Secara potensial (fitrah) menurut Plato, manusia dilahirkan sebagi mahluk sosial (zoon politicon). Namun untuk mewujudkan potensi tersebut ia harus berada dalam interaksi dengan lingkungan manusia-manusia lain.
Perkembangan perilaku sosial anak ditandai dengan adanya minat terhadap aktivitas teman-teman dan meningkatnya keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan tidak puas bila tidak bersama teman-temannya. Anak tidak lagi puas bermain sendiri dirumah atau dengan saudara-saudara kandung atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan anggota-anggota keluarga. Anak ingin bersama teman-temannya dan akan merasa kesepian serta tidak puas bila tidak bersama teman-temannya.
Dua atau tiga teman tidaklah cukup baginya. Anak ingin bersama dengan kelompoknya, karena hanya dengan demikian terdapat cukup teman untuk bermain dan berolah raga, dan dapat memberikan kegembiraan. Sejak anak masuk sekolah sampai masa puber, keinginan untuk bersama dan untuk diterima kelompok menjadi semakin kuat. Hal ini berlaku baik untuk anak laki-laki maupun anak perempuan.
Menurut Hurlock salah satu tugas perkembangan masa awal kanak-kanak yang penting adalah memperoleh latihan dan pengalaman pendahuluan yang diperlukan untuk menjadi anggota kelompok dalam akhir masa kanak-kanak. Jadi dalam masa kanak-kanak disebut sebagi masa prakelompok. Dasar untuk sosialisasi diletakan dengan meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari tahun ketahun. Anak tidak hanya lebih banyak bermain dengan anak-anak lain tetapi juga lebih banyak berbicara.
Jenis hubungan sosial lebih penting daripada jumlahnya. Kalau anak menyenangi hubungan dengan orang lain meskipun hanya kadang-kadang saja, maka sikap terhadap kontak sosial mendatangkan lebih baik daripada hubungan sosial yang sering tetapi sifat hubungannya kurang baik. Anak yang lebih menyukai interaksi dengan manusia daripada benda akan lebih mengembangkan kecakapan sosial sehingga mereka lebih populer daripada anak yang interaksi sosialnya terbatas. Manfaat yang diperoleh anak dengan diberikannya kesempatan untuk berhubungan sosial akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesenangan hubungan sosial sebelumnya. Yang umumnya terjadi pada masa ini adalah bahwa anak lebih menyukai kontak sosial sejenis daripada hubungan sosial dengan kelompok jenis kelamin yang berlawanan.
Antara usia dua dan tiga tahun, anak menunjukan minat yang nyata untuk melihat anak-anak lain dan berusaha mengadakan kontak sosial dengan mereka. Ini dikenal dengan bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri, tidak bermain dengan anak-anak lain. Kalaupun terjadi kontak, maka kontak ini cenderung bersifat perkelahian, bukan kerja sama. Bermain sejajar merupakan bentuk sosial yang pertama-tama dilakukan dengan teman-teman sebaya. Perkembangan selanjutnya adalah bermain asosiatif, di mana anak terlibat dalam kegiatan yang menyerupai kegiatan anak-anak lain. Dengan meningkatnya kontak sosial , anak terlibat dalam bermain kooperatif, dimana ia menjadi anggota kelompok dan saling berinteraksi.
Sebagian anak sudah mulai bermain dengan anak lain, ia masih sering berperan sebagi penonton, mengamati anak lain bermain tetapi tidak berusaha benar-benar bermain dengannya. Dari pengalaman mengamati ini, anak muda belia belajar bagaimana anak lain mengadakan kontak sosial dan bagaimana perilakunya dalam berbagai situasi sosial. Kalau pada masa anak berusia empat tahun telah mempunyai pengalaman sosialisasi pendahuluan, biasanya ia mengerti dasar-dasar permainan kelompok, sadar akan pendapat orang lain dan berusaha mendapatkan perhatian dengan cara berlagak menonjolkan diri. Dalam tahun-tahun selanjutnya ia memperhalus perilaku baru yang dapat diterima oleh kelompok teman-temannya.
