Sejak kemunculannya, pesantren muncul sebagai sebuah institusi yang telah berakar kuat di dalam masyarakat Indonesia. Pesantren merupakan produk dari sistem pendidikan pribumi yang memiliki akar sejarah, budaya dan sosial di Indonesia. Oleh karena itu, pesantren merepresentasikan pendidikan yang unik yang mensintesakan dimensi sosial, budaya dan agama. Akar dan sintesis ini kemudian mempengaruhi fungsi pesantren baik secara internal maupun eksternal. Pesantren muncul sebagai sebuah komunitas kehidupan yang memiliki kemampuan untuk terlibat dalam aktivitas-aktivitas kreatif yang menggunakan pendidikan alternatif yang menggabungkan pendidikan dan pengajaran dengan pembangunan komunitas. Wacana tentang fungsi sosial pesantren diperlukan dengan menimbang ulang peranan dan dinamika pesantren dalam masyarakat indonesia modern, dimana dinamika modernitas mempengaruhi keberadaan pesantren secara fundamental sehingga mengakibatkan munculnya problem identitas kultural pesantren. Problem ini dapat dianggap sebagai konsekuensi dan implikasi logis ketika berhubungan dengan modernitas yang memiliki keharusan yang mempengaruhi secara khusus fungsi sosial dan budaya yang didasari atas kewajiban keagamaan. Akibatnya, modernitas memberi tantangan secara langsung terhadap asumsi tradisional dari dunia pesantren. Sudah saatnya untuk memikirkan kembali misi otentik dan peranannya ditengah-tengah masy arakat Indonesia. Modernitas sendiri membawa pe rubahan-perubahan dalam banyak aspek kehidupan, khususnya institusi agama seperti pesantren itu sendiri. Pesantren yang mirip madrasah atau sekolah agama di dunia Islam ini telah banyak menarik perhatian dalam karya-karya tertentu ilmuwan barat yang telah dipublikasi, sementara di fihak ilmuwan Indonesia telah memproduksi karya dan literatur yang banyak tentang pesantren termasuk buku-buku dan tesis-tesis yang tidak terhitung jumlahnya. Kebanyakan literatur ini merujuk kepada karya Zamakhsari Dhofier dan Taufik Abdullah yang tetap menjadi gerbang yang baik bagi studi tentang sekolah-sekolah ini. Karya-karya ini kebanyakan menekankan bahwa pesantren dan modernitas bukan tidak sesuai tetapi dapat bekerjasama untuk kondisi negara yang lebih baik. Sementara yang lain berargumen bahwa peranan pasti pesantren masih menjadi perdebatan. Tetapi yang menjadi sebuah pertanyaan sejauh mana pesantren sebagai institusi agama Islam dapat melakukan adaptasi terhadap modernitas. Dalam kapasitas apa pesantren dapat memerankan fungsi-fungsi sosial budaya dalam komunitas santri di tengah-tengah modernitas masyarakat Indonesia. Signifikansi wacana ini dapat dilihat sekilas dalam kontroversi tentang pesantren berikut: “karena itu, pandangan-pandangan kontroversial yang dibicarakan ini menyangkut apakah pendidikan Islam dapat dipakai untuk adaptasi kultural perubahan sosial atau tidak. Satu mazhab berargumen bahwa ilmu dan teknologi modern tidak bisa dibahas tanpa adanya masing-masing referensi bagi ruang lingkup kultural dan sosial sebagaimana diekspresikan dalam etika kerja yang pantas. Wacana tentang perubahan budaya dan juga perubahan sosial telah memberi pengaruh semua aspek kehidupan termasuk orientasi pendidikan, pendekatan etika-etika sosial, dan sistem nilai pesantren. Pandangan bahwa perubahan sosio-kultural merupakan sebuah proses pembelajaran, kemudian pendidikan agama, khususnya yang direpresentasikan oleh pesantren, dapat mengambil peran dalam peranan-peranan sosio-kultural. Atas dasar nilai-nilai keagamaan yang otentik, pesantren tidak hanya melakukan adaptasi internal atas visinya namun juga mempengaruhi perubahan-perubahan sendiri atas nama kehormatan manusia dan penyembahan kepada Tuhan. Dari sini, eksistensi pesantren diharapkan dapat menjadi sumber pencerahan kultural bagi masyarakat sekitarnya. motivasi-motivasi agama dari pesantren ini dieksplorasi dalam bentuk-bentuk fungsi sosial dan kultural dan konsep sosial. Dengan kata lain, praktek-praktek sosial yang ideal terhadap pesantren dianggap sebagai konsekuensi dan hasil dari doktrin dan motif agama Islam. Aktivitas sosial pesantren secara prinsipil bermotifkan keagamaan. Mereka berusaha untuk menjaga pengaruh peranan pesantren dalam kedua aspek sosio-religius dan sosio-kultural. Kedua motif sosial dan religius ini berhubungan dengan etika-etika sosial.
Abdurrahman Wahid pernah meyebut pesantren sebagai subkultur. Sebagaimana terdapat dalam sosiologi, sebuah subkultur minimal harus memiliki keunikannya tersendiri dalam aspek-aspek berikut: cara hidup yang dianut, pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern tersendiri yang ditatati sepenuhnya. Kesemuanya ini dimiliki sepenuhnya oleh pesantren, yang memiliki pola dan mekanisme tersendiri dalam tata nilai, perilaku, dan bahkan model pendidikannya. Tak heran jika, Abdurrahman Wahid berani mengambil kesimpulan bahwa pesantren adalah sebuah subkultur. Kendati demikian, konsep subkultur ini mendapat kritik. Sebab, gambaran subkultur pesantren pesantren hanya mampu menjelaskan dunia pesantren yang unik dan belum bersentuhan dengan elemen-elemen dari luar dirinya, seperti organisasi, manajemen sumber daya manusia, dana, fisik, informasi, ilmu pengetahuan dan tekonologi. Itu sebabbya, Hadimulyo menggunakan istilah institusi kultural” yang mengandung konotasi lebih longgar daripada subkultur. Dengan demikian, pesantren akan dilihat dalam pengertian “budaya pesantren” yang dalam realitas empiris lebih tampak sebagai counter culture yang seringkali memiliki nilai-nilai dan norma yang berbeda dengan kultur yang dianggap dominan.
Di tengah perdebatan itu semua, kini di zaman global yang sudah meniscayakan pluralitas budaya sebagai kenyataan sosial, pesantren menghadapi tantangan dalam merespons identitas kultural masyarakat (budaya lokal) dan budaya luar dengan segala keanekaragamannya. Pesantren yang berkembang dari identitas sejatinya belakangan ini sedang bergulat secara intens dengan budaya lokal dan budaya lain yang saling mempengaruhi. Tak pelak lagi, era multikulturalisme adalah tantangan tersendiri bagi pesantren; apakah pesantren mampu menjawab tantangan paradigma kehidupan di bawah payung multikulturalisme yang mengandaikan kesetaraan dan penghargaan di tengah pluralitas budaya.
Asumsi ini dikemukakan untuk melihat apakah pesantren sudah berani keluar dari kebenaran absolutnya (absolutly truth) yang kerapkali meminggirkan identitas kultural yang sudah diyakini oleh masyarakat. Atau dengan kata lain, budaya lokal sebagai entitas yang telah lama hidup bersama masyarakat menjadi terpinggirkan akibat doktrin agama yang diyakini pesantren. Desakan pesantren ini praktis memposisikan budaya lokal berada dalam posisi yang tidak menguntungkan dan subordinat. Apalagi, pesantren bisa menjadi kekuatan yang ampuh untuk menghilangkan atau paling tidak memperdaya budaya lokal. Ironisnya, karakter pesantren yang menolak budaya lokal ini banyak diambil dari model keberagamaan (Islam) Timur Tengah yang literal, kaku dan skriptural.
Pada hakikatnya, watak dan karakter pesantren yang apresiatif terhadap kebudayaan lokal adalah watak yang damai, ramah dan toleran. Karena watak pesantren yang demikian ini, tidak menyuguhkan praktek kekerasan (penetracion pacifigure) untuk mendialogkan pesantren dengan kebudayaan lokal. Hal ini diambil dari kenyatan historis penyebaran Islam di Indonesia yang dilakukan pesantren memunculkan konsekuansi bahwa Islam di Indonesia lebih lunak, jinak dan akomodatif terhadap kepercayaan, praktek keagamaan, dan tradisi lokal. Nikii Keddie (1987), pengamat Timur Tengah, justru memandang karakter inilah yang menjadi kebangggan Islam di Indonesia, dan umumnya di kawasan Asia Tenggara. Islam sebagai agama dan pesantren sebagai media dakwah Islam yang tersebar ke seluruh penjuru Nusantara tampil secara kreatif berdialog dengan masyarakat setempat (lokal), berada dalam posisi yang menerima kebudayaan lokal, sekaligus memodifikasinya menjadi budaya baru yang dapat diterima oleh masyarakat setempat dan masih berada di dalam jalur Islam.
Pesantren yang kebanyakan berdiri di pedesaan harus berhadapan dengan sekian banyak tradisi budaya asli masyarakat agraris. Namun karena semangat keagamaan yang membumi, pesantren lebih mampu bersikap ajur-ajer serta menyerap budaya setempat. Pesantren terbukti mampu berdialog dengan adat setempat secara produktif dan tidak saling menafikan satu sama lain. Terhadap tradisi-tradisi masyarakat, pesantren menanggapinya dengan pendekatan memberi dan menerima. Pihak pesantren mengambil bentuk (wadah) tradisi budaya tersebut sambil memberikan isi yang baru. Cara pendekatan ini terbukti bisa diterima kedua pihak dengan baik. Maka sekarang terdapat banyak upacara adat, seperti sedekah bumi, yang semula diselenggarakan untuk memuja dewa atau roh-roh, kini berganti isi menjadi ungkapan syukur kepada Tuhan yang telah berkenan untuk memberi kemakmuran. Dialog Islam dan budaya memang sejak awal dilakukan Sunan Kalijaga yang berhasil mengisi spirit Islam ke dalam budaya lokal; seperti tradisi sekaten, mitung dino, nyatus, nyewu yang diisi dengan tahlil. Begitu juga wayang sebagai tradisi kesenian yang banyak disukai masyarakat, sudah dimodifikasi dengan spirit Islam. Tak heran, jika sekarang ini di Pesantren Kajen ada tradisi tahunan yang mementaskan wayang, yang banyak dinikmati oleh masyarakat sekitarnya. Kesemuanya ini menunjukkan betapa pesantren mampu berdialog dengan budaya lokal.
Namun demikian, tidak selamanya dialog antara pesantren dengan budaya lokal bisa berjalan baik. Hal ini disebabkan pihak pesantren menganggap secara prinsip beberapa unsur tradisi budaya setempat tidak bisa mereka terima. Misalnya, kebiasaan berjudi, sabung ayam, minum arak, dan sebagainya. Dan dalam hal tidak terjadi persilangan budaya antara pesantren dan tradisi lokal. Multikulturalisme belakangan ini memang menjadi isu sentral dalam konteks hubungan antaragama dan antarbudaya. Multikulturalisme telah menjadi kenyataan faktual di dalam masyarakat global. Karena itu, multikulturalisme adalah sebuah tantangan bagi pengembangan budaya toleran dan pluralis. Dalam perspektif ilmu politik, mengikuti pemikiran Robushka dan Shepsle-- masyarakat multikultural didefinisikan dengan parameter: (1) keragaman kultural, (2) aliansi etnik dan (3) terorganisasi secara politik. Dalam konteks ini, secara alamiah masyarakat Indonesia mempunyai karakteristik yang beragam (majemuk), yang ditandai oleh berbagai keragaman suku, agama, ras dan golongan. Masyarakat multikultural seperti ini adalah sumber pokok dalam membangun demokrasi modern. Namun, masyarakat multikultural juga memendam potensi yang rawan terhadap konflik sosial yang bisa mengakibatkan pudarnya keutuhan jalinan harmoni sosial masyarakat. Dengan kata lain, berbeda-bedanya suku, agama, dan budaya adalah suatu modal sosial, meminjam istilah Robert W. Hefner, yang apabila dirusak akan menimbulkan malapetaka bagi harmoni sosial yang mengarah pada konflik sosial. Sebab, ada tiga kecenderungan yang sering dihadapi dalam masyarakat multikultural. Bertrand Russel pernah mengatakan, "Sejauh pendidikan dipengaruhi oleh agama, maka pendidikan dipengaruhi oleh agama institusional yang memiliki arti politik yang besar". Karena itu, pendidikan agama yang dilakukan pesantren memiliki peran politik yang besar dalam mengembangkan teologi multikultural. Meminjam filosofi pendidikan yang telah diformulasikan Paulo Freire, bahwa pendidikan untuk pembebasan bukanlah untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosia-budaya (social and cultural domestication). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan karena itu, secara metodologis bertumpu pada prinsip-prinsip aksi dan refleksi total, yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi silmultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas.
Dalam konteks inilah, pendidikan pesantren sebagai media pembebasan umat dihadapkan pada tantangan bagaimana mengembangkan teologi multikultural sehingga di dalam masyarakat pesantren akan tumbuh pemahaman yang inklusif untuk harmonisasi agama-agama, budaya dan etnik di tengah kehidupan masyarakat. Tertananmnya kesadaran multikultural dan pluralitas kepada masyarakat, akan menghasilkan corak paradigma beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan pesantren ke dalam paradigma yang toleran dan humanis. Karena paradigma pendidikan pesantren yang ekslusif dan intoleran jelas-jelas akan mengganggu harmonisasi masyarakat multi-etnik dan agama. Dengan demikian, filosofi pendidikan pesantren yang ekslusif tidak relevan lagi di zaman multikultural. Sebab, jika cara pandangnya bersifat ekslusif dan intoleran, maka teologi yang diterima adalah teologi ekslusif dan intoleran, yang pada gilirannya akan merusak harmonisasi agama-agama, dan sikap menghargai kebenaran agama lain.
Islam yang ditandai dengan standar moral dan ideal yang tinggi ditengah-tengah persamaan dan kehormatan kemanusiaan sebagai nilai-nilai yang tidak bisa dilepaskan begitu saja. Sehingga, metode dan pendekatan Weberian akan relevan dalam mengeksplorasi nilai-nilai keislaman dibalik fungsi sosio-kultural pesantren dalam kaitannya dengan dinamika modernitas dan perubahan social. Problem dasar pesantren sebagai subkultur dapat diidentifikasi dan diformulasi secara internal dan eksternal. Secara internal, ia menunjukkan sejauh mana pesantren harus menjaga otonomi, identitas, dan spirit tradisionalismenya dalam berhubungan dengan pengaruh-pengaruh dunia modern. Hal ini termasuk jenis fungsi dan peranan apa saja yang harus diseleksi dan dikembangkan. Kemudian, diuji bagaimana pesantren dapat menjaga sumber-sumber spiritual yang ada dan menggunakannya bagi pengembangan pesantren itu sendiri dan komunitas sekitarnya. Secara eksternal, tulisan ini juga menunjukkan bagaimana pesantren mampu mengantisipasi peranan-peranan sosio-kultural dalam konteks dunia modern di masa depan.
Dalam memahami watak tradisionalisme pesantren, tentunya persoalan ini harus dikembalikan pada proporsinya yang pas. Sebab, watak tradisional yang inherent di tubuh pesantren seringkali masih disalahpahami, dan ditempatkan bukan pada proporsinya yang tepat. Tradisionalisme yang melekat dan terbangun lama di kalangan pesantren, sejak awal minimal ditampilkan oleh dua wajah yang berbeda. Bentuk tradisionalisme ini merupakan satu sistem ajaran yang berakar dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme As'ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) yang telah lama mewarnai corak ke-Islam-an di Indonesia. Selaras dengan pemahaman ini, terminologi yang akarnya ditemukan dari kata 'adat (bahasa Arab) ini, merupakan praktek keagamaan lokal yang diwariskan umat Islam Indonesia generasi pertama. Di sini Islam berbaur dengan sistem adat dan kebiasaan lokal, sehingga melahirkan watak ke-Islaman yang khas Indonesia. Sementara tradisional dalam pengertian lainnya, bisa dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren. Penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, "al-Muhafadhah 'ala al-Qodimi as-Shalih wa al-Akhdu bi al-Jadid al-Ashlah" memelihara tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru modernitas yang lebih baik). Artinya, tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran, merupakan pilihan sejarah yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif. Di antara problem yang sering dijumpai dalam praktek pendidikan di pesantren, terutama yang masih bercorak salaf, adalah persoalan efektivitas metodologi pengajaran. Di sinilah perlunya dilakukan penyelarasan tradisi dan modernitas di tengah dunia pesantren. Dalam hal ini, memang diperlukan adanya pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, namun pembaharuan ini tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. ada tiga spirit yang mengiringi pembentukan NU. Pertama, spirit keagamaan. NU berdiri sebagai gerakan keagamaan yang memahami Islam dalam konteks lokal. Islam dalam konteks Indonesia sangat dipengaruhi kultur.
Kedua, spirit kebangsaan. NU merupakan gerakan yang bersama-sama dengan gerakan-gerakan lain pada masa didirikan melakukan perlawanan kepada Belanda. Ketiga, spirit kemandirian ekonomi. Meskipun jarang disinggung, berdirinya organisasi NU tidak lepas dari upaya mengembangkan ekonomi kerakyatan.
Namun, ketiga spirit ini ternyata tidak dipahami seluruhnya oleh kalangan nahdliyin (warga NU). Jika menengok jauh ke belakang, NU, yang sekarang berdiri sebagai organisasi keagamaan yang besar, sebenarnya bermula dari kegiatan kecil di lembaga pengajaran bernama pesantren.
Pesantren-pesantren di Jawa muncul sebagai sarana untuk menyebarkan Islam. Biasanya dipilih daerah terpencil yang masyarakatnya miskin karena kemiskinan dekat dengan kekufuran. Pesantren menawarkan pengajaran agama melalui pengajian kepada mereka yang tidak mampu, sesuatu yang mewah bagi masyarakat desa. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam bukunya, Islam Kosmopolitan, menyebutkan, semua mata pelajaran dalam pengajian bersifat aplikatif yang berarti harus diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Hampir tidak ada bidang kehidupan yang tidak tersentuh aplikasi pengajian, mulai dari ibadat ritual sampai ke cara berdagang yang dibolehkan agama. Oleh karena itu, proses ”pengajian” yang dilakukan kiai kepada santrinya sama artinya dengan proses pembentukan tata nilai yang lengkap. Tidak heran, dari yang awalnya hanya belajar agama dengan keluasan wawasan kiai pimpinannya, diajarkan pula pendidikan pertanian dan perdagangan yang sangat terkait dengan kehidupan masyarakat.
Perkembangan pesantren memang sangat bergantung kepada kiai pendiri yang membiayai sebagian besar kegiatan pesantren dengan sedikit sumbangan masyarakat. Hal ini membuat pola patron klien antara santri dan kiai semakin kuat.
Cara hidup pesantren yang unik ini, di mana ada tata nilai yang diikuti dan hierarki kekuasaan internal tersendiri, membuat pesantren bisa bertahan berabad-abad. Pesantren menjadi sebuah subkultur. Gus Dur berkeyakinan, pesantren bahkan bisa mentransformasi total sikap hidup masyarakat sekitar tanpa harus mengorbankan identitas diri. Namun, Nurcholish Madjid pada salah satu tulisan yang terangkum dalam buku Pergulatan Pesantren Membangun dari Bawah mencatat ada beberapa kekurangan pesantren yang mengakibatkan ia gagal memainkan peran besar dan menentukan dalam ruang lingkup nasional. Kekurangan itu, antara lain, kurang jelasnya tujuan pendidikan pesantren. Nurcholish mencatat pada sebagian kasus, keterbatasan pemahaman pemimpin pesantren dalam membawa pesantrennya untuk merespons perkembangan zaman membuat pesantren tidak mampu membawa peran penting dalam keseluruhan sistem masyarakat.
dipetik dari beberapa sumber