Selasa, 20 November 2012

Sejarah Perubahan Kurikulum Madrasah

Upaya madrasah dalam mengadopsi pola pendidikan modern diharapkan mampu menghadapi munculnya problema dualisme pendidikan, antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Walaupun terjadi proses tarik menarik antara pemberian bobot mata pelajaran umum dengan agama yang terus mengalami perkembangan, namun pada dasarnya pendidikan di madrasah menemukan bentuknya yang ideal, yakni memberikan pendidikan umum dan agama secara seimbang, sehingga bisa melahirkan output yang beriman, berwawasan ilmu pengetahuan, dan berketerampilan hidup. Dengan memberikan pendidikan umum yang sama dengan sekolah umum, diharapkan madrasah mampu memberikan pengetahuan umum terutama sains dan matematika yang cukup luas, yang akhirnya akan memberikan wawasan yang terbuka dan luas bagi para siswa. Seperti dikatakan Mochtar Buchori bahwa pembelajaran umum di madrasah terutama pembelajaran sains dan teknologi akan meredusir tumbuhnya faham radikalisme agama yang terbentuk pada sebagian masyarakat di Indonesia. Peran dan posisi madrasah sangat strategis dalam mengembangkan dan meningkatkan pemahaman keagamaan yang lebih rasional, membantu dalam membangun generasi yang berwawasan luas, inclusive dan bersikap rasional, yang pada gilirannya akan mengurangi potensi konflik sosial keagamaan pada masyarakat Indonesia yang beragam. Di samping itu juga madrasah akan menghasilkan output yang memiliki kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan baik untuk hidup di masyarakat maupun untuk melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi.
Kementrian Agama pada dasarnya tidak membiarkan madrasah berada pada posisi stastis. Upaya-upaya modernisasi terus dilakukan untuk mentransformasikan madrasah agar mencapai taraf yang diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional dan sekaligus menghasilkan output pendidikan yang berkualitas sejajar dengan sekolah-sekolah dibawah Kementrian Pendidikan Nasional. Untuk itu, melalui sejumlah kebijakan, beberapa modifikasi terhadap madrasah dilakukan meskipun menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Keputusan Menteri Agama No. 1 tahun 1952 merupakan kebijakan resmi pertama Departemen Agama yang berisi klasifikasi dan penjenjengan pendidikan madrasah. Berdasarkan keputusan tersebut, pendidikan di madrasah dilaksanakan dalam tiga tingkatan: pertama, tingkat dasar selama 6 tahun disebut Madrasah Ibtidaiyah (MI). Kedua, tingkat menengah pertama selama 3 tahun disebut Madrasah Tsanawiyah (MTs). Ketiga, tingkat menengah atas selama 3 tahun disebut Madrasah Aliyah (MA). Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa di tingkat madrasah tersebut minimal harus mengajarkan tiga mata pelajaran akademik yang diajarkan di sekolah umum dan mengikuti standar kurikulum Departemen Agama. Implikasi bagi madrasah-madrasah swasta adalah, pengakuan legalitas kelulusan ditentukan oleh sejauh mana mereka mengikuti ketentuan tersebut. Karenanya, untuk memperoleh ijazah yang diakui, madrasah swasta harus ujian nasional dengan standar kurikulum Departemen Agama.
Pada tahun 1958, Departemen Agama mengusahakan pengembangan madrasah dengan memperkenalkan model Madrasah Wajib Belajar yang ditempuh selama delapan tahun. Pendidikan Wajib Belajar ini memuat kurikulum pengajaran yang terpadu antara aspek keagamaan, pengetahuan umum dan keterampilan. Namun demikian, sampai pada tahap ini, madrasah masih tetap belum terorganisasi dan terstuktur secara seragam dan standar. Apalagi Undang-undang No. 4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1964 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah yang menjadi acuan bagi kebijakan pendidikan di Indonesia tidak secara eksplisit mengatur keberadaan madrasah. Namun dalam pasal 10 ayat (2) bahwa belajar di sekolah agama yang telah mendapakan pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.
Kendati UU Sistem Pendidikan No. 4 tahun 1950 jo. No, 12/1954 tersebut memberikan kesempatan yang cukup besar bagi pengembangan pendidikan Islam namun pada prakteknya madrasah tetap menjadi lembaga pendidikan yang dinomorduakan. Secara konstitusional pemerintah pada dasarnya belum memihak pada pemberdayaan madrasah sebagai bagian dari program pendidikan nasional tersebut. Kerana itu, kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal ini terbatas pada penguatan struktur madrasah itu sendiri.
Berdasarkan hal tersebut, ada dua langkah yang dapat dicatat sehubungan dengan struktur madrasah, yakni:
1.    Melakukan formalisasi yang ditandai dengan upaya meningkatkan status beberapa madrasah swasta menjadi madrasah negeri. Dengan perubahan status ini, maka sebagai penanggung jawab pengelolaan madrasah menjadi beban pemerintah, sehingga pengaturan dan kontrol atas madrasah ini akan lebih efektif.