Bentuk perilaku sosial yang berhasil tampak untuk penyesuaian sosial yang berhasil tampak dan mulai berkembang dalam periode ini. Dalam tahun-tahun pertama masa kanak-kanak bentuk penyesuaian ini belum sedemikian berkembang sehungga belum begitu memungkinkan anak selalu untuk berhasil dalam bergaul dengan teman-temannya. Namun periode ini merupakan tahap perkembangan yang yang kritis karena pada masa inilah dasar sikap sosial dan pola perilaku sosial dibentuk. Dalam penelitian longitudinal terhadap sejumlah anak, Wadrop halperson dalam psikologi perkembangan Hurlock, melaporkan bahwa anak yang pada masa usia 2,5 tahun bersikap ramah dan aktif secara sosial akan terus bersikap seperti itu sampai usia 7,5 tahun. mereka menyimpulkan bahwa “sikap sosial pada masa 7,5 tahun diramalkan oleh sikap sosial pada 2,5 tahun. Secepat individu menyadari bahwa diluar dirinya itu ada orang lain, maka mulailah pula menyadari bahwa ia harus belajar apa yang seyogyanya ia perbuat seperti yang diharapkan orang lain. Proses belajar untuk menjadi mahluk sosial ini disebut sosialisasi. Anak dilahirkan belum bersifat sosial. Dalam arti, dia belum memiliki kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Untuk mencapai kematangan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui kesempatan atau pengalaman bergaul dengan orang-orang dilingkungannya, baik orang tua, saudara, teman sebaya ataupun orang dewasa lainnya.
Perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenal berbagai aspek kehidupan sosial, atau norma-norma kehidupan bermasyarakat serta mendorong dan memberikan contoh kepada anaknya bagaimana menerapkan norma-norma tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Proses bimbingan orang tua ini lazim disebut sosialisasi. Suean Robinson Ambron (1981) mengartikan sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab. Sosialisasi dari orang tua ini sangatlah penting bagi anak, karena dia masih terlalu muda dan belum memiliki pengalaman untuk membimbing perkembangannya sendiri ke arah kematangan. Melalui pergaulan anak atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa, dan teman sebaya lainnya, anak mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial. Pada masa anak, bentuk-bentuk prilaku sosial itu adalah sebagai berikut : a) Pembangkangan (negativisme), yaitu bentuk tingkah laku melawan; b) Agresi (Agresion), yaitu perilaku menyerang balik secara fisik (nonverbal) maupun kata-kata (verbal); c) Berselisih atau bertengkar (quarelling), terjadi apabila anak merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak lain; d) Menggoda (teasing), yaitu sebagai bentuk lain dari agresif; e) Persaingan (rivally)
Perilaku kita sehari-hari pada umumnya diwarnai oleh, perasaan-perasaan tertentu, seperti rasa senang atau tidak senang, suka atau tidak suka, atau sedih dan gembira. Perasaan yang terlalu menyertai perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut sebagai warna afektif. Warna afektif ini kadang-kadang kuat, kadang-kadang lemah, atau kadang tidak jelas. Apabila warna afektif tersebut kuat, perasaan sepertri itu dinamakan emosi. Beberapa perasaan lainnya adalah gembira, cinta, marah, takut, cemas, malu, kecewa benci. Menurut Crow & Crow (1958) pengertian emosi adalah “An emotion, is a affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental and psychological stired up states in the individual, and that shows it self in his evert behavior. Jadi, emosi adalah warna afektif yang kuat dan ditandai oleh perubahan-perubahan fisik. Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahan fisik seseorang, seperti: reaksi elektris pada kulit meningkat bila terpesona; peredaran darah bertambah cepat bila marah; denyut jantung bertambah cepat bila terkejut; bernapas panjang kalau kecewa; pupil mata membesar bila marah; air liur mengering bila takut atau tegang; bulu roma berdiri bila takut; pencernaan menjadi sakit atau mencret-mencret kalau tegang; otot menjadi tegang atau bergetar (tremor); komposisi darah berubah dan kelenjar-kelenjar lebih aktif.
Emosi itu dapat didefinisikan sebagi suatu suasana yang kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa (a stird up state) yang menyertai atau muncul sebelum/sesudah terjadinya prilaku. Aspek emosional dari suatu perilaku, pada umumnya selalu melibatkan tiga variable, yaitu : rangsanganm yang menimbulkan emosi (the stimulus variable), perubahan-perubahan fisikologis yang terjadi bila mengalkami emosi (the organismic variable), dan pola sambutan ekspresi atas terjadinya pengalaman emosional itu. (the response variable). Ayang mungkin dapat dirubah dan dipengaruhi atau diperbaiki (oleh para pendidik atau guru) adalah variable pertama dan ketiga (the stimulus-response variables) sedangkan variablekedua tidak mungkin karena merupakan proses fisiologis yang terjadi pada organisme secara mekanis.
Menurut Nurihsan (2007) ada dua dimensi emosional yang sangat penting diketahui para pendidik, terutama para guru, ialah: senang tidak senang (pleasant-unpleasent), atau suka tidak suka (like-dislike); intensitas dalam term kuat-lemah (strength-weakness) atau halus kasarnya atau dalam dangkalnya emosi tersebut.
Hal-hal itu penting karena dapat memberikan motivasi pengarahan dan integritas perilaku seseorang, di samping pula akan merupakan hambatan-hambatan yang bersifat fatal.
Proses perkembangan dan diferensiasi emosional pada anak-anak sebagai berikut :a. Pada saat dilahirkan setiap bayi dilengkapi kepekaan umum terhadap rangsangan-rangsangan tertentu (bunyi, cahaya temperature); b. Dalam periode 3 bulan pertama ketidaksenangan dan kegembiraan mulai didefinisikan melalui penularan) dari emosi orang tuanya. c. Dalam masa 3-6 bulan pertama ketidaksenangan itu berdiferensiasi ke dalam kemarahan, kebencian, dan ketakutan; d. Sedangkan pada masa 9-12 bulan pertama kegembiraan berdiferensiasi kedalam kegairahan dan kasih saying. e. Pada usia 18 bulan pertama kecemburuan mulai dideferensiasikan dari ketidaksenangan tadi; f. Pada usia 2 tahun kenikmatan dan keasyikan berdiferensiasi dari kesenangan; g. Mulai usia 5 tahun, ketidaksenangan berdiferensiasi di dalam rasa malu, cemas, dan kecewa; sedangkan kesenangan berdiferensiasi ke dalam harapan dan kasih saying.
Dalam taraf-taraf perkembangan selanjutnya dimensi-dimensi tersebut di-reinforcement secara conditioning melalui proses belajar. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau terdapat siswa-siswa yang membenci atau menyenangi guru atau bidang studi tertentu, bergantung pada kemampuan guru untuk menyelenggarakan conditioning dan reinforcement asfek-asfek emosional tersebut.
Kematangan dan belajar terjalin erat satu sama lain dalam mempengaruhi perkembangan emosi. Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan berpikir kritis untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dimengerti dan menimbulkan emosi terarah pada satu objek. Demikian pula kemampuan mengingat dan menghapal mempengaruhi reksi emosional. Dengan demikian, anak menjadi rektif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda. Kegiatan belajar turut menunjang perkembangan anak. Metode belajar yang menunjang perkembangan emosi antara lain sebagai berikut. a. Belajar dengan coba-coba, anak belajar dengan coba-coba untuk mengekspresikan emosinya dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan kepuasan. Cara belajar ini lebih umum digunakan pada masa anak-anak sekolah. Pada masa balita yaitu sekitar anak usia 1-5 tahun anak-anak melakukan kegiatan yang bias mengekspresikan emosinya dengan coba-coba sesuai dengan insting dan nuraninya. Seorang bayi apabila diberikan mainan di depan mukanya dia akan tersenyum bahkan mulai tertawa dengan suara khasnya, dan terkadang apabila benda mainan itu dijauhkan atau yang mengasuhnya menjauhkannya maka sang anak menangis sebagai ekspresi dari kekecewaannya, kemarahannya, dann keinginannya untuk melihat benda tersebut. Anak yang sudah mulai bisa bergerak merangkak dia akan mengekspresikan emosinya apabila dia sedang mencoba berbalik untuk tengkurap. Anak akan mencoba terus-menerus membalikan tubuhnya, dan ketika dia tidak mampu untuk membalikan tubuhnya biasanya dia menangis untuk mengekspresikan keinginannya untuk diberi bantuan.
