Jauh sebelum Muhammadiyah dan NU berdiri, KH. Ahmad Dahlan telah merintis pendidikan modern yang memadukan antara pendidikan Barat yang hanya mengajarkan “ilmu-ilmu umum” dan pendidikan Islam yang hanya mengajarkan “ilmu-ilmu agama”. Gagasan pembaharuan Muhammadiyah di dalamnya sudah termasuk gagasan pembaharuan di bidang pendidikan. KH. Dahlan melihat adanya problematika obyektif yang dihadapi oleh pribumi yaitu terjadinya keterbelakangan pendidikan yang akut karena adanya dualisme model pendidikan yang masing-masing memiliki akar dan kepribadian yang saling bertolak belakang. Di satu pihak pendidikan Islam yang berpusat di pesantren mengalami kemunduran karena terisolasi dari perkembangan pengetahuan dan perkembangan masyarakat modern, di pihak lain sekolah model Barat bersifat sekuler dan a-nasional mengancam kehidupan batin para pemuda pribumi karena dijauhkan dari agama dan budaya negerinya. Seiring perjalanan sejarah, pendidikan Islam semakin tahun semakin mengalami perkembangan. Apalagi setelah muncul dua organisasi besar Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama’ (NU). Kedua organisasi ini bergerak dalam bidang dakwah melalui pendidikan. Misalnya, Muhammadiyah pada awal berdirinya 18 November 1912 M mendirikan madrasah pertamanya yaitu Al-Qism Al-Arqo’. Madrasah ini didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan Pendiri Muhammadiyah sendiri. Pendidikan semacam ini didirikan oleh Muhammadiyah untuk mengimbangi pendidikan kolonial Belanda yang cenderung jauh dari nilai-nilai keislaman. Sedangkan NU yang didirikan tanggal 31 Januari 1926 M, memang NU tidak berhgerak melalui madrasah-madrasah atau sekolah umum seperti Muhammadiyah, akan tetapi mayoritas pendidikan Islam di NU banyak berkembang di dalam pesantren.
Muhammadiyah sejak awal berdirinya antara lain melakukan gerakan “reformulasi ajaran dan pendidikan Islam”. Gagasan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan dimulai ketika pendiri Muhammadiyah itu merintis Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Di belakang hari gerakan pendidikan itu bahkan menjadi ikon penting dari Muhammadiyah. Masyarakat luas malahan mengenal dan mengidentifikasikan Muhammadiyah sebagai gerakan pendidikan. Kepeloporan Muhammadiyah dalam pembaruan pendidikan khususnya pendidikan Islam, selain melekat dengan ide tajdid atau pembaruan Islam yang berada dalam alam pikiran Kyai Dahlan sebagai mujadid Islam Indonesia, juga dalam pandangannya yang bersifat holistik atau integralistik. Pendidikan Muhammadiyah sejak awal merupakan pendidikan Islam terpadu yang memadukan pendidikan agama dan umum dalam berbagai ranahnya baik yang berdimensi ruhaniah atau spiritualitas, intelektualitas, maupun kemampuan-kemampuan keahlian dalam diri manusia, seluruh lembaga pendidikan Muhammadiyah haruslah mencerminkan pendidikan Islam modern yang holistik atau integralistik.
Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1 Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut, merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum. Di madrasah-madrasah diberi pelajaran-pelajaran umum seperti Berhitung, Bahasa Daerah, Bahasa Melayu, Ilmu Bumi, Pengetahuan Alam, walaupun relatif sangat terbatas. Dari Ibtidaiyah hingga kelas IV Tsanawiyah hanya sederajat dengan pelajaran-pelajaran SD. Pada waktu itu madrasah Alawiyah yang kemudian dinamakan Kulliyah diberi pula pelajaran umum seperti Aljabar, Handasah, Juqrofiyah (Aljabar, Ilmu Umar, Ilmu Bumi, Bahasa Arab, Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, dan Ilmu Falak). Pada tahun 1941 berhasil dibuka sekolah yang pertama bernama "ISLAMITISCHE MIDDELBAARE SCHOOL". Sebuah sekolah lanjutan beragama Islam sederajat dengan HBS (Hollands Burgershool), ialah suatu sekolah bumi putera tingkat lanjutan pertama / atas berbahasa Belanda yang lama belajarnya 5 tahun. Dalam lembaga ini ditampung siswa-siswa tamatan HIS atau Schakelschool dan juga dari madrasah-madrasah yang telah memberi kursus bahasa Belanda. Sayang sekolah ini baru satu tahun berlangsung kemudian ditutup karena masuknya Jepang.
