Sabtu, 17 April 2010

Institusi Pendidikan dalam Perspektif al-Quran; sebuah kajian tematik

يا أيها الذين آمنوا إذا قيل لكم تفسحوا في المجالس فافسحوا يفسح الله لكم وإذا قيل انشزوا فانشزوا يرفع الله الذين آمنوا منكم والذين أوتوا العلم درجات والله بما تعملون خبير
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Q.S al-Mujadalah, 11)

Dalam Al-Mishbah Volume 14 (2002:11), dijelaskan bahwa Surat Al-Mujadalah ini turun pada hari jum’at. Ketika itu Rasul berada di satu tempat yang sempit (Shuffah) dan menjadi kebiasaan bagi beliau memberikan tempat khusus buat para sahabat yang terlibat dalam perang Badr, karena besarnya jasa mereka. Ketika majlis tengah berlangsung datanglah beberapa orang sahabat yang mengikuti perang Badr. Kemudian datang pula yang lainnya. Mereka yang baru datang memberi salam, dan Rasulpun serta sahabat menjawab salam tersebut. Tapi mereka yang telah datang lebih dahulu (yang sudah duduk) tidak bergeser sedikitpun dari tempat duduknya, sehingga mereka yang baru datang berdiri terus. Maka Nabi SAW memerintahkan kepada sahabat-sahabat yang lain yang tidak terlibat dalam perang Badr untuk mengambil tempat lain agar para sahabat yang berjasa itu duduk di dekat Nabi SAW. Perintah Nabi itu, mengecilkan hati mereka yang disuruh berdiri, dan ini yang digunakan oleh kaum munafik untuk memecah belah dengan berkata : ”Katanya Muhammad berlaku adil, tetapi ternyata tidak.” Nabi yang mendengar kritik itu bersabda: ”Allah merahmati siapa yang memberi kelapangan bagi saudaranya.” Kaum beriman menyambut tuntunan Nabi dan ayat di ataspun turun mengukuhkan perintah dan sabda Nabi itu.
Berangkat dari kata tafassahu dan fafsahu terambil dari kata Fasaha yakni lapang. Sedang kata unsyuzu terambil dari kata nusyuz yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya berarti beralih ke tempat yang tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ke tempat lain untuk memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah. (Quraish Shihab 2002 : 79). Kembali kepada kata nusyuz yang artinya berdiri atau fansyuzu yang berarti berdirilah, kata tersebut mengisyaratkan untuk berdiri, maka berdirilah. Artinya apabila kita diminta untuk berdiri dari majlis Rasulullah, maka berdirilah. Hal ini yang kemudian menajdi pedoman umum, apabila pemilik majlis (protoloker) menyuruh berdiri, maka berdirilah, karena tidak layak apabila orang yang baru datang meminta berdiri orang yang telah datang terlebih dahulu dan duduk ditempat orang itu. Sabda Nabi : Janganlah seseorang menyuruh berdiri kepada orang lain dari tempat duduknya, akan tetapi lapangkanlah dan longgarkanlah”.
Kata majaalis adalah bentuk jama’ dari kata majlis. Pada mulanya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi Muhammad SAW memberi tuntunan agama ketika itu. Tetapi yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk, tempat berdiri atau tempat berbaring. Karena tujuan perintah atau tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada orang-orang yang dihormati atau yang lemah. Seorang tua non muslim sekalipun, jika anda ( yang muda) duduk di bus, kereta sedang dia tidak mendapat tempat duduk, maka adalah wajar dan beradab jika anda berdiri untuk membri tempat duduk. (Quraish Shihab 2002 : 79).
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwasanya sebagai orang yang beriman kita (manusia) harus melapangkan hati demi saudaranya yang lain.
Beberapa Pikiran Pokok Ayat
Ada beberapa motivasi yang muncul dari peserta didik dalam hal ini para sahabat
· Mencari ilmu itu diperuntukkan secara hakiki untuk seluruh umat yang beriman (ditunjukkan dengan mukhatab alladziina aamanuu)
· Majalis adalah tempat-tempat dimana diselenggarakannya pengajaran dan pembelajaran, sehingga secara luas dapat diartikan sebagai sebuah institusi atau lembaga pendidikan.
· Dalam majlis ilmi, peserta harus memberikan kesempatan kepada orang lain untuk bersama-sama mencari ilmu (ditunjukkan dengan perintah Allah untuk berlapang-lapang dalam belajar)
· Dalam majlis ilmi, peserta harus saling menghargai dan menghormati peserta lainnya
· Dalam majlis ilmi, peserta harus meyakini bahwa mereka berada disana untuk mencapai tujuan yang akan dicapai.