Sedangkan pada anak yang sudah mulai belajar berjalan dan berbicara yaitu sekitar umur 1,5 tahun lebih, dia sudah bisa mengekspresikan emosi dirinya dengan lebih terarah sesuai dengan situasi yang ada disekitarnya.
b. Belajar dengan cara meniru, dengan cara meniru dan mengamati hal-hal yang membangkitkan emosi orang lain, anak-anak bereaksi dengan emosi dan metode ekspresi yang sama dengan orang-orang yang diamati.
Ketika seorang anak melihat anak diatasnya main sepeda, dia akan mengekpresikan keinginannya dengan mencoba meminjam atau mengadu kepada orang tuanya untuk membelinya. Pada anak sudah mulai sekolah dia akan lebih kelihatan dalam menampakan ekspresi emosionalnya pada rekan yang baru dia kenal disekolah dan guru yang ada disekolah tersebut. Makanya cara pengajaran yang efektif bagi pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar adalah dengan cara memberikan contoh, apalagi pada kegiatan etika seperti membiasakan anak untuk sun tangan pada guru dan orang tuanya. Dia akan meniru orang tua, guru, kaka kelas disekolah dan teman-temannya. Ketika orang tuanya sedikit-sedikit marah ketika ada masalah, atau gurunya juga sering menegur dengan marah-marah, kak kelasnya juga seing mengejek dan mencaci juga memarahi dia juga teman-temannya, maka anak akan meniru cara-cara seperti itu untuk mengekspresikan emosinya pada orang lain; c. Belajar dengan cara mempersamakan diri, anak menirukan reaksi emosional orang lain yang tergugah oleh rangsangan yang sama dengan rangsangan yang telah membangkitkan emosi orang yang ditiru. Disini anak hanya menirukan orang yang dikagumi dan mempunyai ikatan emosional yang kuat dengannya; d. Belajar melalui pengondisian, dengan metode ini objek, situasi yang mulanya gagal memancing reaksi emosional kemudian berhasil dengan cara asosiasi. Pengondisian terjadi dengan mudah cdan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan karena anak kecil kjurang mampu menalar, mengenal betapa tidak rasionalnya reksi mereka. Setelah melewati masa kanak-kanak, penggunaan metode pengondisian semakin terbatas pada perkembangan rasa suka dan tidak suka; e. Belajar di bawah bimbingan dan pengawasan. Anak diajarkan cara bereaksi yang dapat diterima jika suatu emosi terangsang. Dengan pelatihan, anak-anak dirangsang untuk bereaksi terhadap rangsangan yang biasanya membangkitkan emosi yang menyenangkan dan dicegah agar tidak bereaksi secara emosional terhadap rangsangan yang membangkitkan emosi yang tidak menyenangkan. Anak memperhalus ekspresi kemarahannya atau ekspresi lain ketika ia beranjak ke masa remaja. Peralihan pernyataan emosi yang bersifat umum ke emosinya sendiri yang bersifat individual ini akan memperhalus perasaan merupakan petunjuk adanya pengaruh yang bertahap dari latihan serta pengendalian terhadap perilaku emosional.
Perasaan takut atau marah dapat menyebabkan seseorang menjadi gemetar. Dalam ketakutan, mulut menjadi kering, jantung berdetak cepat, aliran darah/tekanan darah deras sehingga system pencernaan terganggu. Cairan pencernaan atau getah lambung terpengaruh oleh gangguan emosi. Keadaan emosi yang menyenangkan dan relaks berfungsi sebagai alat pembantu mencerna, sedangkan perasaan tidak enak atau tertekan menghambat atau menggangu pencernaan. Diantara rangsangan yang meningkatkan kegiatan kelenjar sekresi dari getah lambung adalah ketakutan-ketakutan yang akut atau kronis. Kegembiraan yang berlebihan, kecemasan, dan kehawatiran menyebabkan menurunya kegiatan system pencernaan dan kadang-kadang menimbulkan sembelit. Satu-satunya cara penyembuhan yang efektif adalah menghilangkan penyebab ketegangan emosi. Radang pada lambung tidak busa disembuhkan, demikian pula diare dan sembelit, jika factor-faktor yang menyebabkan munculnya emosi tidak dihilangkan. Gangguan emosi juga dapat menyebabkan kesulitan berbicara. Ketergantungan emosional yang cukup lama mungkin menyebabkan seseorang gagap. Seseorang yang agagap sering dapat normal berbicara jika dalam keadaan relaks atau senang. Namun, jika dia dihadapkan pada situasi-situasi yang menyebabkan kebingungan maka akan menunjukan kegagapannya.
Perilaku ketakutan, malu-malu atau agresif dapat disebabkan ketegangan emosi atau frustasi. Karena reaksi kita berbeda-beda terhadap setiap orang yang kita jumpai maka timbul emosi tertentu. Seorang siswa bisa saja tidak senang kepada gurunya bukan karena pribadi guru, tetapi karena sesuatu yang terjadi pada situasi belajar dikelas. Jika ia merasa malu karena gagal dalam menjawab soal tes lisan, pada kesempatan lain, ia mungkin menjadi takut ketika menghabisi tes tertulis. Akibatnya, ia memutuskan membolos, atau mungkin melakukan kegiatan yang lebih buruk lagi, yaitu melarikan diri dari orang tua, guru, atau dari otoritas lain.
Dengan demikian, gangguan emosional dan frustasi mempengaruhi efektivitas belajar seseorang. Seorang anak disekolah akan belajar lebih giat dan efektif bila ada motivasi. Selanjutnya ia akan mengembangkan usahanya untuk menguasai bahan yang dipelajari. Rasa senang karena berhasil mencapai prestasi akan mengurangi rasa takut dan kelelahan. Karena reksi setiapsiswa tidak sama, rangsangan untuk belajar yang diberikan harus disesuaikan dengan kondisi emosional anak. Rangsangan-rangsangan perasaan tidak menyenangkan akan mempengaruhi hasil belajar dan sebaliknya rangsangan yang menghasilkan perasaan menyenangkan akan mempermudah dan meningkatkan motivasi belajar.
Berpendapat dimensi-dimensi emosional dapat diidentifikasikan pengaruh dan manifestasinya kedalam berbagai kecenderungan bentuk perilaku seperti sikap-sikapnya untuk menolak-menerima, mendekati-menjauhi, berbuat atau tidak berbuat (diam), menghargai-tidak menghargai, mempercayai-tidak mempercayai, bahkan lebih dalam lagi meyakini-tidak meyakini terhadap objek-objek (termasuk dirinya) baik nyang bersifat material maupun non material atau manusiawi dan non-manusiawi. Goleman (1997) mengatakan bahwa koordinasi suasana hati adalah inti hubungan social yang baik. Apabila seseorangdapat menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati, orang tersebut akan memiliki tingkat emosionalitas yang baik dan akan lebih mudah menyesuaikan diri dalam pergaulan social serta lingkungannya. Goleman lebih lanjut mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan emosikonal tersebut, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati. Selanjutnya, Howes dan Herald (1999) mengatakan, pada intinya, kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.
Kecerdasan emosional menuntut diri untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain dan menggapainya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kegiatan pembelajaran, kehidupan dan pekerjaan sehari-hari. Unsur penting kecerdasan emosional terdiri dari: kecakapan pribadi (mengelola diri sendiri), kecakapan social ( menangani suatu hubungan), dan keterampilan social (kepandaian menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain). Goleman (1995) mengungkapkan lima wilayah kecerdasan emosional yang dapat menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam belajar-mengajar ataupun kegiatan lainnya. a. Mengendalikan emosi diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi merupakan dasar kecerdasan emosikonal. Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah; b. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar terungkap dengan tepat.Hal ini merupakan kecakapan yang sangat bergantung pada kesadaran diri. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersiggungan dan bangkit kembali dengan cepat. Sebaliknya, orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang negatif yang merugikan dirinya sendiri; c. Memotivasi diri, kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal berikut: cara mengendalikan dorongan hati; derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang; kekuatan berpikir positif; optimisme; keadaan flow (mengikuti aliran), yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah kepada apa yang sedang terjadi, pekerjaannya, hanya terpokus pada satu objek. Dengan kemampuan memotivasi diri, seseorang cenderung memilikipandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya. d. Mengenali emosi orang lain, empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya, apabila seseorang tidak mampu menhyesuaikan diri dengan emosinya sendiri, ia tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain; e. Membina hubungan dengan orang lain, seni dalam menjaga hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain.