Oleh :
Dadang Gani, M.Ag
- Pendahuluan
Tantangan pendidikan dan dakwah Islam
semakin hari semakin kompleks,
selain dituntut untuk memberi
jawaban atas masalah-masalah domestik ajaran Islam, juga ditantang untuk memberikan solusi atas
beragam persoalan yang mengemuka akibat pola kehidupan yang saling terhubung satu sama lain. Saat ini telah terjadi dekadensi
moral dan nilai budaya di
masyarakat kita. Sebagian masyarakat lebih memilih berkomunikasi dengan kekerasan daripada memajukan nalar dan akal sehat.
Majlis ta’lim sebagai pintu gerbang pendidikan Islam mau tidak mau harus
menghadapi permasalahan yang muncul akibat dari dunia yang semakin mengglobal,
bergerak dan berubah semakin cepat dan kompetitif. Majlis Ta’lim dituntut untuk
terus dapat meningkatkan kualitas dirinya agar dapat berperan lebih besar dalam
menjembatani kesenjangan yang terjadi antara kondisi nyata umat Islam dengan
perkembangan dunia yang semakin maju serta menjadi agen perubahan (agent of
change), membawa umat Islam menuju kondisi yang lebih maju sesuai dengan
tujuan da’wah yaitu untuk mencapai masyarakat khairu ummah,
sebagaimana ditegaskan melalui QS. Ali Imran ayat 110. Masyarakat khairu
ummah setidaknya memiliki 3 ciri yang menandai karakter masyarakat ideal
yang dicita-citakan: 1) memiliki akidah yang kuat 2) memiliki kontribusi
yang baik untuk manusia lainnya dan 3) memiliki kualitas kebaikan
dalam bentuk peradaban yang bernilai tinggi. Pada
dasarnya proses pendidikan di majlis ta’lim seharusnya mampu mengembangkan
nilai-nilai ruhaniah anggota atau jama’ah majlis sehingga tercermin dan
terwujud dalam dirinya suatu pengetahuan dan tindakan sosial yang islami. Proses itu secara ideal diimbangi dengan penanaman mental
dan karakter yang membuat anggota majlis mampu menghadapi problem kehidupan
ini. Mental dan karakter yang sudah terinternalisasi dalam diri akan menjadi
utuh dan tersatukan dalam jiwa, sehingga membentuk integritas personal.
Secara khusus pendidikan keagamaan berperan dalam membentuk kepribadian dan ketakwaan
seseorang.
- Majlis Ta’lim Dalam Analisis SWOT
Menilai kadar kualitas sebuah majlis ta’lim dapat dilihat melalui
analisa SWOT. Metode analisis ini
merupakan kependekan dari Strength (kekuatan), Weakness (kelemahan),
Opportunity (peluang), dan Treath (ancaman). Dalam analisis
ini, dipikirkan tentang kekuatan apa saja yang dimiliki, kelemahan apa saja
yang melekat pada lembaga, dan kemudian juga dilihat kesempatan/peluang atau Opportunity
yang terbuka dan akhirnya mampu untuk mengetahui ancaman, ganguan serta
tantangan yang menghadang.