2.    Melakukan strukturisasi madrasah yang sesuai dengan tuntunan pendidikan nasional terutama yang berkaitan dengan penyeragaman dan penyempurnaan kurikulum yang digunakan. Ini bisa dilihat dari upaya modifikasi kurikulum madrasah dengan memasukkan beberapa mata pelajaran umum dengan harapan lulusan madrasah secara kualitatif dianggap sama dengan lulusan sekolah umum. Dalam pada ini harus disebutkan bahwa kurikulum madrasah baru mulai tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah, yang dirumuskan di Bogor tanggal 10-20 Agustus 1970, diberlakukan secara nasional berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 52 tahun 1971. Dengan beberapa perbaikan dan penyemprnaan, kurikulum itu kemudian dikenal dengan kurikulum 1973.
Berdasarkan perumusan struktur kelembagaan dan kurikulum madrasah ini, pengelolaan pendidikan agama dibawah Menteri Agama semakin memperoleh bentuk dan status yang jelas. Dapat disebutkan makna penting dari tersusunnya kurikulum 1973, yakni: pertama, adanya standar pendidikan bagi madasah pada setiap jenjang baik negeri maupun madrasah-madrasah swasta; kedua, adanya acuan yang lebih detail dalam mata pelajaran yang dapat dijadikan dasar-dasar kerja dan pengembangan bagi pendidikan di madrasah; ketiga, mata pelajaran umum dan kejuruan di madrasah mendapatkan landasan formal, apalagi dalam jumlah yang cukup tinggi melebihi jumlah yang telah dilakukan para pembaharu pada masa-masa sebelumnya.
Lahirnya Kepres No. 34 tahun 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 tentang tugas pokok Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendapat respons yang cukup keras dari kalangan umat Islam. Kepres tersebut dianggap akan menghapus keberadaan madrasah atau, paling tidak, mengsubordinasikannya dibawah Departemen Pendidikan. Menteri Agama Mukti Ali bersama Majelis Pertimbangan Pengembangan Pendidikan Agama (MP3A) mengambil langkah kompromi “jalan tengah” untuk mengakomodasikan baik Kepres maupun keberatan masyarakat dengan membuat Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri sebagai kebijakan operasional mengenai “Peningkatan Mutu Pendidikan pada Madrasah”. Isi konsideran dalam SKB tersebut antara lain menyebutkan bahwa pembinaan pendidikan umum adalah tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, sedangkan pendidikan agama menjadi tanggung jawab Menteri Agama; serta pelaksanaan Kepres No. 34 tahunn 1972 dan Inpres No. 15 tahun 1974 dengan sebaik-baiknya perlu ada kerja sama antara Departemen pendidikan dan kebudayaan, departemen dalam negeri dan departemen agama.
Konsekuensi dari SKB tersebut adalah bahwa madrasah memperoleh definisi yang semakin jelas sebagai lembaga pendidikan yang setara dengan sekolah sekalipun pengelolaannya tetap berada pada Departemen Agama. Dalam hal ini, madrasah tidak lagi hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggara pendidikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar yang sekurang-kurangnya 30%, disamping mata pelajaran akademik dan sains yang diajarkan di sekolah. Dengan demikian, madrasah memperoleh pengakuan yang mengikuti ujian nasional yang sesuai dengan standar Departemen Pendidikan.
SKB dua mentri ini merupakan rincian pokok inplementasi SKB Tiga Menteri 1975. Keputusan bersama ini mengupayakan perhatian bersama kedua departemen untuk mendorong upaya-upaya pengembangan berbagai aspek pendidikan. Keputusan bersama tersebut salah satunya berisi revisi struktur kurikulum nasional dan perubahan kurukulum madrasah. Revisi kurikulum tersebut mencakup baik Departemen Pendidikan maupun Departemen Agama harus mengembangkan kurikulum inti dan kurikulum khusus yang sama. Inilah yang kemudian dikenal dengan kurikulum 1984. kompetensi dasar di sekolah maupun madrasah diupayakan harus sama, agar memberi kesempatan pada siswa lulusannya melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Untuk mengisi kurikulum tersebut, Departemen Agama merangkul guru-guru umum atau melakukan penempatan guru-guru secara silang.  Untuk mengimplementasikan keputusan tersebut, Menteri Agama mengeluarkan Peraturan No. 99 tahun 1984 untuk MI, No. 100 tahun 1984 untuk MTs. dan No. 101 tahun 1984 untuk MA yang berisi landasan kurikulum masrasah yang dikenal dengan “Kurikulum Departemen Agama”. Kurikulum tersebut berisi materi yang diberikan sebagai materi kurikuler, ko-kurikuler dan extra kurikuler yang harus diterapkan di MI, MTs, dan MA. Peraturan tersebut juga berisi pokok-pokok evaluasi yang harus dilakukan di madrasah untuk melihat pencapaian hasil pengajaran.

Artikel Terkait Kurikulum dan Pembelajaran

Komentar Postingan