Ada banyak corak dan ragam filsafat yang dapat mendasari pendidikan dengan berbagai ide, gagasan dan kritiknya. Salah satu filsafat tersebut di antaranya adalah filsafat perenial atau perenialisme. Filsafat ini, walaupun secara umum pada awalnya tidak berkaitan dengan kontesk pendidikan secara khusus, namun kemudian pada tahap perkembangan selanjutnya, perenialisme banyak dan senantiasa dihubungkan dengan pendidikan baik secara umum, maupun secara khusus.
Perenialisme atau filsafat perenial adalah salah satu cabang filsafat yang sangat tua umurnya. Bahkan oleh beberapa pemikir seperti Charles B. Schmit misalnya, menyebutkan bahwa cabang atau esensi filsafat ini sudah ada sejak zaman para pemikir yang paling awal. Bahkan, Huckley menyatakan bahwa ide dasar dan butir –butir pemikiran perenialisme telah lahir sejak dua puluh lima abad yang lalu, namu entah siapa yang pertama kali mencetuskannya. Dalam bukunya The Perennial Philoshophy ia menulis : “A version of this highest common factor in all preciding and subsequent theologies was first commited to writing more than twenty five centuris ago and since that time the inexhaustible theme has been treated again and again from the stand point every religious tradition and in all the principals laguage of Asia and Erope.” Walaupun Bede Griffiths dalam New Vision of Reality menyebutkan bahwa filsafat ini lahir pada abad ke-6, itu adalah ketika filsafat perenial ini telah menjadi suatu sistem filsafat tertentu, bukan pada saat lahirnya konsep dan ide-ide dasarnya. Adapun tokoh yang pertama kali menggunakan istilah filsafat pernial di kalangan perenialis, terjadi perbedaan pendapat. Sayye Hossein Nasr mengaggap yang pertama kali menggunakan istilah itu adalah Agustino Steuco (1490 – 1548) ketika ia menulis buku De Philosophia Perennis. Sementara Huckley menyebutkan Leibniz sebagai tokoh pertema tersebut.
Secara etimologis perenialisme, atau filsafat perenial berasal dari istilah Latin yakni philosophia perennis yang arti harfiahnya adalah filsafat yang abadi. Menyangkut kata “abadi” ada dua macam interpretasi yang berbeda. Pertama , menginterpretasikan abadi sebagai suatu sifat dari filsafat. Dalam The Perenial Scope of Philosophy, Karl Jaspers (1949) menyebutkan : “From the begining there has been coming irreplaceable in Philosophy. Through all the change in human cirmutances and the task of practical life, trough all progress of sciences, all the developement of the categories and methods of thought, its porever concernd with apprehending the one eternal truth under new condition, with new methods and perhaps greater possibilities of clarity” Dari pernyataannya ini, Jaspers tidak menerima filsafat perenial sebagai suatu sistem filsafat tersendiri. Ia berpendapat bahwa pada dasarnya, filsafat apapun bentuk dan jenisnya adalah perenial atau abadi. Filsafat itu merupakan proses perenial yang tidak tunduk pada perubahan dan aturan temporal. Pendapat ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh James Collins yang dengan tegas menolak pemakaian istilah filsafat perenial sebagai proper name dari suatu sistem filsafat tertentu. Istilah filsafat perenial adalah merupakan kata sifat, yaitu “filsafat yeng abadi” atau “filsafat yang perenial”. Kedua, mengartikan “abadi / perenial” sebagai nama dari suatu sistem filsafat tertentu. Charles B. Schmit menganggap istilah filsafat perenial sebagai suatu proper name, yakni sebagai nama bagi suatu sistem filsafat tertentu. Dia menyebutkan bahwa sejak kemunculan pola-pola pemikiran filsafat perenial pada zaman dulu (pemikir awal), baru pada abad ke-16, istilah filsafat perenial dipakai sebagai nama sistem filsafat ini. Sependapat dengan pandangan ini di antaranya adalah Marcilio Ficino, Gevanni Pico, Agustino Steuco, Leibniz dan pemikir lainnya. Sementara itu secara esensial, para pemikiran memberikan pengertian terhadap filsafat perenial sebagai berikut : Steuco, seorang pemikir abad ke-16, mengartikan