Secara umum kekuatan yang dimiliki oleh majlis ta’lim di
Indonesia
sekarang ini adalah : 1) Memiliki banyak
jamaah dari
kalangan wanita, wanita memiliki peranan
utama dalam pendidikan sebuah keluarga. Seorang ibu yang memiliki kualitas
keagamaan yang tinggi tentu akan berpengaruh besar terhadap kualitas keagamaan
anak-anaknya. Dalam sebuah ungkapan disebutkan bahwa Al-Ummu madrasah Al-ula, ibu adalah sekolah pertama bagi
anak-anaknya. Ketika seorang ibu selalu menghadiri majlis
keilmuan dan mengisi hati dan akalnya dengan materi keislaman maka secara otomatis dia akan terbangun dalam kualitas
nilai islami yang membanggakan. Ibu tersebut memiliki peran lebih dari sebuah lembaga pendidikan formal yaitu membangun kecerdasan intelektual,
emosional dan spiritual anak sehingga dapat
menjadi insan paripurna di kemudian hari; 2) Memiliki
pleksibilitas dalam pelaksanaannya, Dalam prakteknya, proses pendidikan
dan pengajaran
keislaman di majelis ta’lim
sangat pleksibel dan terbuka serta tidak terikat oleh
suatu kondisi tempat dan waktu. Tempatnya bisa dilakukan di rumah, mushola,
masjid, gedung, aula, halaman dan sebagainya. Demikian juga dengan waktu
penyelenggaraanya bisa pagi, siang, sore maupun malam hari. Pleksibelitas
inilah yang membuat majelis ta’lim mampu bertahan sebagai lembaga pendidikan
yang paling kuat dan melekat dekat dengan dinamika masyarakatnya karena tidak terlalu
membebani mereka; 3) Memiliki banyak anggota jamaah, majlis
ta’lim di berbagai belahan bumi nusantara tumbuh sangat pesat dan memiliki
anggota yang sangat banyak hampir sembilan juta orang terdiri dari kalangan tua
ataupun remaja pria ataupun wanita yang memenuhi kurang dari setengah jumlah
mesjid yang berkisar 290.000 buah, Jumlah jama’ah sebanyak itu tidak
mengagetkan karena penduduk muslim yang ada di Indonesia menurut hasil sensus penduduk
Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012, tercatat sebanyak 207.176.162 dari total penduduk Indonesia yang 244.693.997
jiwa; 5) Adanya partisipasi Pemerintah, dalam hal ini partisipasi
pemerintah baik berupa produk hukum, bantuan pendanaan, kegiatan, pembangunan
mesjid ataupun lainnya yang dapat menunjang pelaksanaan pengajian majlis ta’lim;
6) Memiliki akar sejarah lembaga pendidikan paling pertama sejak zaman
Rasulullah SAW, Majelis ta’lim sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW saat dakwah pertamanya
yang bertempat di rumah Arqom bin Al-Arqom. Yang biasa disebut dengan halaqoh
‘ilmiyyah.
Pada zaman Nabi, di kalangan anak-anak juga dikembangkan kelompok pengajian
khusus yang disebut al-Kuttab yang mengajarkan baca al-Qur’an, yang dalam
perkembangan selanjutnya menjadi semacam pendidikan formal untuk anak-anak,
karena di samping baca al-Qur’an juga diajarkan ilmu agama seperti fikih, tauhid
dan sebagainya; 7) Pola pengajaran
materi yang menyeluruh, materi-materi
yang disampaikan biasanya dibagi pada empat wilayah pokok yaitu akidah,
syari’ah, mu’amalah dan akhlak. Kurikulum tersebut diharapkan dapat membekali
anggota majlis menanamkan nilai-nilai Islam secara utuh; 8)
Berperan sebagai kaderisasi umat, majlis ta’lim sebagai lembaga
pengkaderan bagi umat dengan bertujuan membentuk para anggotanya berakhlak
mulia sebab akhlak adalah tolak ukur utama yang akan menentukan baik buruknya
kehidupan umat manusia. Sebab krisis berkepanjangan yang sedang
melanda bangsa Indonesia saat ini termasuk di dalamnya kerusakan lingkungan
yang banyak menimbulkan bencana alam, awalnya bersumber dari adanya krisis
kepribadian. Ada hubungan kuat antara kader yang mampu memimpin umat dengan
perolehan ilmu pengetahuan seperti yang dinyatakan oleh Abu al-A’la al-Maududi dalam bukunya al-Manhaj al-Islami al-Jadidu li
al-Tarbiyah wa al-Ta’lim tahun 1402 H/1982 M hlm 10-11. Kaderisasi umat yang dimaksudkan adalah majlis ta’lim sebagai
wahana pembentukkan kader-kader tangguh dengan membentuk sumber daya yang berkualitas. Seperti
dasar ayat dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 110 tentang Khoiru ummat
dan Al-Nisa ayat 9 tentang kaderisasi.
Bagi
majlis ta’lim, sukses atau tidaknya sebuah majlis dapat diukur dari
keberhasilan proses internal yang dikembangkannya dengan munculnya kader-kader
baru pembangun masyarakat Islami. seperti halnya Rasulullah saw yang
menghasilkan kader-kader potensial. Sebagaimana yang dinyatakan Ahmad Madkur :
أن
أهداف منهج التربية في الإسلام هو إعداد الإنسان الصالح القادر علي عمارة الأرض
وترقيتها وفق منهج الله , بأن يكون عبدا ربانيا تقيا دائم الصلة بالله في كل فكر
أو عمل أو عمل أو شعور.
9) Adanya Ikatan persaudaraan yang kuat, sesama anggota satu majlis ta’lim biasanya terbentuk ikatan ukhuwwah
yang relatif erat. Hal tersebut disebabkan selain karena satu lingkungan tetapi
juga timbul satu perasaan belajar bersama, bahu membahu dalam setiap kegiatan
majlis dan lainnya. Ini tentu lambat laun akan memupuk rasa persatuan sesama
anggota umumnya sesama umat Islam. Terlebih ketika majlis ta’lim tersebut
terletak di perkotaan yang masyarakatnya sangat heterogen.
Adapun
kelemahan yang seringkali ada pada majlis ta’lim
adalah : 1) Termasuk pendidikan nonformal
sehingga minimnya aspek manajerial dan kedisiplinan, majlis ta’lim
bisa disebut sebagai lembaga pendidikan diniyyah nonformal. Pada kenyataanna ketika sebuah kegiatan ataupun program bukan
merupakan hal yang formal maka pelaksanaan di dalamnya akan sangat tergantung pada
kesadaran anggotanya. Begitu juga sebuah majlis ta’lim sangat tergantung pada
kesadaran pengurus dan anggotanya dalam mengembangkan kegiatan dalam proses
membina umat; 2) Kurikulum yang disajikan tidak tersusun secara sistematis; Di
sebagian majlis ta’lim masih terdapat kekurangsempurnaan dalam sistematika
penyusunan kurikulum pengajiannya, sehingga menyebabkan materi yang disajikan
tumpangtindih dan membuat anggota majlis bosan
mendengarnya.
Padahal prinsip penyajian materi keagamaan dalam majlis ta’lim sama dengan prinsip penyajian materi dalam lembaga formal. Pada prinsipnya menentukan dan
menyajikan materi pengajian agama di majlis ta’lim, seyogyanya memperhatikan hal-hal berikut: a)
Materi agama yang akan disajikan dalam pembelajaran benar-benar berasal dari
sumber yang dipertanggungjawabkan sehingga tidak ada yang salah dan rancu
ataupun tumpangtindih materi satu dengan materi lainnya.; b) Materi tersebut merupakan inti dari
setiap tema materi pengajian sehingga memberikan pemahaman untuk anggota majlis
sebagai subjek belajar dan materi agama tersebut yang dipilih benar-benar
diperlukan; c) Materi
agama yang dipilih dapat memberikan manfaat keilmuan bagi para anggota. Yaitu
memberikan manfaat sebagai dasar-dasar pengetahuan agama sehingga akan dikembangkan
lebih lanjut pada jenjang pengajian berikutnya dan bermanfaat untuk dapat
mengembangkan dan merealisasikan nilai-nilainya pada kehidupan sehari-hari; d)
Materi yang memungkinkan untuk
dipelajari oleh sebagian besar anggota majlis baik dari aspek tingkat
kesulitannya yaitu tidak terlampau sulit sehingga menyebabkan anggota majlis
sangat terbebani dalam memahami dan menguasainya; e) Materi agama yang dipilih yaitu yang
menarik minat dan dapat memotivasi anggota majlis untuk mempelajari lebih
lanjut, menumbuhkan rasa ingin tahu sehingga memunculkan dorongan untuk
mengembangkan sendiri kemampuan mereka. Karena itu dalam melaksanakan aktivitas dakwah, pelaksana dakwah harus membuat
perencanaan dakwah yang sistematis dan terpadu.; 3) Sebagian
majlis ta’lim tidak memiliki Ustad atau nara sumber yang mumpuni sehingga
proses pengajaran dan pengajiannya
seadanya, memang tidak setiap majlis ta’lim memiliki ustadz yang mumpuni
dalam keilmuan dan manajemen mesjidnya sebab terlalu banyak masjid dan majlis
ta’lim yang ada. Dalam permasalah ustadz ini bukan keilmuan saja yang
dibicarakan tetapi aspek maliyyah yang dimiliki oleh seorang ustadz,
apakah ustadz tersebut bersemangat dalam menyampaikan materi karena ada
insentifnya ataupun karena tanggungjawabnya sebagai muslim; 4) Tidak
menggunakan sumber rujukan, kelemahan ke tiga tadi bergaris lurus dengan
kelemahan ini yaitu dalam proses pengajaran dan pengajiannya, bagi ustad yang
“kurang mahir” tentu sekemampuan dia dalam menyampaikan materi, malah yang
paling patal bisa terjadi kesalahan dalam memahami materi agama yang
disampaikan. Seorang ustad yang berperan dalam sebuah majlis ta’lim tentunya
dituntut untuk menguasai berbagai aspek yang berkaitan dengan materi keislaman
baik tafsir, fikih hadits, ilmu hadits, ushul fikih dan lainnya. Sehingga di
beberapa wilayah masih banyak yang kekurangan ustad seperti itu ; 5) Materi ke-islam-an
yang disampaikan terkadang didominasi oleh faham yang dianut oleh ustadnya, merupakan
hal yang biasa dalam pemahaman keislaman muncul banyak faham yang berbeda-beda
dikarenakan berbeda dari metodologi istimbath dalam hukum Islam, hal ini tentu
memiki eses negatif dalam keberagamaan intern umat Islam itu sendiri. Dalam
sebuah majlis ta’lim, ketika para ustadznya memiliki kecondongan pada paham
tertentu maka jelas mereka akan mengajarkan sesuai dengan yang mereka yakini.
Padahal di antara anggota majlis ta’lim tidak semuanya sama dalam memahami
materi keislaman. Biasanya hal ini terjadi pada wilayah perkotaan, sehingga
keadaan ini membutuhkan pola dan metode pengajaran tertentu. Dalam hal ini
perlu dipersiapkan keahlian dalam penyampaian sesuai dengan tingkat kemampuan dari objek dakwah, sebagaimana sabda nabi
Muhammad Saw, “Kami diperintah supaya berbicara kepada manusia menurut kadar
akal (kecerdasan) mereka masing-masing” (H.R. Muslim); 6) Kendala sarana dan prasarana. Perbedaan latar belakang
pendidikan dan ekonomi merupakan hal mendasar dalam penyediaan perangkat dan
saranan dakwah bagi sebuah majlis ta’lim. Membaca buku dan browsing internet
mungkin dapat dilakukan oleh sebagian anggota majlis tapi akan menjadi sesuatu
yang langka bagi sebagian besar anggota majlis lainnya; 7) Metode pengajaran
kurang dinamis, biasanya metode pengajaran di
majlis ta’lim bersifat monoton sehingga membuat bosan anggota majlis. Padahal banyak
metode yang bisa digunakan untuk penyampaian materi pengajian baik itu metode
ceramah, tanya jawab, bahsul masail dan
latihan. Metode ceramah (lecturing) mestinya diimbangi dengan
penggunaan media seperti LCD, papan tulis, dan catatan makalah atau dengan
menggunakan “kitab kuning”. Selain itu, metode dakwah bisa dikembangkan kepada
metode-metode yang lebih bersifat partisipatif, artinya mad’u dapat
dilibatkan dalam mengemukakan persoalan-persoalan yang dihadapinya. Metode tanya jawab merupakan metode yang sangat efektif dalam
merangsang para jamaah untuk berpartisipasi aktif dalam forum ta'lim melalui
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh ustad. Di samping untuk menggali
kemampuan jamaah mengkritisi sebuah persoalan, metode ini juga bisa membantu
jamaah ikut memikirkan jawaban-jawaban dari persoalan yang muncul, sehingga
akan muncul berbagai informasi dan altematif jawaban dari jamaah itu sendiri. Metode
tanya jawab juga efektif untuk memusatkan perhatian jamaah ke topik pembahasan,
menyelingi ceramah, ataupun untuk menjuruskan perhatian jamaah ke masalah
tertentu. Metode ini dimaksudkan untuk melatih dan meningkatkan ketrampilan
atau kecakapan motoris para amaah, seperti melafalkan ayat atau hadis, serta
kecakapan asosiasi, seperti menulis dan menyambung-nyambungkan huruf. Metode
ini biasanya sangat tepat digunakan untuk bidang pengajaran al-Quran atau
pengajaran kitab kuning (kitab gundul) yang menuntut jamaahnya bisa menulis,
membaca dan memahami. Metode diskusi atau bahsul masail adalah pembahasan suatu
masalah melalui jalan diskusi yang melibatkan seluruh jamaah, baik dari
penyampaian masalah, pembahasan masalah, hingga solusi atau jawaban dari
masalah yang muncul. Dengan kata lain, metode diskusi menekankan konsep pengajaran
dari jamaah, oleh jamaah, dan untuk jamaah. Dalam metode ini, seorang ustad
bertindak sebagai moderator atau pimpinan diskusi; 8) Masalah paradigma
berpikir, dalam pengembangan nilai dan pengetahuan keislaman jamaah majlis ta’lim, proses pelaksanaannya cenderung bersifat transformasi materi ajar saja,
sehingga pendidikan nilai sebagian hanya terfokus pada pembentukan anggota
majlis supaya memahami keberagamaan yang baik, belum mencapai tahap
internalisasi nilai pada diri mereka dalam kehidupan. Dalam
hal ini memang harus ada rekonstruksi kreatif dalam aspek metodologi pengajian dari yang dogmatis-doktriner
dan tradisional menuju kepada pembelajaran yang lebih dinamis-aktual dan
kontekstual.
Adapun peluang
yang dihadapi dan dimiliki majlis ta’lim adalah
: 1) Motivasi dan minat anggota majlis ta’lim yang tinggi. Di era
yang sedang krisis moral dan krisis kejujuran seperti ini diperlukan peran
serta pendidikan agama Islam yang lebih dominan. Minat
adalah sumber motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan apa yang ingin dilakukan ketika bebas memilih.
Ketika seseorang menilai bahwa sesuatu akan
bermanfaat, maka akan menjadi berminat, kemudian hal tersebut akan mendatangkan kepuasan. Ketika kepuasan menurun maka
minatnya juga akan menurun. ; 2) Adanya
kebutuhan rohani setiap manusia, Pada kehidupan masyarakat kota
dan modern yang cenderung konsumtif dan hedonis, membutuhkan petunjuk jiwa,
sehingga kajian-kajian agama berdimensi sufistik kian menjamur. Ini menjadi
salah satu peluang bagi pengembangan lembaga-lembaga seperti majlis
ta’lim; 3) Secara
realitas, mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, bahkan merupakan
komunitas muslim terbesar diseluruh dunia. Ini adalah peluang yang sangat strategis
bagi pengembangan lembaga pendidikan Islam termasuk majlis ta’lim.
Adapun ancaman dan tantangan Majlis
ta’lim adalah : 1) Arus globalisasi yang menyebabkan pudarnya nilai
moralitas, Terjadinya
sikap mementingkan diri sendiri (individualisme) sehingga kegiatan gotong
royong dan kebersamaan dalam masyarakat mulai ditinggalkan; Terjadinya sikap
materialisme, yaitu sikap mementingkan dan mengukur segala sesuatu berdasarkan
materi karena hubungan sosial dijalin berdasarkan kesamaan kekayaan, kedudukan
sosial atau
jabatan; Adanya sikap sekularisme yang lebih mementingkan kehidupan duniawi dan
mengabaikan nilai-nilai agama; dominannya nilai-nilai budaya yang
melanggar nilai-nilai kesopanan dan budaya bangsa melalui media massa; Masuknya
budaya asing yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa; 2) Dominannya paham tertentu sehingga muncul kefanatikan (ta’ashubiyyah); pengajian yang
bersumberkan al-Qur’an dan Hadits terkadang dicemari oleh kefanatikan ustad
yang dijadikan nara sumber sehingga berpengaruh kepada pengetahuan dan sikap
anggota majlis tersebut. Mereka sangat mudah sekali menvonis sesat, bahkan kafir terhadap
seudara-saudara mereka sesama muslim yang mereka anggap jatuh kepada
kesalahan-kesalahan. Tanpa ada sikap nasehat yang baik terlebih dahulu; 3) Adanya
kegiatan kontraproduktif yang dilaksanakan, ada sebagian
anggota jama’ah sebuah majlis yang datang ke majelis ta’lim hanya berorientasi
pada kegiatan yang menyenangkan mereka saja seperti arisan, bertukar pikiran
tentang resep makanan dan lainnya.
S (Kekuatan)
|
W (Kelemahan)
|
|
O (Peluang)
|
Majlis
Ta’lim harus memanfaatkan peluang menjadikan kekuatan atau sebaliknya.
|
Peluang digunakan untuk
menekan sebuah kelemahan yang ada.
|
T (Ancaman)
|
Kekuatan digunakan untuk
menekan ancaman yang terjadi.
|
Majlis
Ta’lim, sebelum datang sebuah ancaman harus menutupi kelemahan-kelemahan yang
ada dengan kekuatan dan peluang.
|
Bagan
C. Pemberdayaan
Majlis Ta’lim
Pembelajaran di majlis ta’lim pada
intinya bertujuan untuk : (a) Penanaman nilai ajaran Islam
sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat; (2) Pengembangan
keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia anggota majlis
seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan
keluarga; (3) Penyesuaian mental anggota majlis terhadap lingkungan
sosial melalui materi yang telah diterima; (4) Perbaikan kesalahan dan
kelemahan pemikiran, penghayatan dan pengamalan nilai islam yang keliru dalam
kehidupan sehari-hari; (5) Pencegahan terhadap anggota majlis dari
hal-hal negatif yang akan dihadapinya sehari-hari.
Ali Ahmad Madkur dalam bukunya Manhaj
al-Tarbiyah fi al-Tashawwuri al-Islamy mengatakan bahwa proses pendidikan
adalah sebuah proses menghantarkan anggota majlis/yang dididik pada derajat
kesempurnaan yang sudah digariskan Allah swt yaitu kesempurnaan yang mencakup seluruh
sisi jiwa manusia.
فالهدف
في التربية إذن هو إيصال المربي إلي درجة الكمال التي هيأ الله لها. وهي تشمل جميع
جوانب النفس الإنسانية. أي جميع جوانب الشخصية الإنسانية. وهي تستعين بوسائل منها
التعليم
Peran dan fungsi majelis ta’lim diyakini dapat menghantarkan tujuan
pendidikan Islam itu sendiri dalam wujud tatanan masyarakat ideal yang sesuai
dengan nilai-nilai islam sebagai rahmatan lil’alamin. Adapun upaya
memaksimalkan peran dan fungsi majelis ta’lim yang perlu dilakukan
adalah: Pertama, memperkuat fungsi majelis ta’lim sebagai tempat pendidikan
dan pengajaran agama Islam secara luas, agar dapat dikembangkan dan
diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari. Pokok ajaran Islam baik akidah,
syariah, akhlak seyogyanya terintegrasi dan terinternalisasi dalam kehidupan
nyata umat. Selain mengajarkan tentang ibadah transendental dalam arti hubungan
vertikal antara manusia dengan Allah Swt, tapi juga mencakup bagaimana
seharusnya seorang muslim menjalin hubungan horisontal dengan sesama manusia
dan lingkungannya; Kedua, meningkatkan fungsi majelis ta’lim dari
tempat penyelenggaraan pengajian menjadi wahana melakukan kaderisasi umat
Islam. Kaderisasi adalah suatu system menyiapkan generasi yang akan datang.
Sistem ini dikemas dan diakltualisasikan dengan sungguh di majelis ta’lim.
Setiap majelis ta’lim, sesuai dengan tujuan, misi dan visinya harus melakukan
pengkaderan di kalangan jamaahnya. Dengan demikian
keberlangsungan majelis ta’lim akan terus berlanjut; Ketiga,
mengembangkan fungsi konseling. Sebagai salah satu lembaga pendidikan non
formal, majelis ta’lim bertanggung jawab untuk mendidik dan membantu
jamaahnya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan masyarakatnya dan mampu
memecahkan berbagai persoalan hidup yang dihadapinya. Melalui kegiatan yang
dikemas sedemikian rupa diharapkan dapat membantu jamaah yang mengalami
persoalan-persoalan kehidupan, baik pribadi maupun sosial. Dalam situasi
seperti inilah peran dan fungsi konseling akan terasa diperlukan oleh berbagai
pihak yang terlibat di majelis ta’lim, terutama para jamaahnya; Keempat,
menjadikan majelis ta’lim sebagai pusat pengembangan keterampilan atau skill
jamaah. Setiap muslim idealnya bisa berperan ganda dalam kehidupannya,
yaitu sebagai ‘abid (penyembah Allah) dan sekaligus sebagai khalifah
fil ardh (orang yang memakmurkan bumi). Dalam konteks inilah majelis ta’lim
bisa menjadi pusat pengembangan keterampilan / skill bagi jamaahnya; Kelima,
meningkatkan peran pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan potensi ekonomi
dan sosial. Sebagai tempat berkumpulnya jamaah, majelis ta’lim diharapkan bisa
menjadi media sosial dalam mengkomunikasikan upaya-upaya pembangunan umat, baik
secara lahir maupun batin. Melalui majelis ta’lim yang merupakan sarana efektif
dalam interaksi sosial dapat disampaikan informasi yang dapat menggugah
jamaahnya untuk berfikir dan melakukan langkah-langkah produktif dalam rangka
pemberdayaan ekonomi dan sosial jamaah; Keenam, menjadikan
majelis ta‘lim sebagai wadah silaturrahmi dan rekreasi ruhani. Majelis ta’lim
tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar agama Islam, namun juga mampu
member warna bagi jamaahnya dalam pembinaan solidaritas sosial yang kuat antar
umat Islam melalui silaturrahim; Ketujuh, mengembangkan fungsi
sebagai pusat komunikasi dan informasi. Melalui pengembangan fungsi ini
diharapkan jamaah akan selalu mendapatkan informasi yang up to date mengenai
perkembangan sosial budaya yang terjadi disekitarnya maupun perkembangan dunia
yang terjadi dengan sangat cepat; Kedelapan, menjadikan majelis ta’lim sebagai lembaga kontrol
sosial (social control). Dengan fungsi control ini. Eksistensi majelis ta’lim
akan semakin diperlukan di tengah-tengah masyarakat. Majelis ta’lim berperan
besar dalam transfer pengetahuan dari pengajar kepada jamaahnya dan sekaligus
berperan besar dalam memecahkan problematika sosial keagamaan yang dihadapi
umat. Seperti misalnya dalam hal mengantisipasi aliran-aliran sesat,
pendangkalan akidah, kemaksiatan dan prilaku asosial lainnya yang selalu muncul
dan mengancam sendi-sendi kehidupan umat manusia, khususnya umat Islam.
Disinilah majelis ta’lim akan tampil efektif sebagai agen kontrol sosial
melalui berbagai peranan dan fungsi yang dijalankannya
- Penutup
Majelis ta’lim sebagai lembaga pendidikan nonformal
terdepan memiliki potensi dan peran yang besar manakala dapat diberdayakan
secara maksimal. Dalam perspektif manajemen, pemberdayaan bukan hanya menyangkut
kelembagaan saja, melainkan juga personal dan hubungan antar anggotanya. Melalui
analisi SWOT di atas setidaknya dapat diketahui kekuatan, kelemahan, peluang
dan ancaman dalam perjalanan majlis ta’lim tersebut. Dengan itu bisa dicari
jalan keluar agar peran dan fungsinya dapat berjalan dengan maksimal. Semoga !
Sumber Bacaan
Aziz , 2009, Ilmu Dakwah,
Jakarta: Kencana.
Departemen Agama, 1984, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta.
Hamidah, 2006, Gerakan Wanita Islam Indonesia: Suatu
Kajian Sosio-Historis Terhadap Aisyiah-Nasyiatul Aisyiah dan Muslimat Fatayat
NU, Makalah disampaikan pada acara “Annual Conference” di Bandung
pada tanggal 26-30 November 2006.
Kurzman, Charles (Ed.). 2002, Modernist Islam 1840-1940. Oxford:
Oxford University Press.
Madkur, Ali Ahmad, 2002, Manhaj al-Tarbiyah fi
al-Tashawwuri al-Islamy, Kairo, Cetakan
Pertama, Dar al-Fikr al-Araby
Mulkhan, Abdul Munir, 1996, Ideologisasi Gerakan
Dakwah. Yogyakarta: SI Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar