Imam Al-Ghazali, mengembangkan tiga macam strategi pendidikan atau latihan untuk mendidik anak agar mereka dapat mempertahankan keyakinan dan keimanannya, serta dapat menangkal berbagai pengaruh negatif yang datang dari luar, termasuk dampak negatif media massa.
Pertama, riyadlah jundiyah fi al-hayat (latihan yang “militan” untuk hidup), yakni melatih kedisiplinan anak agar mereka memiliki badan yang sehat dan kuat, penalaran yang sehat, dan memiliki kepribadian yang luhur. Ada sepuluh jenis latihan yang penjelasan dari riyadlah jundiyah fi al-hayat, yaitu: (1) Mendidik anak agar bisa hidup sederhana, dan tidak memanjakan mereka dengan kehidupan yang serba mewah, foya-foya dan kehidupan yang serba gemerlap. Agaknya bagian ini perlu mendapat perhatian kita bersama, mengingat kecenderungan orang tua akhir-akhir ini, yang seolah-olah merasa telah menjadi orang tua yang baik, bila berhasil memberikan segala kemewahan dan kesenangan pada anak-anaknya. Kita patut prihatin dengan gaya hidup serba mewah yang sangat nampak pada anak-anak di perkotaan, yang juga tercermin dalam pelbagai tayangan film dan sinetron. Betapa budaya konsumerisme, foya-foya, shoping (hobi belanja), dan kemewahan telah menjangkiti generasi muda kita di perkotaan. (2) Membiasakan anak-anak kita agar berpakaian sopan, bersih, dan rapih, serta tidak membiarkan mereka terjerumus ke dalam gaya hidup boros dan ugal-ugalan. Semestinya kita prihatin terhadap aksi dan gaya anak-anak kita yang biasa secara sengaja menyobek atau melubangi pakaiannya. Bahkan seyogyanya kita menghilangkan budaya mewarnai pakaian dan rambut anak-anak kita, misalnya yang dilakukan selepas pengumuman kelulusan sekolah. (3) Melatih anak-anak kita agar biasa memakan makanan yang sehat dengan porsi yang wajar dan tidak berlebihan. Kalau budaya masyarakat Sunda terkenal dengan makanannya yang sehat dan lezat, mengapa kita harus berpaling kepada makanan-makanan cepat saji (fast-food), yang konon menurut para ahli gizi justru tidak cocok dengan tubuh kita. (4) Mengajari anak-anak kita agar memiliki sifat dan sikap sopan, santun, ramah dan memiliki kepribadian dan karakter yang baik; sehingga anak-anak kita tidak terjebak pada sikap dan perilaku kekerasan, vandalisme, dan a sosial, sebagaimana yang sering kita lihat dalam aksi-aksi kekerasan remaja dan pemuda kita. (5) Melatih anak-anak kita agar menyukai kerja keras, dan hindarkan mereka dari perilaku malas dan hanya ingin hidup enak. Nasihat ini begitu mengena, terutama jika kita saksikan anak-anak kita yang sehabis pulang sekolah biasa jalan-jalan di pusat-pusat pertokoan dan pusat belanja, atau kebiasaan “nongkrong” di pinggir jalan sehabis pulang sekolah. (6) Membiasakan anak-anak kita untuk menyenangi olah raga dan seni, sehingga minat dan bakat mereka dapat disalurkan. Pengembangan minat dan bakat pada olah raga dan seni ini juga diharapkan dapat mengendalikan anak-anak kita dari sikap-sikap dan perilaku-perilaku yang melampaui batas, baik dalam pergaulannya dengan lawan jenis, maupun dalam penyalahgunaan obat-obatan, narkotika dan minuman keras. (7) Mendidik anak-anak kita agar memiliki kesabaran, ketabahan, tawakkal dalam menerima berbagai cobaan. Anak-anak kita perlu dididik agar tidak tergesa-gesa dan ceroboh, yang dapat mengakibatkan patah hati bila keinginannya tidak tercapai. (8) Membiasakan anak-anak kita agar dalam menyampaikan sesuatu bersikap wajar, proporsional dan tidak terlalu banyak menuntut. (9) Juga membiasakan anak-anak kita agar terhindar dan kebiasaan caci-maki yang bisa menyebabkan sakit hati orang lain. Emosi remaja atau pemuda yang terkadang meledak-ledak dan sering tidak terkendali, bisa menyebabkan rasa sakit hati orang lain. Untuk itu kita perlu mendidik anak-anak kita agar mampu mengendalikan emosinya dan menahan amarahnya. (10) Kita perlu menciptakan suasana rumah yang tenang, damai dan membuat betah anak-anak kita. Orang tua juga perlu mengendalikan emosinya, sehingga anak-anak kita dapat meniru, dan pada akhirnya mereka akan selalu taat dan patuh kepada orang tuanya.