filsafat perenial sebagai tradisi intelektual intesis antara teologi, filsafat kuno, dan doktrin agama (Kristen). Selanjutnya adalah, Aldous Huxley (1959), dia mengertikan filsafat perenial sebagai berikut : tradisi filsafat yang terdiri dari tiga cabang utama, yakni : metefisika, psikologi dan etika. Ketiga hal tersebut bersifat perenial, universal dan berlaku sepanjang masa, yang dapat menuntun kepada pemahaman dan kesadaran akan eksistesi Tuhan sebagai “The Ground” dari dunia dan segala isinya. Sebagaimana disebuatkan sebagai berikut : “ …the metaphysic that recognizes a divine Reality substantial to the world of things and lives and minds; the psychology that finds in the soul something similar to, or even identical with, divine Reality; the ethic that places man's final end in the knowledge of the immanent and transcendent Ground of all being; the thing is immemorial and universal. Rudiments of the perennial philosophy may be found among the traditional lore of primitive peoples in every region of the world, and in its fully developed forms it has a place in every one of the higher religions. The Perennial Philosophy, p. vii). Sayyed Husen Nasr, mengartikan filsafat perenial sebagai tradisi filsafat yang primordial, dan Owen C. Thomas memandang filsafat perenial sebagai sinonim dengan tradisi agama emissary, yang setelah setelah berinteraksi dengan al-kitab muncul sebagai Kristen.
Walaupun rumusan pengertian tersebut, berbeda-beda namun kesemuanya itu seperti diungkapkan oleh Huckley adalah merujuk kepada suatu doktrin atau ajaran kebijaksanaan primordial yang bisa ditemukan dalam cerita-cerita tradisional dari masyarakat kuno, dan dalam bentuknya yang matang berada dalam setiap agama tingkat tingkat tinggi. Meskipun terjadi banyak perbedaan pendapat tentang filsafat ini, namun secara esensial, para perenialis sepakat bahwa teori atau konsep pemikiran perenilisme dilatarbelakangi oleh pemikiran filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan Filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran (filsafat) Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya (abad pertengahan). Perenialisme memandang bahwa kepercayaan-kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar penyusunan konsep filsafat dan pendidikan zaman sekarang. Ini bukanlah berarti nostalgia, melainkan karena kepercayaan-kepercayaan masa lalu itu berguna bagi abad sekarang. Oleh karena itu, asas-asas filsafat perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan, yaitu perenialisme-teologis yang ada di bawah supremasi gereja Katolik, khususnya menurut ajaran dan interpretasi Thomas Aquinas, dan perenalisme secular yang berpegang pad aide dan cita filosofi Plato dan Aristoteles. Aristoteles telah mengembangkan filsafat perenialisme dengan menelusuri sejauh mana sesorang dapat menelusuri jalan pikiran manusia itu sendiri. Sementara Thomas Aquinas justru telah menegadakan beberapa perubahan sesuai dengan tuntutan agama Kristen saat agama itu datang. Hingga lahirlah apa yang diekanl dengan neo-Thomisme. Pandangan-pandangan Thomas Aquinas tersebut berpengaruh besar dalam lingkungan gereja Katolik. Demikian pula pandangan-pandangan aksiomatis lain sebagaimana yang diutarakan oleh Plato dan Arostotels, semuanya mendasari konsep filsafat ini. Neo-Scholastisisme atau Neo-Thomisme ini berusaha untuk menyesuaikan ajaran-ajaran Thomas Aquinas dengan tuntutan abad ke dua puluh. Misalnya mengenai perkembangan ilmu pengetahuan cukup dimengerti dan disadari adanya. Namun semua yang bersendikan empirik dan eksprimentasi hanya dipandang sebagai pengetahuan yang fenomenal, maka metafisika mempunyai kedudukan yang lebih penting. Mengenai manusia di kemukakan bahwa hakikat pengertiannya adalah di tekankan pada sifat spiritualnya. Simbol dari sifat ini terletak pada peranan akal yang karenanya, manusia dapat mengerti dan memahami kebenaran-kebenaran yang fenomenal maupun yang bersendikan religi.
Berikut ini dipaparkan sekilas tentang pemikiran tokoh yang dijadikan rujukan filsafat perenialisme :(1) Plato (427 – 347 SM) hidup pada zaman kebudayaan yang syarat dengan ketidakpastian, yaitu sedang berkembangnya filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral, tidak ada kepastian dalam kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Bahaya perang dan kejahatan mengancam bangsa Athena. Siapa yang bisa memperoleh kebenaran secara retorik, maka dialah yang benar. Plato ingin membangun dan membina tata kehidupan dunia yang ideal, di atas tata kebudayaan yang tertib dan sejahtera, membina cara yang menuju kepada kebaikan. Dalam pandangan Plato, bahwa realitas yang hakiki itu tetap, tidak berubah. Realitas atau kenyataan itu telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya yang berasal dari realitas yang hakiki. Dunia idea bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir, yang semuanya bersumber dari idea yang mutlak tadi. Manusia tidak menciptakan kebenaran, pengetahuan dan nilai moral, melainkan bagaimana menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal dan rasio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh menusia. Kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang bulat dan utuh. Manusia dapat memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berpikir, bukan dengan pengamatan indera, karena dengan berpikir itulah manusia dapat mengetahui hakikat kebenaran dan pengetahuan. Dengan indera, manusia hanya sampai pada memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan, menyelidiki dan mempelajari dirinya sendiri dan keseluruhan alam semesta. Esensi realitas, pengetahuan, dan nilai merupakan manifestasi dari hukum universal yang abadi dan sempurna, yaitu ide mutlak yang supernatural. Keterlibatan sosial hanya akan mungkin apa bila ide tersebut dijadikan standar, atau dijadikan asas normatif dalam segala aspek kehidupan. Dalam konteks masyarakat, masyarakat ideal adalah masyarakt yang adil sejahtera. Masyarakat ini lahir apabila setiap warga negara melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan tingkat kedudukan dan kemampuan pribadinya. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip “idea mutlak”. Idea mutlak inilah yang membimbing manusia untuk menemukan kriteria moral, politik, dan sosial serta keadilan. Idea mutlak adlah prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran yang transendental. Ide mutlak adalah pencipta alam semesta, yaitu Tuhan. (2) Aristoteles (384 – 322 SM), adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya yaitu idealisme. Cara berpikir Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan berpikir rasional spekulatif. Aristoteles menggunakan cara berpikir rasional empiris realistis. Cara berpikir ini kemudian disebut filsafat Realisme. Meski hidup pada abad sebelum masehi, namun Aristoteles dinayatkan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Aristoteles merupakan dasar berpikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani manusia sadar, ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna. Perkembangan budi merupakan titik pusat perhatian pendidikan dengan filsafat sebagai alat mencapainya. Ia menganggap penting pula pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral. Aristoteles juga menganggap kebahagiaan sebagai tujuan dari pendidikan yang baik. Ia mengembangkan individu secara bulat, totalitas. Aspek-aspek jasmaniah, emosi, dan intelek sama dikembangkan, walaupun ia mengakui bahwa kebahagiaan tertinggi ialah kehidupan berpikiran. (3)Thomas Aquinas, dia mencoba mempertemukan suatu pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan ajaran filsafat Aristoteles. Menurutnya di antara keduanya sebenarnya tidak terdapat perbedaan, keduanya bisa berjalan secara beriringan dalam lapangannya masing-masing. Pandangannya tentang realitas, ia mengamukakan bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Ia memeprtahankan bahwa Tuhan bebas menciptakan dunia. Ia tidak setuju tentang teori emanasi dalam penciptaan alam sebagaimana dikemuakan oleh Neopaltonisme. Tomas Aquinas menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitas, yaitu : a) dunia tidak diadakan semacam bahan dasar, dan b) penciptaan tidak terbatas pada satu saja. (Bertens, 1979. Dalam masalah pengetahuan, Aquinas mengemukakan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan antara dunia luar dan / oleh akal budi, yang kemudian menjadi pengetahuan. Sumber pengetahuan selain bersumber dari akal budi, juga berasal dari wahyu Tuhan. Di sinilah dia menggabungkan pemikiran filsafat idealisme dan realisme dengan diktrin-doktrin Gereja), sehingga filsafat Aqinas disebut filsafat tomisme.
Dalam konteks pendidikan, dia menyatakan bahwa pendidikan adalah suatu usaha dalam menuntun kemampua-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu. Seorang guru bertugas untuk menolong membangkitkan potensi yang masih tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan nyata.
Ontologi perenialisme terdiri dari pengertian tentang benda individual, esensi, akseiden dan substansi. Perenialsme membedakan suatu realita dalam aspek-aspek perwujudannya. Benda individual di sini adalah benda yang sebagaimana yang tampak di hadapan manusia dan sebagaimana yang ditangkap panca indra. Esensi suatu kualitas menjadikan benda itu lebih instrinsik daripada fisiknya, seperti manusia jika ditinjau dari segi esensinya adalah makhluk yang berpikir. Aksiden adalah keadaan-keadaan khusus yang dapat berubah-ubah dan sifatnya kurang penting dibandingkan dengan dengan yang esensial. Substansi adalah kesatuan dari tiap-tiap individu, misalnya partikular dan universal, material dan spiritual. (Barnadib, 1990: 64-65)
Jadi, segala yang ada di alam semesta ini seperti halnya manusia, batu bangunan dasar, hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya meru¬pakan hal yang logis dalam karakternya. Setiap sesuatu yang ada, tidak hanya merupakan kambinasi antara zat atau benda tapi merupakan unsur potensialitas dengan bentuk yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diutarakan aleh Aristateles, tetapi ia juga merupakan sesuatu yang datang bersama-sama dari sesuatu "apa" yang terkandung dalam inti (essence) dan potensialitas dengan tindakan untuk "berada" yang merupakan unsur aktualitas sebagaimana yang diungkapkan oleh ST. Thomas Aquinas. Esensi dari kenyataan adalah menuju ke arah aktualitas, sehingga makin lama makin jauh dari potensialitasnya. Bila dihubungkan dengan manusia, maka manusia itu setiap waktu adalah potensialitas yang sedang beruasaha menjadi aktualitas. Dengan peningkatan suasana hidup spiritual itu, manusia dapat makin mendekatkan diri menuju tujuan (teleologis) untuk mendekatkan diri pada supernatural (Tuhan) yang merupakan pencipta dan Tujuan Akhir. (Jalaluddin & Abdullah Idi, 2007: 113)
Kaum perenialis juga percaya bahwa dunia alamiah dan hakikat manusia pada dasarnya tetap tidak berubah selama berabad-abad : jadi, gagasan-gagasan besar terus memiliki potensi yang paling besar untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di setiap zaman. Selain itu, filsafat perenialis menekankan kemampuan-kemampuan berpikir rasional manusia sehingga membedakan mereka dengan binatang-binatang lain. Perenealisme berpendapat bahwa segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan adalah apa yang terlindung pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikiran dengan benda-benda. Benda-benda di sini adalah hal-hal yang keberadaannya bersendikan prinsip-prinsip keabadian. Ini berarti bahwa perhatian mengenai kebenaran adalah perhatian mengenai esensi dari sesuatu. Kepercayaan terhadap kebenaran itu akan terlindung apabila segala sesuatu itu merupakan hal yang snagat penting karena ia merupakan pengolahan akal pikran yang konsekuen.
Dalam pandangan perenialisme, filsafat yang tertinggi adalah ilmu metafísika. Sebab sains sebagai ilmu pengetahuan menggunakan metode induktif yang bersifat analisis empiris kebenarannya terbatas, relatif atau kebenarannya probability. Tetai, filsafat dengan metode deduktif bersifat analogical analysis, kebenaran yang dihasilkannya bersifat self evidence, universal, hakiki, dan berjalan dengan hukum-hukum berpikir sendiri yang berpanggkal pada hukum pertama, bahwa kesimpulannya bersifat mutlak asasi.
Perenialisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural, yakni menerima universal yang abadi. Dengan azas seperti itu, tidak hanya ontologi dan epistemologi yang didasarkan atas prinsip teologi dan supernatural, melainkan juga aksiologi. Khususnya dalam tingkah laku manusia, maka manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping itu ada pula kecenderungan-kecenderungan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Masalah nilai itu merupakan hal yang utama dalam perenialisme, karena ia berdasarkan pada azas-azas supernatural yaitu menerima universal yang abadi, khususnya tingkah laku manusia. Jadi hakikat manusia itu yang pertama-tama adalah pada jiwanya. Oleh karena itulah hakekat manusia itu juga menentukan hakikat perbuatan-perbuatannya, dan persoalan nilai adalah persoalan spiritual. Dalam aksiologi, prinsip pikiran itu bertahan dan tetap berlaku. Secara etika, tindakan itu ialah yang bersesuaian dengan sifat rasional seorang manusia, karena manusia itu secara alamiah condong kepada kebaikan. Jadi manusia sebagai subyek dalam bertingkah laku, telah memiliki potensi kebaikan sesuai dengan kodratnya, di samping adapula kecenderungan-kecenderunngan dan dorongan-dorongan kearah yang tidak baik. Tindakan yang baik adalah yang bersesuaian dengan sifat rasional (pikiran) manusia. Kodrat wujud manusia yang pertama-tama adalah cerminan dari jiwa dan pikirannya yang disebut dengan kekuatan potensial yang membimbing tindakan manusia menuju pada Tuhan atau menjauhi Tuhan, dengan kata lain melakukan kebaikan atau kejahatan. Kebaikan tertinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah tingkatan ini baru kehidupan berpikir rasional. Dalam bidang pendidikan perenialisme sangat dipengaruhi oleh tokoh-tokohnya, seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan dan pikiran. Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat bisa terpenuhi. Dengan demikian jelaslah bahwa perenialisme itu rnenghendaki agar pendidikan disesuaikan dengan keadaan manusia yang mempunyai nafsu, kemauan dan pikiran sebagaimana yang dimiliki secara kodrat. Dengan memperhatikan hal ini, maka pendidikan yang berorientasi pada potensi dan masyarakat akan dapat terpenuhi.
Ide-ide Plato ini kemudian dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan kepada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles tujuan pendidikan adalah "kebahagiaan". Untuk mencapai pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus di kembangkan secara seimbang. Sejalan dengan uraian di atas, tujuan pendi¬dikan yang dikehendaki oleh Thomas Aquinas ialah sebagai usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas, aktif dan nyata, dalam hal ini peranan guru adalah mengajar dan memberikan bantuan pada anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada padanya.
Dalam dunia yang tidak menentu dan penuh kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal.
Beberpa prinsip pendidikan menurut perenialisme adalah sebagai berikut : a. Manusia pada hakikatnya adalah sama, walupun ia berada dalam lingkungan yang beda-beda. Menurut Robert Hutchkins bahwa manusia pada hakikatnya adalah animal rasional. Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup itu sendiri, yaitu untuk mencapai kebajikan. Oleh karenanya tujuan pendidikan di sekolah perlu sejalan dengan pandangan dasar di atas, mempertinggi kemampuan anak untuk memiliki akal sehat, dan memperbaiki manusia sebagai menusia; b. Rasio merupakan atribut manusia yang paling tinggi. Manusia harus menggunakannya untuk mengarahkan sifat bawaannya, sesuai dengan tujuan yang ditentukan. Manusia adalah bebas, namun mereka harus belajar, untuk memperhalus pikiran dan mengontrol keinginan-keinginannya; c. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti dan abadi. Materi pelajaran ditentukan terlebih dahulu oleh orang dewasa dan ditujukan untuk melatih dan mengembangkan akal.; d. Pendidikan bukan merupakan peniruan hidup, namun merupakan persiapan untuk hidup. Sekolah tidak pernah menjadi situasi kehidupan yang nyata. Sekolah bagi anak merupakan peraturan-peraturan artifisial yang merupakan hasil terbaik dari warisan sosial budaya; e. Siswa seharusnya mempelajari karya-karya besar dalam literatur yang menyangkut sejarah, filsafat, seni, dan literatur-literatur yang berhubungan dengan kehidupan sosial terutama politik dan ekonomi.
Kurikulum menurut kaum perenialis harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sians. Untuk menjadi “terpelajar secara kultural”, para siswa harus berhadapan dengan bidang-bidang ini (seni dan sains) yang merupakan karya terbaik dan paling signifikan yang diciptakan oleh manusia. Berkenaan dengan bidang kurikulum, hanya satu pertanyaan yang bisa diajukan : Apakah siswa memperoleh muatan yang merepresentasikan usaha-usaha yang paling tinggi di bidang itu ? Jadi seorang guru Bahasa Inggris SMU dapat mengharuskan para siswanya untuk membaca Moby Dick-nya Melville, atau mempelajarai karya dramanya Shakespeare, bukannya sebuah novel terlaris saat ini. Sama halnya juga dengan para siswa IPA akan mempelajari tentang tiga hukum termodinamika bukannya membangun suatu model penerbangan ulang alik anagkasa.Hal tersebut senada dengan apa yang diungkapkan oleh Jean Marrapodi (2003) sebagai berikut : “Perennialis believe that one should teach the things of everlasting importance to all people everywhere. They believe that the most important topics develop a person. Philosophy is important to study. Students should learn principles, not facts, teach scientific reasoning, not facts. Teach first about humans, not machines or techniques.. Perennialism focuses first on personal development”. Teodhore Brameld (1955) menjelaskan, bahwa pada tahap sekolah dasar, menurut perenialisme pendidikan merupakan suatu upaya persiapan. Perenislisme beranggapan bahwa anak merupakan dan masih sebagai potensi dari pada sebagai pribadi yang aktual. Tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan anak didik ke arah kematangan. Matang dalam arti hidup akalnya. Jadi akal inilah yang perlu mendapat tuntutan ke arah kematangan tersebut. Sekolah rendah memberikan pendidikan dan pengehatuan serba dasar. Sehingga materi pengajaran pada tahap ini yang terpenting adalah memberikan kemampuan membaca, menulis dan menghitung, sebagai bahan untuk memperoleh dasar bagi pengetahuan yang lain. Materi selanjutnya adalah tentang latihan karakter, khususnya pada usia dini ini. Pendidikan karakter ini bisa dilakukan dengan membaca literatur-litaratur klasik.
Pada tahap selanjutnya (secondary curriculum), kurikulum yang diterapkan pada prinsipnya merupakan lanjutan dari kurikulum pada tahap selnjutnya. Level ini, ditujukan untuk anak usia antara 12 tahun sampai 20 tahun. Pada usia di bawah 16 tahun ditekankan pada penguasaan bahasa asing, khususnya bahasa Yunani dan bahasa Latin, dan pada usia antara 16 atau 17 tahun sampai 20 tahun, ditekankan pada penguasaan logika, retorika, grammer dan matematika (kunci penelaran), dan selanjutnya adalah mempelajari materi tentang buku besar sejarah (Great Book). Kepercayaan aksiomatis zaman kuno dan abad pertengahan perlu dijadikan dasar pendidikan sekarang. (Teodhore Brameld, 1955 : 329) Robert Maynard Hutchins (1963) sebagai pendukung perenialisme mengembangkan suatu kurikulum mahasiswa S.1 berdasarkan penelitian terhadap buku besar bersejarah (Great Book) dan pembahasan buku klasik. Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan kepada tiga asumsi mengenai pendidikan, yaitu : a. Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar di mana pun juga, pendek kata kebenaran bersifat universal dan tidak terikat waktu; b. Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan-gagasan. Pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan; c. Pendidikan harus menstimulasi para mahasiswa untuk berpikir secara mendalam mengenai gagasan-gagasan signifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis, seperti motode pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan, dan melakukan hal yang samua pada siswa.
Martin Adler bersama-sama dengan Hutchin, melakukan studi terhadap lebih dari 100 buku klasik yang bersifat abadi, milai dari Plato sampai Einstein. Dengan pendekatan Buku Besar itu dimaksudkan agar para siswa merdeka dan menjadi emikir yang kritis. Ini merupakan suatu kurikulum yang diperlukan, dan kurikulum ini memfokuskan pada disiplin-disiplin pengetahuan yang abadi, bukannya pada peristiwa-peristiwa atau minat-minat siswa saat ini. Hutchin menyusun kurikulum sekolah menengah dan universitas berpusat pada buku-buku besar seperti di atas. Keuntungan mempelajari buku-buku klasik yang besar tersebut seperti di atas. Keuntungan mempelajari buku-buku kalasik yang besar tersebut adalah siswa belajar apa yang telah terjadi pada masa lampau, dan apa yang telah dipikirkan oleh orang-orang besar atau pemikir-pemikir terdahulu. Siswa belajar berpikir untuk dirinya, karena dengan kemampuan berpikir siswa akan memiliki pedoman untuk mengatasi segala masalahkehidupan yang ia hadapi. Segala masalah dapat dipecahkan dengan menggunakan prinsip-prinsip dan kebijakan-kebijakan yang telah dimiliki manusia, serta dengan menggunakan pikiran yang telah disiplinkan belajar.
Dalam konteks belajar Perenialsme memiliki pandangan-pandangan sebagai berikut sebagaimana dijelaskan oleh Theodore Brameld (1955 : 322-326) : a. Mental disiplin sebagai teori dasar belajar, penganut perenialisme sependapat bahwa latihan dan pembinaan berpikir (mental discipline) adalah salah satu kewajiban tertinggi dari belajar, atau keutamaan dalam proses belajar (yang tertinggi). Karena itu teori dan program pendidikan pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir; b. Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan, asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan ; otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Makna kemerdekaan pendidikan ialah membantu manusia untuk menjadi dirinya sendiri, be him-self, sebagai essential-self yang membedakannya daripada makhluk- makhluk lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan ini, yaitu aktualitas manusia sebagai makhluk rasional yang dengan itu bersifat merdeka; c. Belajar untuk Berpikir (Learning to Reason), perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis dan berhitung merupakan landasan dasar, yang kemudian dilanjutkan dengan pengajaran logika dan retorika untuk melatih kemampuan berpikir tersebut. Berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi. d. Belajar sebagai Persiapan Hiddup, bagi Thomisme, belajar untuk berpikir dan belajar untuk persiapan hidup (dalam masyarakat) adalah dua langkah pada jalan yang sama, yakni menuju kesempurnaan hidup, kehidupan duniawi menuju kehidupan syurgawi. e. Belajar melalui Pengajaran (Learning Through Teaching)
Maritain Adler membedakan antara learning by instructionaldan learning by discovery, penyelidikan tanpa bantuan guru. Dan sebenarnya learning by instruction adalah dasar dan menuju learning by discovery, sebagai self education. Menurut perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi self discovery ; dan ia melakukan moral authorityatas murid-muridnya, karena ia adalah seorang professional yang qualified dan superior dibandingkan dengan muridnya. Perenialisme merupakan filsafat yang sudah sangat tua usianya yang menekankan pada nilai-nilai keabadian dan megarah pada tujuan kesempurnaan hidup. Nilai-nilai filsafat perenial bersifat abadi dan universal dapat diterapkan dalam berbagai konteks kehidupan, sosial, politik, budaya, dan juga pendidikan. Dalam konteks pendidikan, filsafat perenial atau perenialisme sangat diperlukan untuk menjaga dan sebagai konservasi terhadap nilai-nilai luhur manusia dalam kehidupan. Dalam kondisi moral masyarakat secara umum yang dekaden, dan penuh dengan kondisi chaos (secara moral), nilai-nilai filsafat perenial bisa dijadikan sebagai salah satu alternatif bahan pertimbangan dalam perumusan prinsip-prinsip dasar proses pendidikan. Dalam kehidupan ini diperlukan suatu kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh, sebagai basis nilai kehidupan manuisa. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia dari kondisi yang carut marut secara moral dan budaya tersebut ke arah terbentuknya dan terlestarikannya kebudayaan ideal. Sebagai sebuah ide atau gagasan filsafat tentunya perenialisme tidaklah sempurna dan tetap terdapat kekurangan, apa lagi dikaitkan dengan konteks kehidupan yang sangat kompleks dan sangat luas ini.