-16. Dia berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat Humanistis dan bersifat internasional sehingga dapat diikuti oleh kaum tengah dan aristocrat. Kedua, Johan Amos Comenius (1592-1670 Dia adalah tokoh Renaisance pertama yang berusaha mensistematiskan proses pengajaran. Ia memiliki pandangan realis yang dogmatis. Dunia ini menurutnya dinamis dan bertujuan. Oleh karena itu, tugas kewajiban pendidikan adalah menbentuk anak sesuai dengan kehendak Tuhan Ketiga, John Locke (1632 -1704). Ia adalah tokoh dari Inggris yang berpandangan bahwa pendidikan harus selalu dekat dengan situasi dan kondisi, memiliki sekolah kerja untuk anak-anak miskin. Keempat, Johan Henrich Pestalozzi (1746-1827). Ia berpandangan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan yang wajar. Ia juga meyakini hal yang transidental. Manusia mempunyai hubungan transedental dengan Tuhan. Kelima, Johan Fredierich Frobel (1782-1852) yang berpandangan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagai bagian dari alam ini. Maka manusia tunduk dan mengikuti ketentuan dan hokum-hukum Alam. Anak adalah makhluh yang ekspresif dan kreatif, oleh karena itu, tugas pendidikan adalah memimpin peserta didik kearah kesadaran diri yang murni sesuai dengan fitrah kejadiannya. Keenam, Johan Frederich Herbart (1776-1841). Ia murid Immanuel Kant yang sangat kritis. Menurutnya, tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang dengan kebajikan yang mutlak. Hal ini berarti penyesuaian dengan hokum-hukum kesusilaan yang disebut dengan pengajaran mendidik dalam proses pencapaian pendidikan. Dan ketujuh, Willian T Harris (1835-1909). Ia adalah pengikut Hegel. Pendidikan menurutnya adalah mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan yang pasti berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi penuntun penyesuain diri setiap orang kepada masyrakat. Djumransyah, ( 2008 : 183-184)
Karena mendapat saingan dari aliran progresivisme, beberapa tokoh aliran esensialisme membentuk suatu lembaga yang disebut dengan “the essensialist committee for the advancement of American Education” pada tahun 1930. sementara Bagley sebagai pelopor esensialsme adalah seorang guru besar pada “Teacher College” Colombia University. Sadulloh, (2007 :158)
Sebagaimana aliran-aliran filsafat sebelumnya seperti idealisme, realisme, pragmatisme, progresivisme dan lain-lain yang memiliki pandangan tentang pendidikan, aliran esensialisme juga memiliki pandangan yang berkaitan dengan pendidikan. Secara umum, persoalan pendidikan yang disoroti oleh aliran esensialisme adalah bagaimana sebenarnya tujuan pendidikan yang ideal?, bagaimana konsep kurikulumnya.?, Dan apa peran guru dan sekolah untuk mempersiapkan subjek didik yang diinginkan oleh penganut esensialime.?
Secara khusus, esensialisme adalah bentuk pendidikan vokasional yang membahas materi pelajaran dengan mempertimbangkan kebutuhan siswa untuk dapat hidup yang produktif. Materi pelajaran tersebut bebas dari spekulasi dan perdebatan serta bebas dari bias politik dan agama. Secara umum esensialisme adalah model pendidikan transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa kini.
Konsep dasar pendidikan esensialisme adalah bagaimana menyusun dan menerapkan program-program esensialis di sekolah-sekolah. Tujuan utama dari program-program tersebut di antaranya 1) Sekolah-sekolah esensialis melatih dan mendidik subjek didik untuk berkomunikasi dengan logis. 2) Sekolah-sekolah mengajarkan dan melatih anak-anak secara aktif tentang nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat kepada pihak yang berwenang atau orang yang memiliki otoritas. 3) Sekolah-sekolah memprogramkan pendidikan yang bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang mempersiapkannya untuk hidup.
Berdasarkan konsep dasar tersebut, maka di antara tujuan pendidikan esensialisme adalah : 1). Untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurum waktu yang lama serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang. Pengetahuan yang dimaksud adalah skill, sikap dan nilai-nilai yang mamadai. 2). Untuk mempersiapkan manusia untuk hidup. Persiapan yang dimaksud adalah bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa sehingga hasilnya mampu mempersiapkan anak didik untuk menghadapi hidup di masa yang akan datang. Dalam mempersipkan subjek didik tersebut, tanpaknya sekolah hanya bertugas bagaimana merancang sasaran tujuan pembelajaran, pelaksanaanya diperlukan adanya kerja sama dengan unsure-unsur luar sekolah. Oleh karena itu, Kaum esensialis menolak pandangan konstruktivisme yang berpandangan bahwa sekolah harus menjadi lembaga yang aktif untuk melakukan perubahan social, apalagi harus bertanggungjawab terhadap seluruh pendidikan generasi muda. Sadulloh,( 2007 : 161)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya tujuan pendidikan esensialisme adalah transmisi kebudayaan untuk menentukan solidaritas sosial dan kesejahteraan.
Model kurikulum aliran esensialisme mengikuti model transmisi yang menganggap fungsi pendidikan adalah untuk mentransmisi fakta , keterampilan dan nilai kepada siswa agar siswa menguasai materi melalui teksbook, menguasai keterampilan dasar (bicalistung) dan menguasai nilai kebudayaan tertentu yang dibutuhkan dalam masyarakat serta mengaplikasikan pandangan-pandangan Seller Meller (1985 : 5-6)
Kurikulum esensialisme adalah miniature dunia guru, administrator dan pendukung-pendukungnya yang memandang siswa sebagai dunia realitas. Hal ini tidak berarti, esensialisme hanya mendukung satu model kurikulum untuk semua jenis sekolah. Beberapa model kurikulum esensialisme disusun pada waktu dan tempat yang berbeda. Meskipun bervariasi, masih tetap terlihat dalam bingkai platform esensialisme. Theodore Brameld (1955 : 247)
Pandangan Esensialisme tentang kurikulum memiliki kesamaan dengan Perenialisme. Keduanya menghendaki kurikulum sekolah harus berpusat pada mata pelajaran (Subject Matter Centered). Di Sekolah Dasar misalnya, Ia menekankan pada kemampuan dasar membaca, menulis dan berhitung. Sementara di Sekolah Menengah, mata pelajaran diperluas dengan menambahkan matematika, sains, humaniora, bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap materi pelajaran tertentu seperti seni dan ilmu sastra tidak penting karena pelajaran tersebut hanyalah pelengkap, walaupun tetap perlu dipelajari. Sementara mata pelajaran yang paling esensi adalah mata pelajaran Filsafat, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Sejarah dan Bahasa. Mata pelajaran inilah yang dianggap perlu untuk menjalani kehidupan. Apabila mata pelajaran - mata pelajaran tersebut dipelajari dengan tepat oleh siswa, maka mereka akan mampu mengembangkan potensi nalar sekaligus membuatnya sadar akan dunia fisik di sekitarnya. Sadulloh, (2007 : 162)
Hal yang serupa dikemukakan oleh Imam Barnadib, bahwa aliran Esensialisme menempatkan pembentukan kecerdasan dan pembentukan tingkah laku yang intelegen bagi subjek didik sebagai urutan tertinggi. Untuk mencapai hal tersebut, maka yang harus diajarakan kepada subjek didik adalah pengetahuan yang subtantif atau pengetahun yang dapat menghantarkan subjek didik pada kemampuan berpikir dan berimajinasi. Mata pelajaran yang dianggap relevan dengan peningkatan kemampuan berpikir dan berimajinasi adalah bahasa, sastra, seni, matematika, ilmu pengetahuan alam, sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan social. Barnadib. (1996 : 36-38)
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Pandangan Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia melalui indera memerlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori yang terarah bukanlah budi kepada benda, lelapi benda-benda itu yang terarah kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan menciptakan diri sendiri. Poedjawijatna, (1983 : 120-121. Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya menerima apa saja yang telah ditentukan dan diatur oleh alam sosial. Oleh karena itu, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada angkatan berikutnya. Dengan demikian pandangan-pandangan realisme mencerminkan adanya dua jenis determinasi yaitu Determinisme mutlak, yang menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-halangi adanya. Ia harus harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini. Kedua, Determinisme terbatas yaitu gambaran tentang kurangnya sifat pasif mengenai belajar. Jalaluddin dan Idi, (2007 : 107-108). Berangkat dari dua bentuk determinasi di atas, maka bias dipahami bahwa belajar itu ada yang bersifat mutlak dapat diketahui dan ada yang bersifat terbatas jangkauan manusia untuk mengetahui.
Bagi kaum esensialis guru seharusnya aktif, bertanggungjawab, pengatur ruangan, penyalur pengetahuan yang baik, penentu materi, metode, evalusi dan bertanggungjawab terhadap seluruh wilayah pembelajaran Guru dianggap sebagai seseorang yang menguasai lapangan subjek khusus dan merupakan model contoh yang sangat baik untuk ditiru dan digugu. Diane Lapp et all (1975 : 39). Memperhatikan pandangan esensialisme di atas tentang peran guru, maka guru seharusnya terdidik. Secara moral, ia merupakan orang yang dapat dipercaya. Secara teknis, ia harus memiliki kemahiran dalam mengarahkan proses mengajar
Sementara peranan sekolah adalah memelihara dan menyampaikan warisan budaya dan sejarah pada generasi pelajar dewasa ini melalui hikmat dan pengalaman yang terakumulasi dan disiplin tradisional. Di sekolah tiap siswa belajar pengetahuan, skill, dan sikap serta nilai yang diperlukan untuk menjadi manusia sebagai anggota masyarakat. Belajar efektif di sekolah adalah proses belajar yang keras dalam menanamkan fakta-fakta dengan penggunaan waktu secara relative singkat, tidak ada tempat bagi pelajaran pilihan. Kurikulum dan lingkungan kelas disusun oleh guru. Waktu, tenaga dan dana semuanya ditujukan untuk belajar esensial Ellis et all. (1981 : 88). Esensialisme malihat kedudukan siswa dalam pembelajaran adalah pasif, tunduk, lemah secara kognitif, penerima informasi. Diane Lapp et all, (1975 : 39). Oleh karena itu, sekolah bertanggungjawab atas pemberiian pengajaran yang logis atau dapat dipercaya. Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa. Siswa pergi ke sekolah untuk belajar bukan untuk mengatur pelajaran.
Tapi ada beberapa Persamaan esensialisme dengan perenialisme adalah 1) keduanya memiliki tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan. 2) Kurkulum ditentukan oleh orang dewasa.3) Mengakui adanya suatu keharusan disiplin yang keras dari orang dewasa dalam membawa anak didik untuk mencapai tujuan akhir. Sadullah (2007 :
Sementara perbedaanya adalah sebagai berikut : 1) Tidak mendukung secara penuh pendidikan intelektual. 2. Memungkinkan menyerap metode pendidikan modern yang dimunculkan oleh progresivisme. 3.Perenialisme membesar-besarkan keberhasilan masa lalu sebagai sebuah ekspresi abadi, sementara esensialisme justru menjadikan keberhasilan masa lalu itu sebagai sumber pengetahuan untuk memecahkan masalah sekarang. George F. Kneller (1971 : 58-60)
Esensialisme merupakan aliran filsafat pendidikan yang coraknya didukung oleh dua aliran filsafat lainnya yaitu idealisme dan realisme. Idealisme dan realisme tidak menjadi satu kesatuan dalam mendukung aliran esensialisme, tetapi keduanya saling mendukung sehingga menjadi salah satu aliran filsafat yang bercorak eklektik.
Sebagai salah satu aliran filsafat yang mendapat dukungan dari idealisme modern dan realisme modern, tentu memiliki kelebihan dan keunggulan tersendiri. Pandangan ontology, epistimologi dan aksiologi aliran esensialisme yang mempengaruhi pandangannya tentang tujuan pendidikan, kurikulum, belajar, sekolah, peran guru dan kedudukan siswa, dapat menjadi salah satu bahan acuan atau landasan berpikir untuk melakukan pengembangan kurikulum di Indonesia.
its good article...
BalasHapus