Kedua, tahzib al-akhlaq (membentuk karakter dan akhlak). Untuk membentuk karakter dan akhlak anak-anak kita, Imam Al-Ghazali memberi sembilan nasihat yang patut menjadi perhatian tiap-tiap orang tua: Memelihara adab dan tingkah-laku anak sedini mungkin, baik melalui pentunjuk dan nasihat-nasihat yang baik atau melalui kisah-kisah teladan, maupun dengan memberikan teladan dan contoh yang baik dari orang tua dan pengasuhnya; Bila anak-anak kita berprestasi atau berhasil dalam menjalankan suatu kebaikan, orang tua patut memberikan penghargaan, sehingga pada anak-anak kita akan tertanam jiwa berlomba-lomba dalam kebaikan, karena dia menyadari bahwa segala perbuatan baik, pasti akan dibalas dengan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. ; Melatih dan membiasakan anak-anak kita untuk bersikap terbuka dan tidak dibiasakan melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi. Untuk itu, setiap orang tua perlu membiasakan diri untuk selalu bersikap jujur dan terbuka pada anak-anaknya. ; Selalu membiasakan anak-anak untuk menutupi aurat, lebih-lebih bagi seorang anak perempuan.; Mendidik anak-anak untuk tidak membanggakan kelebihan-kelebihan orang tuanya, kecuali bangga terhadap prestasi-prestasinya yang telah dicapai.; Perlu ditanamkan sejak dini, bahwa memberi lebih baik dari pada menerima.; Hindari agar anak-anak kita tidak coba-coba mengambil barang milik temannya atau milik orang lain. Dan bila telah terbukti anak kita mengambil benda milik temannya, orang tua patut memberikan hukuman yang wajar dan bersifat mendidik.; Melatih anak-anak kita, agar tidak mudah mengeluarkan sumpah dalam berbicara. Karena kebiasaan mengucapkan sumpah menunjukkan rendahnya kepercayaan diri seseorang.; Mendidik anak-anak kita agar memiliki sopan santun, mulai dari sopan-santun dengan anggota keluarga (ibu, bapak, saudara dan lain-lain), sopan-santun dengan teman-temannya, tetangganya, dan masyarakatnya.
Ketiga, ta’lim al-ushul al-‘ulum (mengajarkan pengetahuan dasar). Ilmu-ilmu pengetahuan dasar keagamaan yang layak diberikan kepada anak-anak kita meliputi: Ketika otak dan intelegensia anak-anak sedang mulai tumbuh, anak-anak perlu dikenalkan dengan pengetahuan-pengetahuan dasar agar bisa membedakan antara yang baik dengan yang buruk, atau membedakan yang benar dari yang salah.; Pada usia anak-anak, orang tua juga harus mengajarkan tentang pengetahuan-pengetahuan dasar agama yang bersifat praktis, seperti praktek thaharah, shalat, do’a-do’a, melatih puasa dan lain sebagainya.; Dasar-dasar pengetahuan tentang olah raga yang benar juga perlu diperkenalkan, sekaligus dipraktekkan, sehingga kebiasaan berolah raga akan menjadi bagian hidup anak-anak kita.
Melalui nasihat-nasihatnya itu, Imam Al-Ghazali bercita-cita untuk membangun anak-anak dan remaja kita menuju terwujudnya “insan kamil” (perfect-man). Imam Al-Ghazali mencita-citakan lahirnya “manusia baru yang utama”, yang memiliki jasmani, akal dan jiwa sehat. Manusia yang semenjak kecilnya membiasakan hidup sederhana, tidak gentar dalam menghadapi rintangan dan tantangan, dan selalu sabar dan tawakkal dalam menghadapi berbagai cobaan dan penderitaan. Itulah cita-cita Imam Al-Ghazali terhadap “manusia baru yang utama” atau “insan kamil”, yang jauh berbeda dengan konsepsi kaum sufi, terutama konsepsi “insan kamil” Ibnu Arabi, yaitu manusia yang tenggelam di dalam kerohanian dan kebatinan, yang putus hubungannya dengan alam yang nyata ini, dan mengabdikan hidupnya semata-mata hanya untuk hal-hal rohani. Gambaran “insan kamil” Imam Al-Ghazali adalah manusia yang tumbuh dan berkembang dengan keutuhannya (human being as a whole). Manusia yang tidak hanya menonjolkan eksistensi fisik dan lahiriahnya, juga bukan manusia yang hanya mengutamakan eksistensi rohaniahnya, tetapi manusia yang bisa menyeimbangkan kebutuhan jasmani dan rohani. "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi. Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan" (Q.S. Al-Qashash : 77).