· Adanya dorongan atau motivasi para sahabat dalam mencari ilmu yaitu berharap Allah akan mengangkat derajatnya (ditunjukkan oleh ayat yarfaillahu lladzina aamanu minkum)
· Dalam ayat itu mencari ilmu dibarengi dengan keimanan kepada Allah sebagai syarat untuk ditinggikan derajatnya.
· Ayat itu menunjukkan adanya kepastian bahwa saling menghargai, menghormati, memberikan kesempatan kepada yang lain dan berlomba dalam mencari ilmu akan memunculkan manusia yang berilmu dan beriman.
· Adanya saling toleransi dalam pelaksanaan proses belajar mengajar
· Saling toleransi dalam pelaksanaan proses belajar mengajar
Pesantren Sebagai Pusat Majelis Keilmuan
Sebenarnya lembaga pendidikan Islam termasuk pesantren lahir dari hakikat majlis ilmi atau halaqoh ilmiyyah yang sering diadakan Rasulullah bersama para sahabatnya. Istilah majlis ilmu dalam perspektif pendidikan Islam, berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata yaitu majelis dan ilmu. Majelis bermakna “tempat duduk”, sedangkan menurut kamus besar bahasa Indonesia majelis adalah pertemuan, kumpulan, tempat sidang. Sedangkan ilmu bermakna adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu. Imam Ibnu Katsir dalam Tasfsirnya Al-Qur'an al Azhim, Juz IV, hal 324, mengatakan bahwa Allah SWT dalam ayat ini mendidik kaum muslimin agar bersikap baik satu sama lain di dalam majlis. Janganlah satu sama lain mempersempit tempat duduk, sehingga seolah-olah yang satu menghalangi keberadaan dan kehadiran yang lain dalam majlis. Pesantren sebagai pusat majelis keilmuan, memiliki norma dan nilai sebagai aturan utama dalam pelaksanaan pembelajaran. Banyak norma-norma yang harus ditaati sebagai konsekuwensi kita sebagai peserta didik di sebuah pesantren. Majelis ilmu juga memberikan kesempatan pada manusia untuk berbaur dengan sesama insan yang juga mencintai ilmu.
Ada pula pesantren sebagai institusi pendidikan diambil dari hakikat kata madrasah yang berarti tempat belajar, Abuddin Nata menjelaskan bahwa di dalam al-Qur’an tidak ada satu pun kata yang secara langsung menunjukkan pada arti sekolah (madrasah). Akan tetapi sebagai akar dari kata madrasah, yaitu darasa di dalam al-Qur’an dijumpai sebanyak 6 kali. Kata-kata darasa tersebut mengandung pengertian yang bermacam-macam, di antaranya berarti mempelajari sesuatu (Q.S. 6: 105); mempelajari Taurat (Q.S. 7: 169); perintah agar mereka (ahli kitab) menyembah Allah lantaran mereka telah membaca al-Kitab (Q.S. 3: 79); pertanyaan kepada kaum Yahudi apakah mereka memiliki kitab yang dapat dipelajari (Q.S. 68: 37); informasi bahwa Allah tidak pernah memberikan kepada mereka suatu kitab yang mereka pelajari (baca) (Q.S. 34: 44); dan berisi informasi bahwa al-Quran ditujukan sebagai bacaan untuk semua orang (Q.S. 6: 165). Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa kata-kata darasa yang merupakan akar kata dari madrasah terdapat dalam al-Qur’an. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan madrasah (sekolah) sebagai tempat belajar atau lingkungan pendidikan sejalan dengan semangat al-Qur’an yang senantiasa menunjukkan kepada umat manusia agar mempelajari sesuatu.
