Kamis, 29 Maret 2012

Murid Dalam Pandangan Sufi

Dalam bahasa Indonesia ada tiga sebutan umum untuk seseorang yang sedang menuntut ilmu (belajar), yaitu anak didik, murid, dan peserta didik. Istilah murid kelihatannya khas pengaruh agama Islam yang diperkenalkan oleh kalangan dunia tasawuf. Istilah murid dalam dunia tasawuf mengandung pengertian orang yang sedang belajar menyucikan diri dan sedang berjalan menuju Tuhan. Yang paling menonjol dalam istilah itu ialah kepatuhan murid kepada guru ( mursyid). Patuh di sini adalah dalam arti tidak membantah sama sekali. Hubungan guru (mursyid) dan murid adalah hubungan searah. Pengajaran berlangsung dari subjek (mursyid) ke objek (murid), dalam ilmu pendidikan hal seperti ini disebut ”pengajaran berpusat pada guru”
Sebutan anak didik mengandung pengertian bahwa guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri. Faktor kasih sayang guru terhadap anak didik dianggap salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Dalam sebutan anak didik agaknya pengajaran masih berpusat pada guru tetapi tidak lagi seketat pada guru-murid seperti di atas. Sebutan peserta didik adalah sebutan yang paling mutakhir. Istilah ini menekankan pentingnya murid berprestasi dalam proses pembelajaran. Dalam sebutan ini aktivitas pelajar dalam proses pendidikan dianggap salah satu kata kunci. Istilah anak didik kurang mendapatkan perhatian dari kalangan ahli linguistik, tetapi yang paling umum dan populer di lingkungan para akademisi banyak menggunakan terminologi murid.

Karena istilah murid lah yang paling berarti dan bermakna bagi semua orang yang sedang belajar pada guru, bukan anak didik atau peserta didik. Istilah murid bermakna ”yang mempunyai kehendak”. Dalam dunia sufi, sumber pengambilannya berasal dari kata al-iradah ( kehendak). Adapun jalan iradah di sini adalah untuk menetapkan mengetahui yang dikehendaki, yaitu Allah ( al-murad). Adapun keberadaan iradah tersebut adalah kehendak yang dikehendaki oleh Allah dengan cara mengikuti perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Inilah yang disebut dengan makna tauhid. Karenanya untuk mencari ilmu, seorang murid haruslah mengetahui sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah. Utamanya perilaku seorang murid dalam mencari ilmu menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jailani yang dikutip oleh al-Hifni dalam Kitab al-Mausuat al-Shufiyyah (1992), seorang mukmin harus memiliki tiga komponen dalam berperilaku, pertama, mampu melaksanakan perintah-perintah-Nya, kedua, menjauhi segala larangan-nya, dan ketiga meridhai atas segala ketetapan-Nya. Ada beberapa hal yang harus dimiliki dan dipersiapkan oleh setiap murid yang sedang belajar sebagai adab dan tugasnya selaku murid (yang dapat juga disebut sebagai sifat-sifat murid) seperti yang dikemukakan Said Hawwa, sebagai berikut : Pertama, murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum lainnya. Sama halnya dengan shalat, ia tidak sah bila tidak suci dari hadats dan najis. Intinya di sini ialah murid itu jiwanya harus suci, dan indikatornya terlihat pada akhlaknya; Kedua, murid harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawi karena kesibukan itu akan melengahkannya dari menuntut ilmu. Jika pikiran terpecah maka murid tidak akan dapat memahami hakikat. Karena itu dikatakan ilmu tidak memberikan kepadamu sebagiannya sebelum kamu menyerahkan kepadanya seluruh jiwamu ; jika kamu telah memberikan seluruh jiwamu kepadanya tetapi ia baru memberikan sebagiannya kepadamu maka berarti kamu dalam bahaya; Ketiga, tidak sombong terhadap orang yang berilmu, tidak bertindak sewenang-wenang terhadap guru ; ia harus patuh kepada guru seperti patuhnya orang sakit terhadap dokter yang merawatnya. Murid harus tawadhu kepada gurunya dan mencari pahala dengan menngabdi kepada guru. Ilmu ; Keempat, orang yang menekuni ilmu pada tahap awal harus menjaga diri dari mendengarkan perbedaan pendapat atau khilafiah antar madzhab karena hal itu akan membingungkan pikirannya; Kelima, penuntut ilmu harus mendahulukan menekuni ilmu yang paling penting untuk dirinya; Keenam, tidak menekuni banyak ilmu sekaligus, melainkan berurutan dari yang paling penting. Ilmu yang paling utama adalah ilmu mengenal Allah. Ketujuh, tidak memasuki cabang ilmu lain sebelum menguasai cabang ilmu sebelumnya, jadi sifatnya bertahap dan berurutan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya; Kedelapan, hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya dan ketekunan dalilnya.

Untuk menjaga hubungan yang begitu urgen yakni intensitas, interaktif, komunikatif, dan produktif antara seorang murid dengan gurunya, maka posisi murid secara fungsional dan proporsional memiliki kriteria-kriteria menyangkut hak dan kewajiban, etika dan tatakrama, adab dan tatalaku yang menceriminkan perilaku yang disebutkan oleh Syeikh Ahman al-Kamisykhonawy dalam Kitab Jami’ al-Ushul fi al-Auliya, sebagai berikut : Setelah yakin dan mantap dengan seorang guru, dia segera mendatanginya seraya berkata : ”Aku datang kehadapan Tuan agar dapat ma’rifat dengan Allah. Setelah diterima oleh seorang guru, hendaknya dia berkhidmah dengan penuh kecondongan dan kecintaan agar dapat memperoleh penerimaan di hatinya dengan sempurna; Tidak membebani orang lain untuk menyampaikan salam kepada gurunya karena hal itu tidak sopan; Tidak berwudlu di tempat yang bisa dilihat oleh gurunya, tidak meludah dan membuang ingus di majlisnya dan tidak melakukan shalat sunnat dihadapannya; Bersegara melakukan apa yang diperintahkan oleh guru dengan tanpa keengganan, tanpa menyepelekan dan tidak berhenti sebelum urusannya selesai; Tidak menebak-nebak di dalam hati terhadap perbuatan gurunya. Selama ia mampu dia boleh menta’wilkannya. Namun jika tidak dia harus mengakui ketidak-fahamannya; Mau mengungkapkan kepada guru apa-apa yang timbul dalam hati berupa kebaikan atau keburukan sehingga dia dapat mengobatinya. Karena guru itu ibarat dokter. Apabila ia melihat keadaan muridnya ia akan segera memperbaiki dan menghilangkan penyakitnya; Bersungguh-sungguh dalam pencarian ma’rifat, sehingga segala ujian serta cobaan tidak mempengaruhinya dan segala celaan serta gangguan tidak akan menghentikannya. Dan hendaknya kecintaan yang jujur kepada gurunya melebihi kecintaan kepada dirinya, harta dan anaknya seraya berkeyakinan bahwa maksudnya dengan Allah tidak akan kesampaian wasilah gurunya; Tidak mengikuti apa yang dilakukan oleh gurunya kecuali diperintahkan olehnya. Berbeda dengan perkataannya, yang mesti diikuti semuanya. Karena seorang guru iru terkadang melakukan sesuatu sesuai dengan tuntutan tempat dan keadaannya; Mengamalkan semua apa yang telah ditalqinkan oleh gurunya, berupa dzikir, tawajjuh, atau muraqabah. Dan meninggalkan semua wirid dari yang lainnya walaupun ma’tsur. Karena firasat guru menetapkan tertentunya hal itu merupakan nur dari Allah; Merasa bahwa dirinya lebih hina dari semua makhluk dan tidak melihat bahwa dirinya memiliki hak atas orang lain serta berusaha keluar dari tanggungan hak-hak pihak lain dengan menuanaikan kewajibannya dan memutuskan segala ketergantungannya dari selain Allah.

Artikel Terkait Kajian Kependidikan

Komentar Postingan