Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunakan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (student oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemukan guru dalam mengaktifkan siswa, yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain, siswa yang agresif dan tidak peduli pada yang lain. Model pembelajaran ini telah terbukti dapat dipergunakan dalam berbagai mata pelajaran dan berbagai usia. Istilah cooperative learning dalam pengertian bahasa Indonesia dikenal dengan nama pembelajaran kooperatif. Menurut Johnson & Johnson (1994) cooperative learning adalah mengelompokan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut. Slavin (1995) menyebutkan cooperative learning merupakan model pembelajaran yang telah dikenal sejak lama, di mana pada saat itu guru mendorong para siswa untuk melakukan kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer teaching). Dalam melakukan proses belajar-mengajar guru tidak lagi mendominasi seperti lazimnya pada saat ini, sehingga siswa dituntut untuk berbagi informasi dengan siswa yang lainnya dan saling belajar mengajar sesama mereka. Ada banyak alasan mengapa cooperative learning tersebut mampu memasuki mainstream (kelaziman) praktek pendidikan. Selain bukti-bukti nyata tentang keberhasilan pendekatan ini, pada masa sekarang masyarakat pendidikan semakin menyadari pentingnya para siswa berlatih berpikir, memecahkan masalah, serta menggabungkan kemampuan dan keahlian. Walaupun memang pendekatan ini akan berjalan baik di kelas yang kemampuannya merata, namun sebenarnya kelas dengan kemampuan siswa yang bervariasi lebih membutuhkan pendekatan ini. Karena dengan mencampurkan para siswa dengan kemampuan yang beragam tersebut, maka siswa yang kurang akan sangat terbantu dan termotivasi siswa yang lebih. Demikian juga siswa yang lebih akan semakin terarah pemahamannya. Cooperative learning ini bukan bermaksud untuk menggantikan pendekatan kompetitif (persaingan). Nuansa kompetitif dalam kelas akan sangat baik bila diterapkan secara sehat. Pendekatan kooperatif ini adalah sebagai alternatif pilihan dalam mengisi kelemahan kompetisi, yakni hanya sebagian siswa saja yang akan bertambah pintar, sementara yang lainnya semakin tenggelam dalam ketidaktahuannya. Tidak sedikit siswa yang kurang pengetahuannya merasa malu bila kekurangannya di-expose. Kadang-kadang motivasi persaingan akan menjadi kurang sehat bila para murid saling menginginkan agar siswa lainnya tidak mampu, katakanlah dalam menjawab soal yang diberikan guru. Sikap mental inilah yang dirasa perlu untuk mengalami improvement (perbaikan). Watchword of the American Revolution dalam Isjoni (2007) mengemukakan istilah "Together we stand, divided we fall" atau "bersama kita bisa, berpisah kita jatuh”, untuk menggambarkan tentang cooperative learning. Kauchak dan Eggen dalam Azizah (1998) berpendapat cooperative learning merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bckerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan. Lie (2007) mengungkapkan, cooperative learning memberi landasan teoritis bagaimana siswa dapat sukses belajar bersama orang lain. Dengan mempraktekkan cooperative Iearning di ruang-ruang kelas, suatu hari kelak kita akan menuai buah persahabatan dan perdamaian, karena cooperative learning memandang siswa sebagai makhluk sosial (homo homini socius), bukan homo homini lupus (manusia adalah srigala bagi sesamanya). Dengan kata lain, cooperative learning adalah cara belajar mengajar berbasiskan peace edutcation (metode belajar mengajar masa depan) yang pasti mendapat perhatian. Cooperative learning sebagai pembelajaran kelompok kooperatif yang menuntut diterapkannya pendekatan belajar yang siswa sentris, humanistik, dan demokratis yang disesuaikan dengan kemampuan siswa dan lingkungan belajarnya. Dengan demikian, maka pembelajaran kooperatif mampu membelajarkan diri dan kehidupan siswa baik di kelas atau sekolah. Lingkungan bclajarnya juga mc'mbina dan meningkatkan serta mengembangkan potensi diri siswa sekalipun memberikan pelatihan hidup senyatanya. Jadi, cooperative learning dapat dirumuskan sebagai kegiatan pembelajaran kelompok yang terarah, terpadu, efektif efisien ke arah mencari atau mengkaji sesuatu melalui proses kerjasama dan saling membantu (sharing) sehingga tercapai proses dan hasil belajar yang produktif (survive). Masih membicarakan cooperative learning, beberapa ahli mencoba mengungkapkan pengertian istilah itu. Djajadisastra (1982) mengemukakan, metode belajar kelompok atau lazim disebut dengan metode gotong-royong, merupakan suatu metode mengajar di mana murid-murid disusun dalam kelompok-kelompok pada waktu menerima pelajaran atau mengerjakan soal-soal dan tugas-tugas. Belajar kelompok itu efektif bila setiap individu merasa bertanggung jawab terhadap kelompok, anak turut berpartisipasi dan bekerjasama dengan individu lain secara efektif, menimbulkan perubahan yang konstruktif pada kelakuan seseorang dan setiap anggota aman dan puas di dalam kelas. Belajar kelompok dibentuk dengan harapan para siswa dapat berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran. Beberapa ciri dari cooperative learning adalah; (a) setiap anggota memiliki peran, (b) terjadi hubungan interaksi langsung di antara siswa, (c) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas belajarnya dan juga teman-teman sekelompoknya, (d) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan (e) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Pada hakekatnya cooperative learning sama dengan kerja kelompok, oleh sebab itu banyak guru yang mengatakan tidak ada sesuatu yang aneh dalam cooperative learning, karena mereka menganggap telah terbiasa menggunakannya. Walaupun cooperative learning terjadi dalam bentuk kelompok, tetapi tidak setiap kerja kelompok dikatakan cooperative learning. Bennet dalam Isjoni (2008) menyatakan ada lima unsur dasar yang dapat membedakan cooperative learning dengan kerja kelompok, yaitu: 1) Positive lnterdependence; 2) Interaction Face to Face; 3) Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok; 4) Membutuhkan keluwesan; 5) Meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah
Positive lnterdependence, yaitu hubungan timbal balik yang didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan diantara anggota kelompok dimana keberhasilan seseorang merpakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya. Untuk menciptakan suasana tersebut, guru perlu merancang struktur dan tugas-tugas kelompok yang memungkinkan setiap siswa untuk belajar mengevaluasi dirinya dan teman kelompoknya dalam penguasaan dan kemampuan memahami bahan pelajaran. Kondisi seperti ini memungkinkan setiap siswa merasa adanya ketergantungan secara positif pada anggota kelompok lainnya dalam mempelajari dan menyelesaikan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya, yang mendorong setiap anggota kelompok untuk bekerjasama. Interaction Face to Face, yaitu interaksi yang langsung terjadi antar siswa tanpa adanya perantara. Tidak adanya penonjolan kekuatan individu yang ada hanya pola interaksi dan perubahan yang bersifat verbal diantara siswa yang ditingkatkan oleh adanya saling hubungan timbal balik yang bersifat positif sehingga dapat mempengaruhi hasil pendidikan dan pengajaran. Adanya tanggung jawab pribadi mengenai materi pelajaran dalam anggota kelompok sehingga siswa termotivasi untuk membantu temannya, karena tujuan dalam cooperative learning adalah menjadikan setiap anggota kelompok menjadi lebih kuat pribadinya. Menumbuhkan keluwesan, yaitu menciptakan hubungan antar pribadi, mengembangkan kemampuan kelompok, dan memelihara hubungan kerja yang efektif. Meningkatkan keterampilan bekerja sama dalam memecahkan masalah (proses kelompok), yaitu tujuan penting yang diharapkan dapat dicapai dalam cooperative learning adalah siswa belajar keterampilan bekerjasama dan berhubungan ini adalah keterampilan yang penting dan sangat diperlukan di masyarakat. Para siswa mengetahui tingkat keberhasilan dan efektifitas kerjasama yang telah dilakukan. Untuk memperoleh informasi itu para siswa perlu mengadakan perbaikan-perbaikan secara sistematis tentang bagaimana mereka telah bekerjasama sebagai satu tim, seberapa baik tingkat pencapaian tujuan kelompok bagaimana mereka saling membantu satu sama lain, bagaimana mereka bertingkah laku positif untuk memungkinkan setiap individu dan kelompok secara keseluruhan menjadi berhasil, dan apa yang mereka butuhkan untuk melakukan tugas-tugas yang akan datang supaya lebih berhasil.
Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian bahwa sikap siswa atau perilaku bersama kadang-kadang harus diperhatikan guru atau membantu di antara sesama dalam struktur kerjasama yang teratur di dalam kelompoknya yang terdiri dari dua orang atau lebih yang keberhasilan kerjanya sangat dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri. Cooperative learning itu juga dapat diartikan sebagai struktur tugas bersama dalam suasana kebersamaan di antara sesama anggota kelompok. Di samping itu, cooperative learning juga sering diartikan sebagai suatu motif kerjasama yang setiap individunya dihadapkan pada preposisi dan pilihan yang harus diikuti apakah memilih bekerja bersama-sama, berkompetisi, atau indvidualistis. Penggunaan model cooperative learning adalah suatu proses yang membutuhkan partisipasi dan kerjasama dalam kelompok. Pembelajaran cooperative learning dapat meningkatkan belajar siswa menuju belajar lebih baik, sikap tolong-menolong dalam beberapa perilaku sosial (Stahl, 1994). Cooperative learning merupakan strategi yang menempatkan siswa belajar dalam kelompok yang beranggotakan 2-6 siswa dengan tingkat kemampuan atau jenis kelamin atau latar belakang yang berbeda. Pembelajaran harus menekankan kerjasama dalam kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Oleh sebab itu, penanaman keterampilan cooperative sangat perlu dilakukan, antara lain menghargai pendapat orang lain, mendorong berpartisipasi, berani bertanya, mendorong teman untuk bertanya mengambil giliran dan berbagi tugas. Slavin dalam Isjoni (2007) mengatakan cooperative learning telah dikenal sejak lama pada saat itu guru mendorong para siswa untuk kerja sama dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti diskusi atau pengajaran oleh teman sebaya (peer teaching). Selain itu, alur proses belajar mengajar tidak harus seperti lazimnya selama ini, guru terlalu mendominasi proses belajar mengajar, segala informasi berasal dari guru, ternyata siswa dapat juga saling belajar mengajar sesama mereka. Lie (2007) mengungkapkan, banyak penelitian menunjukkan bahwa pengajaran oleh teman sebaya (peer teaching) tenyata lebih efektif dari pada pengajaran oleh guru. Ini berarti, keberhasilan dalam belajar bukan semata-mata harus diperoleh dari guru saja melainkan dapat juga dilakukan melalui teman lain, yaitu teman sebaya. Dalam hal ini guru bertindak sebagai fasilitator. Langkah ini mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu tim untuk mencapai tujuan bersama. Cooperative learning berarti juga belajar bersama-sama saling membantu antara yang satu dengan yang lain dalam belajar dan memastikan setiap orang dalam kelompok mencapai tujuan atau tugas yang telah ditentukan sebelumnya.
Keberhasilan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual, maupun secara kelompok juga merupakan pendekatan atau serangkaian strategi yang khusus dirancang untuk memberi dorongan kepada peserta didik agar bekerja sama sclama berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam cooperative learning tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa atau peserta didik juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mernbangun tugas anggota kelompok selama kegiatan. Keterampilan-keterampilan selama kooperatif tingkat awal tersebut antara lain sebagai berikut (Lungdrery 1994): 1) Menggunakan kesepakatan, yang dimaksud dengan menggunakan kesepakatan adalah menyamakan pendapat yang berguna untuk meningkatkan hubungan kerja dalam kelompok.
