Secara umum pendekatan penelitian atau
paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif
dan penelitian kualitatif. Dari segi peristilahan para akhli nampak menggunakan
istilah atau penamaan yang berbeda-beda meskipun mengacu pada hal yang sama,
untuk itu guna menghindari kekaburan dalam memahami kedua pendekatan ini,
berikut akan dikemukakan penamaan yang dipakai
para akhli dalam penyebutan kedua istilah tersebut. Beberapa nama
yang dipergunakan para ahli tentang metodologi
penelitian kualitatif yaitu: grounded research, ethnometodologi,
paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik, heuristik, hermeneutik,
atau holistik . perbedaan tersebut dimungkinkan karena perbedaan titik tekan
dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin ilmunya, istilah
grounded research lebih berkembang
dilingkungan sosiologi dengan tokohnya Strauss dan Glaser. Ethnometodologi
lebih berkembang di lingkungan antropologi dan ditunjang antara lain oleh Bogdan, interaksi simbolik
lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer,
Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya
memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika dan penelitian kuantitatif. Dalam perkembangannya,
belakangan ini nampaknya istilah penelitian kualitatif telah menjadi istilah yang dominan dan baku, meskipun
mengacu pada istilah yang berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh
semua itu lebih bersifat saling melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi penelitian kualitatif.
Oleh karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui terdapat dua paradigma utama dalam
metodologi penelitian yakni paradigma
positivist (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian
kualitatif), ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun ada juga
yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun bersifat
komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis penelitian
tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/teoritis
maupun dalam tataran praktis
pelaksanaan penelitian, dan justru dengan
perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga
seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode yang akan diterapkan
apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan memperhatikan obyek
penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan penelitian yang
telah ditetapkan. Meskipun dalam tataran praktis perbedaan antara
keduanya seperti nampak sederhana dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai landasan
epistemologis/filosofis yang sangat berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan
pendekatan penelitian yang mewakili paham positivisme, sementara itu penelitian
kualitatif merupakan pendekatan
penelitian yang mewakili paham naturalistik (fenomenologis). Untuk lebih memahami landasan filosofis kedua
paham tersebut, berikut ini akan diuraiakan secara ringkas kedua aliran faham
tersebut. (1) Positivisme, Positivisme merupakan
aliran filsafat yang dinisbahkan/ bersumber dari pemikiran Auguste Comte seorang
folosof yang lahir di Montpellier
Perancis pada tahun 1798, ia seorang yang sangat miskin, hidupnya banyak
mengandalkan sumbangan dari murid dan teman-temannya antara lain dari folosof inggeris John Stuart Mill
(juga seorang akhli ekonomi), ia meninggal pada tahun 1857. meskipun demikian
pemikiran-pemikirannya cukup berpengaruh yang dituangkan dalam
tulisan-tulisannya antara lain Cours de Philosophie Positive (Kursus
filsafat positif) dan Systeme de Politique Positive (Sistem politik
positif). Salah satu buah pikirannya yang sangat penting dan berpengaruh
adalah tentang tiga tahapan/tingkatan cara berpikir manusia dalam berhadapan
dengan alam semesta yaitu :Tingkatan Teologi (Etat Theologique), ada
tingkatan ini manusia belum bisa memahami
hal-hal yang berkaitan dengan sebab akibat. Segala kejadian dialam
semesta merupakan akibat dari suatu perbuatan Tuhan dan manusia hanya bersifat
pasrah, dan yang dapat dilakukan adalah memohon pada Tuhan agar dijauhkan dari
berbagai bencana. Tahapan ini terdiri dari tiga tahapan lagi yang berevolusi
yakni dari tahap animisme, tahap politeisme, sampai dengan tahap monoteisme. Tingkatan
Metafisik (Etat Metaphisique), pada dasarnya tingkatan ini merupakan
suatu variasi dari cara berfikir teologis, dimana Tuhan atau Dewa-dewa diganti
dengan kekuatan-kekuatan abstrak misalnya dengan istilah kekuatan alam. Dalam
tahapan ini manusia mulai menemukan
keberanian dan merasa bahwa kekuatan yang menimbulkan bencana dapat
dicegah dengan memberikan berbagai sajian-sajian sebagai penolak bala/bencana. Tingkatan
Positif (Etat Positive), pada tahapan ini manusia sudah menemukan
pengetahuan yang cukup untuk menguasai alam. Jika pada tahapan pertama manusia
selalu dihinggapi rasa khawatir berhadapan dengan alam semesta, pada tahap
kedua manusia mencoba mempengaruhi kekuatan yang mengatur alam semesta, maka
pada tahapan positif manusia lebih percaya diri, dengan ditemukannya
hukum-hukum alam, dengan bekal itu
manusia mampu menundukan/mengatur (pernyataan ini mengindikasikan adanya
pemisahan antara subyek yang mengetahui dengan obyek yang diketahui) alam serta memanfaatkannya untuk kepentingan
manusia, tahapan ini merupakan tahapan dimana manusia dalam hidupnya lebih
mengandalkan pada ilmu pengetahuan. Dengan memperhatikan tahapan-tahapan
sepertti dikemukakan di atas nampak bahwa istilah positivisme mengacu pada
tahapan ketiga (tahapan positif/pengetahuan positif) dari pemikiran Comte. Tahapan
positif merupakan tahapan tertinggi, ini berarti dua tahapan sebelumnya merupakan tahapan yang
rendah dan primitif, oleh karena itu filsafat Positivisme merupakan filsafat
yang anti metafisik, hanya fakta-fakta saja yang dapat diterima. Segala sesuatu
yang bukan fakta atau gejala (fenomin) tidak mempunyai arti, oleh karena itu
yang penting dan punya arti hanya satu yaitu mengetahui (fakta/gejala) agar
siap bertindak (savoir pour prevoir). Manusia harus menyelidiki dan
mengkaji berbagai gejala yang terjadi beserta hubungan-hubungannya diantara
gejala-gejala tersebut agar dapat meramalkan apa yang akan terjadi, Comte
menyebut hubungan-hubungan tersebut dengan konsep-konsep dan hukum-hukum yang
bersifat positif dalam arti berguna untuk diketahui karena benar-benar nyata
bukan bersifat spekulasi seperti dalam metafisika.; (2) Fenomenologi,
Edmund Husserl adalah filosof yang mengmbangkan metode
Fenomenologi, dia lahir di Prostejov
Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa, meninggal pada
tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari kaum Nazi,
dengan membawa seluruh buku dan tulisannya
ke Universitas Leuven Belgia, sehingga kemudian dapat dikembangkan lebih
lanjut oleh murid-muridnya. Diantara tulisan-tulisan pentangnya adalah: Logische
Untersuchungen (Penyeliddikan-penyelidikan Logis) dan Ideen zu einer reinen Phanomenologie und
Phanomenologischen Philosophie (gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni
dan filsafat fenomenologi). Dalam faham fenomenologi sebagaimana
diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita harus kembali kepada benda-benda itu
sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus diberikan
kesempatan untuk berbicara melalui
deskripsi fenomenologis guna mencari hakekat gejala-gejala (Wessenchau).
Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak
bipolarisasi antara kesadaran dan alam,
antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi
obyek-obyek diciptakan oleh kesadaran. Kesadaran merupakan sesuatu yang
bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya kesadaran tidak dapat dibayangkan
tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul perlu diandaikan tiga hal
yaitu : ada subyek, ada obyek, dan
subyek yang terbuka terhadap obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena
menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu, kesadaran merupakan suatu tindakan,
terdapat interaksi antara tindakan kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang
ada hanyalah kesadaran sedang obyek kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh
kesadaran. Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl
berpandapat bahwa untuk menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam
reduksi guna menyingkirkan semua hal yang mengganggu dalam mencapai wessenchau
yaitu: Reduksi pertama.
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka
untuk gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua.
Menyingkirkan seluruh pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber
lain, dan semua teori dan hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga.
Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan. Segala sesuatu yang sudah dikatakan
orang lain harus, untuk sementara, dilupakan, kalau reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan
memperlihaaaatkan dirinya sendiri/dapat menjadi fenomin
Kedua aliran filsafat tersebut terus berkembang
dengan dukungan pengikut-pengikutnya, yang dalam wacana metodologi penelitian
telah mendorong lahirnya paradigma penelitian kuantitatif (positivisme) dan
paradigma penelitian kualitatif (fenomenologi). Kedua paradigma pendekatan
penelitian tersebut nampak sekali mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan
paradigma berbeda yang menurut Lincoln
dan Guba perbedaan tersebut terletak dalam asumsi/aksioma tentang
kenyataan, hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui), generalisasi,
kausalitas, dan masalah nilai, untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam tabel
berikut : Dalam pandangan positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa
realitas merupakan suatu yang tunggal dan dapat dipecah-pecah untuk dipelajari/dipahami secara bebas, obyek
yang diteliti bisa dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya, sedangkan dalam
pandangan fenomenologi kenyataan itu merupakan suatu yang utuh, oleh karena itu
obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang
terfragmentasi. Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya
dualisme antara subyek peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini
dimaksudkan agar dapat diperoleh hasil yang obyektif, sementara itu dalam
pandangan fenomenologis subyek dan obyek tidak dapat dipisahkan dan aktif
bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut aksiologi, positivisme
mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai obyektivitas
konsep-konsep dan hukum-hukum sehingga tingkat keberlakuannya bebas tempat dan
waktu, sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat oleh nilai
sehinggan hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai konteks. Memahami
landasan filosofis penelitian kualitatif dalam perbandingannya dengan
penelitian kuantitatif merupakan hal yang penting sebagai dasar bagi pemahaman
yang tepat terhadap penelitian
kualitatif, namun demikian bagi seorang peneliti penguasaan dalam tingkatan
operasional lebih diperlukan lagi agar dalam pelaksanaan penelitian tidak
terjadi kerancuan metodologis, dan penelitian benar-benar dilaksanakan dalam
suatu bingkai pendekatan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam tataran metodologis perbedaan landasan
filosofis terrefleksikan dalam perbedaan metode penelitian, dimana positivisme
dimanifestasikan dalam metode penelitian kuantitatif sedangkan fenomenologi
dimanifestasikan dalam metode penelitian kualitatif. Kedua pendekatan ini
sering diposisikan secara diametral, meskipun belakangan ini terdapat upaya
untuk menggabungkannya baik dalam bentuk paralelisasi maupun kombinasi.