Motivasi Mencari Ilmu
Dalam mencari ilmu atau belajar di sebuah institusi pendidikan, secara umum semua amalan atau perbuatan itu tidak terlepas dari motiv (haatsah) di belakangnya, seseorang dalam mencari ilmu, dia didorong oleh keinginan yang begitu besar yang dia pikirkan. Seorang peserta didik rela tinggal di pesantren untuk belajar ilmu Agama tentu memiliki motiv tersendiri, apakah dia ingin menjadi kiyai, mendapat keridlaan Tuhan, atau ingin memiliki banyak teman. Dalam surah al-Mujadalah ayat 11 tadi bias dijadikan pegangan untuk meluruskan motiv tadi. Dalam ayat itu tersurat dan tersirat bahwa ada motivasi yang sangat tinggi yang muncul dari para sahabat yaitu keinginan untuk diangkat derajatnya oleh Allah. Dalam pembelajaran di pesantren, beragam motivasi yang muncul dari banyak murid. Tetapi sebagai sebuah pendidikan yang menganut nilai-nilai islam selayaknya, pesantren dalam tahapan selanjutnya mampu meluruskan motivasi peserta didik dalam mencari ilmu. Seperti halnya dorongan para sahabat itu.
Para santri yang sedang menuntut ilmu di pesantren hendaknya memiliki motivasi mulia seperti motivasi yang dimiliki para sahabat Rasulullah yang begitu tinggi dalam menghadiri majlis keilmuan atau dalam pembelajaran, hal itu disebabkan pada benak mereka telah ada keyakinan-keyakinan yang mendorongnya, antara lain :
· Memiliki keinginan untuk diangkat derajatnya oleh Allah SWT baik di dunia dan di akhirat
· Meyakini bahwa syarat diangkat derajat oleh Allah adalah dengan menjadi orang yang beriman dan berilmu
· Meyakini bahwa dengan menghadiri majlis ilmu, dia akan menjadi seorang yang beriman disebabkan bertambahnya pengetahuan dan kesadaran tentang keimanan kepada Allah.
· Meyakini bahwa dengan menghadiri majlis ilmu, dia akan menjadi seorang yang memiliki keluasan pengetahuan yang menjadi bekal dia untuk kehidupan di dunia dan membekali diri untuk kehidupan akhirat.
· Meyakini bahwa menuntut Ilmu wajib bagi setiap muslim
Rasulullah saw bersabda :
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim.”
(Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (no. 224), dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, lihat Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula oleh Imam-imam ahli hadits yang lainnya dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, dan al-Husain bin ‘Ali ra.
· Menuntut ilmu adalah suatu kemuliaan yang sangat besar dan menempati kedudukan tinggi yang tidak sebanding dengan amal apa pun.
· Menuntut ilmu akan mendapatkan dan memudahkan jalan menuju surga
Setiap Muslim dan Muslimah ingin masuk Surga. Maka, jalan untuk masuk Surga adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Sebab Rasulullah bersabda,
“Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah (masjid) untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya di antara mereka, melainkan ketenteraman turun atas mereka, rahmat meliputi mereka, Malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyanjung mereka di tengah para Malaikat yang berada di sisi-Nya. Barangsiapa yang lambat amalnya, maka tidak dapat dikejar dengan nasabnya.” (Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim (no. 2699), Ahmad (II/252, 325), Abu Dawud (no. 3643), At-Tirmidzi (no. 2646), Ibnu Majah (no. 225), dan Ibnu Hibban (no. 78-Mawaarid), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu. Lafazh ini milik Muslim)
· Meyakini bahwa majlis ilmu adalah taman surga
Nabi bersabda,"Apabila kalian berjalan melewati taman-taman Surga, perbanyaklah berdzikir.” Para Shahabat ber-tanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud taman-taman Surga itu?” Beliau menjawab, “Yaitu halaqah-halaqah dzikir (majelis ilmu).” (Hadits hasan: Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (no. 3510), Ahmad (III/150) dan lainnya, dari Shahabat Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu. At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan.”)
· Meyakini bahwa Rasulullah itu merupakan contoh teladan yang tidak mengenal lelah dalam mencari ilmu, Beliau senantiasa membaca dan menimba ilmu dari alam rasa dan yang semuanya bersumber dari Allah SWT.
· Meyakini bahwa ketika ada suatu majlis keilmuan maka disana akan didapatkan suatu pengetahuan baru yang akan menambah wawasan dan referensi sehingga kita dapat mengaplikasikan apa yang didapatkan. Seperti sahabat Nabi yang pulang dari medan perang. Beliau tetap bergabung dalam majlis ilmu yang dilaksanakan oleh Nabi.
Hal-hal yang harus ditaati oleh peserta didik dalam pembelajaran
Adapun beberapa hal yang bisa diperoleh dari Quran surah Al-Mujadalah: 11 ini antara lain :
· Berilah izin salam atau mintalah izin kepada orang-orang yang di dalam majlis ketika masuk dan keluar dari majlis tersebut. Rasulullah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian sampai di suatu majlis, maka hendaklah memberi salam, lalu jika dilihat layak baginya duduk, maka hendaklah ia duduk. Kemudian jika bangkit (akan keluar) dari majlis hendaklah memberi salam pula. Bukanlah salam yang pertama lebih utama daripada yang kedua.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dinilai shahih oleh Al-Albani).
· Duduklah di tempat yang masih tersisa. Jabir bin Samurah ra menuturkan, “Apabila kami datang kepada Nabi SAW, maka masing-masing dari kami duduk di tempat yang masih tersedia di majlis.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani).
· Jangan menyuruh orang lain untuk pindah dari tempat duduknya kemudian anda mendudukinya, akan tetapi berlapang-lapanglah di dalam majlis. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seseorang tidak boleh memerintah-kan orang lain pindah dari tempat duduknya lalu ia menggantikannya, akan tetapi berlapanglah dan perluaslah.” (Muttafaq ’alaih).
· Jangan duduk di tengah-tengah (lingkaran majlis) halaqah.
· Jangan duduk di antara dua orang yang sedang duduk kecuali seizin mereka.
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak halal bagi seseorang memisah di antara dua orang kecuali seizin keduanya.” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
· Jangan menempati tempat duduk orang lain yang keluar sementara waktu untuk suatu keperluan. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang di antara kamu bangkit (keluar) dari tempat duduknya, kemudian kembali, maka ia lebih berhak menempatinya.” (HR. Muslim).
· Jangan berbisik berduaan dengan tidak melibatkan orang ke tiga.
Rasulullah bersabda, “Apabila kalian sedang bertiga, maka yang dua orang tidak boleh berbisik-bisik tanpa melibatkan yang ketiga sehingga kalian berbaur dengan orang banyak, karena hal tersebut dapat membuatnya sedih.” (Muttafaq ’alaih).
· Jangan banyak tertawa. Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian memperbanyak tawa, karena banyak tawa itu mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah dan dinilai shahih oleh Al-Albani).
· Jagalah pembicaraan yang terjadi di dalam forum (majlis). Rasulullah bersabda, “Apabila seseorang membicarakan suatu pembicaraan, kemudian ia, maka itu adalah amanat.” (HR. At-Tirmidzi, dinilai hasan oleh Al-Albani) Amanah bagi yang ditoleh.
· Jangan melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan perasaan orang lain, seperti menguap, membuang ingus atau bersendawa di dalam majlis.
· Jangan memata-matai.Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu mencari-cari atau memata-matai orang.” (Muttafaq ’alaih).
· Tutuplah majlis dengan do`a kaffarah majlis. bersabda, “Barangsiapa yang duduk di dalam suatu majlis dan di majlis itu terjadi banyak gaduh, kemudian sebelum bubar dari majlis itu ia berdo’a,
· Isilah majlis dengan ingat kepada Allah agar tidak bernilai kotor di sisi Allah dan kerugian (HR. Abu Daud)
· Jagalah kebersihan dan bau harum atau kesegaran ruangan.
· Hendaknya Beradab Dalam Menuntut Ilmu
· Bersikap lemah lembut dalam memberikan pendapat
Rasulullah bersabda :
“Tidaklah sikap lemah lembut ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut kecuali akan membuatnya menjadi jelek” (Hadits Riwayat. Muslim 2584, Abu Dawud 2477)
Urgensi Mencari Ilmu dan Tafaqquh Fiddin
Salah satu kunci sukses generasi terbaik binaan Rasulullah SAW; para sahabat RA, sehingga mereka mampu melakukan perubahan dalam peradasban dunia dan mendastangkan banyak kemenangan, kemajuan dan ke kajayaan di semua aspek kehidupan, termasuk keberhasilan dalam memenej rumah tangga mereka, adalah semangat membara mereka dalam mencari ilmu dan tafaqquh fiddin. Ayat di atas merupakan salah satu dari sekian banyak ayat Al Qur'an yang menegaskan urgensi mencari ilmu dan tafaqquh fiddin. Bahkan, begitu amat pentingnya ilmu sampai-sampai lafazh 'ilmu dan kata jadiannya disebut dalam Al Qur'an sekita 427 kali, mengalahkan penyebutan lafazh 'shalat', 'zakat' dan lainnya.
Dalam kajian Ibnu 'Asyur, sesungguhnya penggunaan Al Qur'an lafazh "tafaqquh" menyiratkan makna takalluf (bersungguh-sungguh dan mengarahkan semua potensi) guna memperoleh pemahaman yang benar bukan sesuatu yang dapat diraih dengan mudah. Melainkan ia memerlukan usaha yang keras, biaya yang tidak murah dan waktu yang lama (Lihat Tafsir Ibnu 'Asyur X/229).Di antara kiat sukses para sahabat Nabi SAW dalam tafaqquh fiddin, terlihat dalam bentuk dan fenomena berikut:
· Semangat mereka untuk hadir dalam majlis Rasulullah SAW di tengah kesibukan mereka dalam menggembala, berdangang, bertani dll. Jika sebagian mereka berhalangan, maka mereka bersepakat dengan kawannya untuk saling bergiliran seperti yang dilakukan oleh sayyidina Umar bin Khattab RA dengan tetangganya dari kaum Anshar (Lihat HR Bukhari 1/33 dan Muslim II/ 1108-1110 no. 31).
· Mendengarkan dengan khusyu' (Inshaat) dan konsentrasi penuh agar mereka tidak ketinggalan sedikit pun dari ilmu yang Nabi SAW sampaikan (Lihat HR At Tirmidzi dalam Asy Syamaa-il Al Muhammadiyah hal. 375).
· Bertanya terhadap apa yang tidak mereka fahami.
· Mendengarkan dari teman-teman sebayanya yang lebih hafal.
Faktor terpenting lagi dalam proses pendidikan adalah peserta didik. Prinsip yang paling penting dalam pendidikan bahwa anak merupakan individu yang selalu tumbuh dan berkembang. Sehubungan dengan hal itu, agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan efektif maka pendidik perlu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hakikat peserta didik sehingga ia mudah untuk melaksanakan pendidikan, menimbulkan rasa cinta kepada peserta didik, dan menghindarkan diri dari banyak kesulitan dan kesalahan dalam praktek pendidikan.
Agar pendidik mampu menjalankan tugas mendidiknya dengan baik maka ia harus memahami hakikat peserta didik. Peserta didik secara hakikat adalah pribadi yang sedang berkembang, bertanggung jawab atas pendidikannya sendiri dengan wawasan pendidikan seumur hidup, pribadi yang mempunyai potensi ( baik fisik maupun psikis) yang berbeda sehingga masing-masing merupakan insan yang unik, memerlukan pembinaan individual dan perlakuan yang manusiawi dan merupakan insan yang aktif menghadapi lingkungannya.
Istilah murid bermakna ”yang mempunyai kehendak”. Dalam dunia sufi, sumber pengambilannya berasal dari kata al-iradah ( kehendak). Adapun jalan iradah di sini adalah untuk menetapkan mengetahui yang dikehendaki, yaitu Allah ( al-murad). Adapun keberadaan iradah tersebut adalah kehendak yang dikehendaki oleh Allah dengan cara mengikuti perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Inilah yang disebut dengan makna tauhid. Karenanya untuk mencari ilmu, seorang murid haruslah mengetahui sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah.
Utamanya perilaku seorang murid dalam mencari ilmu menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jailani yang dikutip oleh al-Hifni dalam Kitab al-Mausuat al-Shufiyyah (1992), seorang mukmin harus memiliki tiga komponen dalam berperilaku, pertama, mampu melaksanakan perintah-perintah-Nya, kedua, menjauhi segala larangan-nya, dan ketiga meridhai atas segala ketetapan-Nya.
Ada beberapa hal yang harus dimiliki dan dipersiapkan oleh setiap murid yang sedang belajar sebagai adab dan tugasnya selaku murid (yang dapat juga disebut sebagai sifat-sifat murid) seperti yang dikemukakan Said Hawwa, sebagai berikut :
Pertama, murid harus mendahulukan kesucian jiwa sebelum lainnya.
Kedua, murid harus mengurangi keterikatannya dengan kesibukan duniawi
Ketiga, tidak sombong terhadap orang yang berilmu
Kedelapan, hendaklah mengetahui ciri-ciri ilmu yang paling mulia, itu diketahui dari hasil belajarnya dan ketekunan dalilnya.
Untuk menjaga hubungan yang begitu urgen yakni intensitas, interaktif, komunikatif, dan produktif antara seorang murid dengan gurunya, maka posisi murid secara fungsional dan proporsional memiliki kriteria-kriteria menyangkut hak dan kewajiban, etika dan tatakrama, adab dan tatalaku yang menceriminkan perilaku.

Artikel Terkait Kajian Pendidikan Islam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Postingan