Minggu, 25 November 2012

Etika dan Etiket (bagian 1)

Dalam kehidupan bermasyarakat seringkali mendengar pemakaian kata etika dan etiket. Kedua kata ini sering digunakan untuk menunjukkan suatu pengertian yang sama, padahal keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Seperti halnya banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos yang berarti watak, perasaan, cara berfikir, sikap, dan adat kebiasaan. Etika membicarakan tentang kebiasaan (perbuatan), tetapi bukan menurut arti tata-adat, melainkan tata-adab, yaitu berdasar pada intisari atau sifat dasar manusia, yaitu baik dan buruk. Dengan demikian, etika ialah teori tentang perbuatan manusia dilihat dari baik dan buruk. Dalam kepustakaan, umumnya kata etika diartikan sebagai ilmu, yaitu ilmu yang menyelidiki tentang mana yang baik dan mana yang buruk dengan memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh akal pikiran manusia. Dalam bahasa Inggris, kata ethic, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “etika” berarti “system of moral principles, rules of conduct” (sistem asas-asas moral, aturan-aturan tingkah laku), sedangkan kata “ethic” berarti “science of moral, rules conduct”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata etika dijelaskan dengan membedakan tiga arti, yaitu: (1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); (2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; dan (3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Kata “ethos” yang telah diterima dalam bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia, ketika digunakan dalam konteks khusus, seperti dalam ungkapan “ethos kerja” atau “ethos profesi”, lebih menunjuk kepada makna “karakteristik” daripada makna “kebiasaan”. Dengan kata lain, kata ethos dalam konteks khusus tersebut mengalami sedikit pergeseran makna, walaupun tetap mengandung konotasi nilai. Dalam bahasa modern – menurut K. Bertens – kata ethos seperti yang digunakan ungkapan “ethos kerja” atau “ethos profesi” di atas, menunjuk kepada “ciri-ciri, pandangan, nilai yang menjadi suatu kelompok”, atau suasana khas yang menandai suatu kelompok, bangsa atau sistem”. 
Pengertian etika dilihat dari sudut terminologi, ada beberapa definisi, di antaranya yaitu: dalam New Masters Pictorial Encyclopaedia dikatakan: “Ethics is the science of moral philosphy concerned not with fact, but with values; not with the character of, but the ideal of human conduct. (Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya). Dan di dalam Dictionary of Education dikatakan: “Ethics; the study of human behavior not only to find the truth of things as they are but also to enquire into the worth or goodness of human actions”. (Etika adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya, sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau kebaikan dari seluruh tingkah-laku manusia). Taufik Abdullah – dengan mengutip pendapatnya Clifford Geertz – menyatakan bahwa ethos (bentuk kata yang sudah di Indonesiakan) adalah sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Lebih jauh ditegaskan, etos adalah aspek evaluatif yang bersifat menilai. Arti etika secara istilah telah banyak dikemukakan oleh para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang yang mereka gunakan. Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika dengan filsafat nilai dan kesusilaan tentang baik dan buruk. Etika adalah pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri. Walau agak berbeda tetapi pada dasarnya ini hampir mirip dengan apa yang dikemukakan oleh Ahmad Amin bahwa etika adalah ilmu yang menjelaskan baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus ditempuh oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia itu sendiri. Masih senada apa yang dikatakan oleh Ahmad Amin, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa etika adalah ilmu yang mempelajari soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusia, terutama soal gerak-gerik pikiran dan rasa yang terjewantahkan dalam perbuatan. Etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Oleh karena itu sebagai sebuah produk pemikiran maka ia tidak bersifat mutlak dan tidak absolut kebenarannya. Sementara itu, bila dilihat dari segi fungsinya maka etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu ia berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Karena ia sebuah konsepsi dan hasil produk pemikiran, maka dilihat dari sifatnya ia dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman dan keadaan, humanistis, dan antroposentris.
Dari berbagai definisi tentang etika di atas, dapat diklasifikasikan tiga jenis definisi: Aspek historik: pada jenis pertama, etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia,; Aspek deskriptif: jenis yang kedua, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan masalah baik dan buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi demikian, tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik; Sifat dasar: jenis ketiga, etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, evaluatif, yang hanya memberikan nilai baik dan buruk terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup memberikan informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Atas dasar ini, etika digolongkan sebagai pembicaraan yang bersifat informatif, direktif dan reflektif. Dalam tradisi filsafat, istilah etika lazim dipahami sebagai suatu teori ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang baik dan apa yang buruk berkenaan dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, etika merupakan usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori mengenai penyelenggaraan hidup yang baik. Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu masyarakat mulai ditinjau kembali secara kritis. Moralitas berkenaan dengan tingkah laku yang konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang dipahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata kadangkala disebut ethos. Sebagai cabang filsafat, etika bisa dibedakan menjadi dua, yakni obyektivisme dan subyektivisme. Yang pertama berpandangan bahwa nilai kebaikan suatu tindakan bersifat obyektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Paham ini melahirkan apa yang disebut paham rasionalisme dalam etika. Suatu tindakan disebut baik – berdasarkan paham ini – bukan karena senang melakukannya, atau sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata keputusan rasionalisme universal yang mendesak kita untuk berbuat begitu. Tokoh utama pendukung aliran ini adalah Immanuel Kant.Sementara aliran subyektivisme berpandangan bahwa suatu tindakan disebut baik manakala sejalan dengan kehendak atau pertimbangan subyek tertentu. Subyek di sini bisa saja berupa subyektifisme kolektif, yaitu masyarakat, atau bisa saja subyek Tuhan. Faham subyektifisme etika ini terbagi ke dalam aliran, sejak dari etika hedonismenya Thomas Hobbes. Menurut Sunoto, etika dapat dibagi menjadi etika deskriptif dan etika normatif. Etika deskriptif hanya melukiskan, menggambarkan, menceritakan apa adanya, tidak memberikan penilaian, tidak mengajarkan bagaimana seharusnya berbuat, contohnya seperti sejarah etika. Etika normatif sudah memberikan penilaian yang baik dan yang buruk, yang harus dikerjakan dan yang tidak. Etika normatif dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum membicarakan prinsip-prinsip umum, seperti apakah nilai, motivasi suatu perbuatan, suara hati, dan sebagainya. Etika khusus adalah pelaksanaan prinsip-prinsip umum, seperti etika pergaulan, etika dalam pekerjaan, dan sebagainya.
dipetik dari makalah

Artikel Terkait Kajian Perilaku

Komentar Postingan