2) Menghargai kontribusi, Menghargai berarti memperhatikan atau mengenal apa yang dapat dikatakan atau dikerjakan anggota lain. Hal ini berarti harus selalu setuju dengan anggota lain, dapat saja kdtik yang diberikan itu ditujukan terhadap ide dan tidak individu.
3) Mengambil giliran dan berbagi tugas, pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anggota kelompok bersedia menggantikan dan bersedia mengemban tugas/tanggungjawab tertentu dalam kelompok.
4) Berada dalam kelompok, maksud di sini adalah setiap anggota tetap dalam kelompok kerja selama kegiatan berlangsung.
5) Berada dalam tugas, yang dimaksud berada dalam tugas adalah meneruskan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, agar kegiatan dapat diselesaikan sesuai waktu yang dibutuhkan.
6) Mendorong partisipasi, mendorong partisipasi berarti mendorong semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi terhadap tugas kelompok.
7) Mengundang orang lain, maksudnya adalah meminta orang lain untuk berbicara dan berpartisipasi terhadap tugas.
8) Menyelesaikan tugas dalam waktunya
9) Menghormati perbedaan individu, menghormati perbedaan individu berarti bersikap menghormati terhadap budaya, suku, ras atau pengalaman dari semua siswa atau peserta didik.
Model pembelajaran perlu dipahami guru agar dapat melaksanakan pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan hasil pembelajaran. Dalam penerapannya, model pembelajaran harus disesuaikan dengan kebutuhan siswa karena masing-masing model pembelajaran memiliki tujuan, prinsip, dan tekanan utama yang berbeda-beda. Model mengajar dapat diartikan sebagai suatu rencana atau pola yang digunakan menyusun kurikulum, mengatur materi pelajaran, memberi petunjuk kepada pengajar di kelas. Sedangkan pembelajaran merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dan pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Pembelajaran adalah"An active process and suggests that teaching involves facilitating active mental process by students", bahwa dalam proses Pembelajaran siswa berada dalam posisi proses mental yang aktif, dan guru berfungsi mengkondisikan terjadinya pembelajaran. Dalam Penerapannya model pembelajaran yang digunakan harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Untuk model yang tepat, maka perlu diperhatikan relevansinya dengan pencapain tujuan pengajaran. Model pembelajaran menurut Joice dan Weil ( 1990) adalah suatu pola atau rencana yang sudah direncanakan sedemikian rupa dan digunakan untuk menyusun kurikulum,mengatur materi pelajaran, dan memberi petunjuk kepada pengajar di kelasnya. Dalam penerapannya model pembelajaran ini harus sesuai dengan kebutuhan siswa. Untuk memilih model yang tepat, maka perlu diperhatikan relevansinya dengan pencapaan tujuan pengajaran. Dalam prakteknya semua model pembelajaran bisa dikatakan baik jika memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut: Pertama, semakin kecil upaya yang dilakukan guru dan semakin besar aktivitas belajar siswa, maka hal itu semakin baik. Kedua, semakin sedikit waktu yang diperlukan guru untuk mengaktifkan siswa belajar juga semakin bark. Ketiga, sesuai dengan cara belajar siswa yang dilakukan. Keempat, dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru. Kelima, tidak ada satupun motode yang paling sesuai untuk segala tujuan, jenis materi, dan proses belajar yang ada (Hasan, 1995). Dalam cooperative learning terdapat beberapa variasi model yang dapat diterapkan, yaitu di antaranya: 1) Student Team Achievemen Division (STAD), 2) Jigsaw, 3) Group investigation (GI), 4) Rotating Trio Exchange, dan 5) Group Resume. Dari beberapa model pembelajaran tersebut model yang banyak dikembangkan adalah model Student Team Achievement Division ( STAD), dan Jigsaw. Dalam pembelajaran ini, terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar di kelas (Lie, 2007:55), yaitu: 1) Teknik Mencari Pasangan (Make a Mach), yaitu teknik yang dikembangkan luma Curran (1994) salah satu keunggulan teknik ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topic dalam suasana yang menyenangkan. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia
2) Bertukar pasangan, teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sarna dengan orang lain. Pasangan bisa ditunjuk oleh guru atau berdasarkan Teknik Mencari Pasangan. 3) Berpikir Berpasangan Berempat (Think-Pare-Share), yaitu tehnik yang dikembangkan Frank Lyman (Think-Pair-Share) dan Spencer Kagan (Think-Pair-Square). Teknik ini memberi siswa kesempatan untuk bekerja sendiri serta bekerja sama dengan orang lain. Keunggulan dan teknik ini adalah optimalisasi partisipasi siswa yaitu memberi kesempatan delapan kali lebih banyak kepada setiap siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain. 4) Berkirim Salam dan Soal, teknik ini memberi kesempatan kepada siswa untuk nielatih pengetahuan dan keterampilan mereka. Siswa membuat pertanyaan sendiri sehingga akan merasa terdorong untuk belajar dan menjawab pertanyaan yang dibuat teman sekelasnya. 5) Kepala Bernomor (Numbered Heads), teknik ini dikembangkan Spencer Kagan (1992). Teknik ini memberi kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide-ide dan pertimbangkan jawaban yang paling tepat. Selain itu teknik ini mendorong siswa untuk meningkatkan semangat kerjasama mereka. 6) Kepala Bernomor Terstruktur, teknik ini modifikasi dan Teknik Kepala Bernomor yang dipakai Spencer Kagan. Dengan teknik ini siswa bisa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya dan saling keterkaitan dengan teman-teman kelompoknya. 7) DuaTinggal Dua Tamu (two Stay Two Stray), teknik ini dikembangkan Spencer Kagan (1992) dan bisa digunakan dengan Teknik Kepala Bernomor. Teknik ini memberi kesempatan kepada siswa untuk membagikan hasil informasi dengan kelompok lain. 8) Keliling Kelompok, dalam teknik ini masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran anggota yang lain. 9) Kancing Gemerincing, teknik ini dikembangkan juga oleh Spencer Kagan (1992), dimana masing-masing anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk memberikan kontribusi mereka dan mendengarkan pandangan dan pemikiran orang lain.
10) Keliling Kelas, teknik ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk memamerkan hasil kerja mereka dan melihat hasil kerja orang lain. 11) Lingkaran Kecil-Lingkaran Besar (Inside-Outside Circle), dikembangkan Spencer Kagan untuk memberikan kesempatan kepada siswa agar saling berbagi informasi pada saat yang bersamaan. 12) Tari Bambu, teknik ini merupakan modifikasi Lingkaran Kecil-Lingkaran Besar, karena keterbatasan ruang kelas. 13) Teknik Jigsaw, dikembangkan oleh Aronson et al. sebagai metode cooperative learning. 14) Bercerita Berpasangan (Paired Stotytelling), dikembangkan sebagai pendekatan interakif antara siswa, pengajar, dan bahan pengajaran. Dalam teknik ini guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan membantu siswa mengaktifkan skemata itu agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Dalam kegiatan ini siswa dirangsang untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan berimajinasi sehingga siswa terdorong untak belajar. Selain itu, siswa bekerja dengan sesama siswa dalam suasana gotong-royong dan mempunyai banyak kesempatan mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi. Teknik-teknik tersebut tidak harus dipraktekan seluruhnya di depan kelas, namun sebagai seorang guru yang professional, guru bisa memilih dan memodifikasi sendiri teknik-teknik tersebut agar lcbih sesuai dengan situasi kelas.