Berikut ini lembaga-lembaga yang berdiri menjelang berakhirnya penjajahan Belanda, antara lain: (1) Haiatu Kibaril Ulama, suatu lembaga pertemuan ulama-ulama ahli di Surakarta dengan tujuan membahas permasalahan agama dari masyarakat yang menyangkut agama berhubung dengan perkembangan pada akhir penjajahan Belanda dalam bidang sosial politik dan adanya perpecahan yang makin nyata antara umat Islam sendiri yang perlu adanya pemecahan. Tetapi lembaga ini tidak berhasil berhubung adanya perpecahan dalam tubuh sendiri; (2) Lajnah Ahli Hadits, tujuan Lembaga ini ialah menggairahkan ummat pada hadits Nabi serta pengamalannya. Fungsi Lajnah mengadakan penelitian amaliyah ummat dan dicocokkan dengan hadits-hadits Nabi. Memberi petunjuk beramal menurut Al Qur'an dan Sunnah. Mengadakan studi penelitian terhadap hadits-hadits yang mu'tabar dan sumber riwayat yang ada; (3) MIAI, pada tahun 1940 Al Islam menjadi anggota istimewa MIAI (Majlis Islam ‘Ala Indonesia). Suatu himpunan lembaga-lembaga partai politik Islam ketika itu seperti PII (Party Islam Indonesia), PSII, Persis, NU, dan sebagainya. Pada zaman Jepang, lembaga ini diganti namanya dengan Majlis Syuro Muslimin Indonesia, disingkat Masyumi.
Pendidikan ala NU
Organisasi lainnya adalah Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia. Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional. Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Selain ahli dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran. Di dunia pendidikan, ia merupakan seorang pendidik yang sulit dicari tandingannya. Ia menghabiskan waktu dari pagi hingga malam untuk mengajar para santrinya.
Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tasawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf, beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir Alquran al-Adzim karya Ibnu Katsir. Dalam hal menjalankan praktik ibadah, Kiai Hasyim senantiasa membimbing para santrinya. Ini terlihat dalam rutinitas harian beliau yang kerap berkeliling pondok pada dini hari hanya untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudhu guna malaksanakan shalat tahajud dan shalat subuh. Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Dalam sistem pengajaran ini, tidak dikenal yang namanya jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa). Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, di antaranya dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawarah jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat. Baru kemudian pada 1916, KH Ma’shum Ali–salah seorang menantu Kiai Hasyim–mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Mulai tahun itu juga, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya. Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun. Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Zamakhsyari menyebutkan keseluruhan kitab klasik yang diajarkan pesantren digolongkan ke dalam delapan kelompok: 1. Nahwu (syintak) dan sharaf (morfologi); 2. Fiqh; 3. Ushul Fiqh; 4. Hadits; 5. Tafsir; 6. Tauhid; 7. Tasawuf dan Akhlak; 8. Cabang lain seperti sejarah (tarikh) dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat pendek, menengah sampai dengan teks terdiri dari berjilid-jilid tebal. Semuanya dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu kitab dasar, kitab menengah dan kitab besar. Pelajaran di atas, tampak bobotnya pada bidang ilmu agama. Dengan pendek kata, kajian teologi, fiqh, dan etika dengan sedikit ilmu sejarah dan logika. Mengingat Kiai adalah tokoh anutan ulama dalam setiap pesantren, maka masing-masing pesantren memiliki keistimewaan masing-masing dan vak tertentu sesuai dengan keahlian masing-masing Kiai.
Dalam memahami kitab kuning, pondok pesantren menggunakan beberapa metode yang hanya dimiliki oleh pesantren , yaitu: a. Wetonan/bandungan atau collective learning process
Adalah metode kuliah dimana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kiayi. Istilah weton ini berasal dari kata wektu (bahasa jawa) yang berarti waktu. Disini seorang kiayi membacakan manuskrif-manuskrif keagamaan klasik berbahasa Arab (dikenal dengan sebutan kitab kuning), sementara para santri mendengarkan sambil memberi catatan (ngalogat, Sunda). b. Sorogan atau individual learning process
Adalah metode kuliah dengan cara santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sorogan berasal dari kata sorog (bahasa jawa), yang memiliki arti menyodorkan atau menyerahkan. Dalam Metode pembelajaran ini para santri juga ditugaskan membaca kitab, sementara kyai atau ustad yang sudah mumpuni menyimak sambil mengoreksi dan mengevalusi bacaan dan performance seorang santri. Ada nilai sebuah pendekatan secara individual antara kyai dan santri. Melalui metode ini seorang kiayi dapat mengetahui perkembangan santrinya; c. Hapalan
Adalah proses dimana seorang santri ditugaskan untuk menghapal sebuah kitab ataupun ayat-ayat al-qur’an. Biasanya kitab yang dihapalkan berupa kitab nahwu dan sharaf seperti kitab jurmiyah, nadholum maksud ataupun alfiyah. Santri tidak hanya ditekankan dalam hapalan secara teks saja tetapi lebih pada pemahaman, analisis dan evaluasi. Seorang santri yang memiliki hapalan yang tinggi dijadikan tolak ukur bahwa dia sudah mumpuni dalam keilmuannya; d. Halaqah, adalah model pembelajaran yang menggunakan sistem diskusi. Dimana para santri mengikuti sebuah kajian masalah. Yang dihalaqahkan berupa ilmu tahuid, fiqh, qiroat dan ilmu nahwu. Penekanan dalam pembelajaran ini adalah santri memiliki bekal dasar-dasar keilmuan agama Islam yang dapat dipertanggungjawabkan; e. Hiwar atau musyawaroh, merupakan aspek dari proses belajar dan mengajar di pesantren salafiyah yang telah menjadi tradisi khususnya bagi santri-santri yang mengikuti sistem klasikal. Yang menjadi ciri khas dari hiwar ini adalah santri dan guru biasanya terlibat dalam sebuah forum perdebatan untuk memecahkan masalah yang ada dalam kitab-kitab (berbahasa Arab) yang sedang di santrii; f. Bahtsul Masa’il (Mudzakaraoh), merupakan metode pembelajaran yang mengadakan pertemuan ilmiah, yang membahas masalah ibadah, aqidah dan masalah agama pada umumnya. Metode ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: mudzakarah yang diadakan sesama kyai atau ustadz, mudzakarah yang diadakan antara sesama santri; g. Fathul Kutub, metode penugasan mencari rujukan terhadap beberapa topik dalam bindang ilmu tertentu. Biasanya metode ini dilakukan oleh para santri yang sudah senior. Para santri diberi tugas untuk membahas persoalan-persoalan dalam akidah, fiqih, hadist, tafsir, tasawuf dan beberapa ilmu islam lainnya, serta kemudian membuat dan menyerahkan laporan tertulis mengenai hasil kajiannjya kepada guru pembimbing; h. Muqoronah, sebuah metode yang terfokus pada kegiatan perbandingan, baik perbandingan materi, paham, metode, maupun perbandingan kitab.
Pembelajaran Agama Islam awal kelahiran Muhamadiyah dan NU, pada umumnya pembelajaran di pesantren mengikuti pola tradisional, yaitu model sorogan dan model bandongan. Kedua model ini Kiai aktif dan santri pasif. Secara teknis model sorogan bersifat individual, yaitu santri menghadap guru seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari, sedangkan model bandongan (weton) lebih bersifat pengajaran klasikal, yaitu santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling Kiai menerangkan pelajaran secara kuliah dengan terjadual. Baik dengan model sorogan maupun bandongan dilakukan dengan pembacaan kitab yang dimulai dengan pembacaan tarjamah, syarah dengan analisis gramatikal, peninjauan morfologi dan uraian semantik. Kiai sebagai pembaca dan penerjemah, bukanlah sekadar membaca teks, melainkan juga memberikan pandangan-pandangan (interpretasi) pribadi, baik mengenai isi maupun bahasanya. Kedua model pengajaran ini oleh sementara pakar pendidikan dianggap statis dan tradisional. Meskipun sorogan dan bandongan ini dianggap statis, tetapi bukan berarti tidak menerima inovasi. Malah menurut Suyoto, metode ini sebenarnya konsekuensi daripada layanan yang ingin diberikan kepada santri. Berbagai usaha dewasa ini dalam berinovasi dilakukan justru mengarah kepada layanan secara indivual kepada anak didik. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan dan perhatian serta kecakapan seseorang. Dalam pada itu, Mastuhu memandang bahwa sorogan adalah metode mengajar secara indivividual langsung dan intensif. Dari segi ilmu pendidikan sebenarnya metode ini adalah metode yang modern karena antara Kiai dan santri saling mengenal secara erat, dan guru menguasai benar materi yang seharusnya diajarkan. Murid juga belajar dan membuat persiapan sebelumnya. Demikian guru telah mengetahui materi apa yang cocok buat murid dan metode apa yang harus digunakan khusus untuk menghadapi muridnya. Di samping itu, metode sorogan juga dilakukan secara bebas (tidak ada paksaan), dan bebas dari hambatan formalitas. Pada umumnya pesantren yang belum mencangkok sistem pendidikan modern belum mengenal sistem penilaian (evaluasi). Kenaikan tingkat cukup ditandai dengan bergantinya kitab yang dipelajari. Santri sendiri yang mengukur dan menilai, apakah ia cukup menguasai bahan yang lalu dan mampu untuk mengikuti pengajian kitab berikutnya. Masa belajar tidak ditentukan sehingga memberikan kelonggaran pada santri untuk meninggalkan pesantren setelah merasa puas terhadap ilmu yang telah diperolehnya dan merasa siap terjun di masyarakat; dan kalau santri belum puas, tidak salah baginya untuk pindah pesantren lain dalam rangka mendalami ilmunya. Menurut Mahmud Yunus, bahwa isi pendidikan Islam pada pondok pesantren (1900-1908) meliputi: (1) Pengajian Al qur’an, dan (2) Pengajian kitab-kitab yang telah ditetapkan oleh kiai. Tujuan utama pendidikannya adalah menyiapkan calon ulama yang hanya menguasai masalah agama semata. Sintesis (pertemuan corak lama dan corak baru), yang berwujud Madrasah. Corak sintesis ini mengandung beberapa variasi, anatara lain: (1). Pola pendidikan Madrasah dengan format barat, terutama dalam sistem pengajarannya, tetapi isi pendidikan tetap lebih menonjolkan ilmu-ilmu agama Islam, seperti Madrasah Sumatera Thawalib (surau yang pertama yang memakai sistem kelas) yang didirikan tahaun 1921 M, oleh Syeh Abd. Karim Amirullah, ayahnya Hamka, dan Madrasah Tebu Ireng, pimpinan K.H. Hasyim Asy’ari pada tahun 1919 M.; (2) . Pola pendidikan Madrasah yang mengutamakan ilmu agama, tetapi secara terbatas mata pelajaran umum juga diberikan, seperti Madrasah Diniyah Zaenuddin Lebay (1915 M) di Padang Panjang, dan Madrasah Salafiyah Tebu Ireng, pimpinan K.H. Ilyas (1929 M); (3). Pola pendidikan Madrasah yang menggabungkan secara seimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, seperti: Pondok Muhammadiyah, oleh K.H. Ahmad Dahlan (1912 M); (4) . Pola pendidikan Madrasah yang mengikuti pola barat dengan ditambah beberapa mata pelajaran agama, seperti: Madrasah Adabiyah (1909 M), yang didirikan oleh Syeh Abd. Ahmad.
Sebagaimana pesantren zaman itu, pada awalnya pengajaran menggunakan sistem sorogan dan weton atau bandongan dengan pengantar bahasa Jawa dan tulisan pego. Pada tahun 1919 M. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari menerapkan sistem madrasi (klasikal), dengan mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyyah. Sistem pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua tingkat, yakni; Shifir Awal dan Shifir Tsani.
Selain sebagai tempat ibadah, dakwah dan media umat berkumpul, surau disinyalir sebagai salah satu institusi pendidikan Islam pertama di Minangkabau Sumatera Barat. Dari hasil penelurusan sejarah, surau telah menjadi sarana (institusi) penting dalam rangka ikut melakukan pencerdasan dan kemajuan masyarakat, khususnya pembelajaran keagamaan dan penanaman nilai-nilai moral. Bahkan lebih dari itu, pendidikan surau mempunyai reputasi yang cukup besar terhadap penyebaran agama Islam ke berbagai daerah dan wilayah sekitar. Sebagai sebuah sarana pendidikan agama, surau tetap dapat kita jumpai sampai sekarang, walaupun eksistensinya kemungkinan tidak lagi sebagaimana peran di masa lalu, yakni kembali pada fungsi semula sebagai tempat shalat, i`tikaf dan dzikir. Memang sebagian besar pendidika masa itu secara perorangan dan keluarga diarahkan pada pengutamaan pelajaran seputar tentang ketuhanan, keimanan dan masalah-masalah yang berhubungan dengan ibadah. Pemisahan mata pelajaran tertentu belumlah ada dan pelajaran belum lagi secara sistematis. Tingkatan pendidikan surau memiliki dua jenjang, yaitu jenjang pelajaran Al-Qur’an (tingkat rendah) dan jenjang pengkajian kitab (tingkat atas). Pada jenjang pelajaran Al-Qur’an (tingkat rendah) diberikan pelajaran huruf hijaiyah, juz `Amma (terdiri dari surat ke 78 sampai 114) dan yang terpenting adalah melaksanakan ibadah. Setelah dirasa para murid mampu menguasai baca tulis Al-Qur’an, mereka melanjutkan materi mengkaji kitab. Dalam pengajaran ini para murid mempelajari huruf-huruf Arab dan menghapalkan teks-teks yang terdapat dalam Al-Qur’an. Disamping itu, diajarkan pula peraturan dan tata tertip shalat, wudhu dan beberapa doa.
dipetik dari beberapa sumber