Selasa, 28 Mei 2013

Landasan Teori Behaviorisme

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu. Pengalaman baru adalah sebagai akibat adanya   interaksi antara stimulus dengan respons, dan oleh karena itu tingkah laku dapat dibentuk sedemikian rupa. Behaviorsme meyakini bahwa perilaku itu mesti dibentuk melalui stimulus dari lingkungan. Teori behaviorisme berkonsentrasi pada mempelajari tingkahlaku yang dapat diobservasi dan terukur. (Good & Brophy, 1990). Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya : 1. Classical Conditioning (Ivan Pavlov), Ivan Pavlov adalah ahli psikologi dari Rusia yang namanya selalu dikaitkan dengan classical conditioning, berdasarkan pada observasinya yang cukup terkenal yang dilakukannya secara tidak sengaja. Pada saat itu observasinya melibatkan beberapa anjing. Menurut Pavlov anjing-anjing yang ada di laboratoriumnya mulai mengeluarkan air liur pada saat mereka akan diberi makan, bahkan sebelum mereka bisa melihat atau mencium aroma makanannya. Anehnya, mereka mengeluarkan air liur ketika mereka melihat penjaganya atau pada saat mereka mendengar langkah kaki penjaganya. Selanjutnya observasi sederhana tadi membimbing Pavlov untuk melakukan serangkaian percobaan yang cukup terkenal; dia akan membunyikan bel atau suara berdengung yang dua-duanya tidak menyebabkan anjingnya berliur dan kemudian dengan segera Pavlov memberi makan anjing-anjingnya, sebuah stimulus yang mengarah pada keluarnya liur. Dengan segera Pavlov menemukan bahwa apabila prosedur yang sama diulang sesering mungkin, bunyi bel atau dengung saja sudah dapat mengakibatkan keluarnya liur anjing. Pada percobaan yang dilakukan Pavlov, bunyi bell diacukan sebagai sebuah conditioned stimulus (CS); makanannya adalah unconditioned stimulus (US); pengeluaran air liur sebagai respon terhadap makanan sebagai unconditioned response (UR), sementara pengeluaran air liur sebagai respon terhadap bunyi bel atau dengung merupakan conditioned response (CR). Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya : Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat dan Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun; 2. Connectionism (Thorndike), Thorndike mengawali konsepnya dengan pernyataan seperti berikut: ‘People are always trying to show how intelligent their pet animals are.’ (Lefrancois.124) Dan melanjutkannya dengan pertanyaan ‘…are animals really intelligent?’ Dari sinilah kemudian Thorndike melakukan eksperimennya terhadap seekor kucing. Seekor kucing yang lapar dimasukkan dalam kandang (Thorndike menyebutnya dengan istilah ‘puzzle box’) dan dikunci sehingga tidak dapat keluar kecuali kucing tadi melakukan tiga hal: melepaskan tali untuk membuka kunci pertama, menginjakkan kaki di atas pengungkit untuk membuka kunci kedua, dan memutar grendel dari atas ke bawah searah jarum jam sehingga pintu terbuka. Untuk meyakinkan bahwa kucing akan termotivasi untuk keluar dari kandang, Thorndike meletakkan sesuatu yang ikan yang mati agak jauh dari kandang dimana kucing tidak dapat meraihnya dari dalam kandang. Apa yang terjadi? Kucing tadi mencari celah dinantara jeruji kandang, mencakari pintu dengan tangan dan kakinya, mengeong minta tolong. Ketika semua strategi tadi tidak dapat berhasil, kucing tadi diam. Tidak lama kemudian kucing tadi melakukan hal yang sama mencoba segala strateginya hingga dengan tanpa sengaja melakukan tiga langkah sampai akhirnya ia mampu keluar dari kandang. Thorndike melakukan eksperimen ini berulangkali dan hasil pengamatannya adalah untuk pertama kalinya kucing memerlukan waktu 3 menit sampai bisa keluar dari kandang, selanjutnya setelah berulangkali dikunci dan mampu keluar dari kandang, kucing tersebut hanya memerlukan waktu kurang dari satu menit untuk keluar dari kandang yang terkunci. Itulah yang dimaksud Thorndike dengan trial and error learning, belajar dari usaha dan kesalahan, dan bukan dari pengetahuan yang detail (insight) atau proses mental serupa. Dan Thorndike menekankan bahwa manusia juga belajar dengan cara yang sama. Lefrancois selanjutnya meringkas esensi dari penjelasan Thorndike tentang bagimana manusia belajar: bahwa pada situasi tertentu, seseorang membuat aneka respon sampai respon tersebut membimbingnya pada sebuah pemecahan/solusi (istilah Thorndike:’a satisfying state of affairs’). Bahwa selanjutnya respon tersebut dipelajari kembali, atau menurut istilah yang digunakan Thorndike ‘stamped in’. Kemudian, belajar melibatkan koneksi ‘ stamping in’ antara stimuli dan response. Karena itulah teori ini disebut dengan connectionism. Sebagian besar teori yang dikemukakan Thorndike secara khusus terkait dengan kondisi-kondisi yang mengarah pada ‘stamping ini’ atau ‘stamping out’ dari ‘bonds’ (istilah Thorndike untuk koneksi atau asosiasi). Hukum-hukum belajar Thorndike membentuk dasar teorinya mengenai bagaimana manusia belajar : 1. Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus-Respons akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons; 2. Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu; 3. Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak dilatih; 3. Operant Conditioning (B.F. Skinner), Teori ini berawal dari eksperimen yang dilakukan oleh Skinner. Dalam eksperimen tersebut, seekor tikus diletakkan dalam kotak milik Skinner, berukuran kecil, lingkungannya terkendali. Kotak Skinner (the Skinner box) dikonstruksi sedimikian rupa untuk membuat repon-respon tertentu yang berpeluang tinggi terjadinya dan untuk membuat kotak tersebut memugkinkan bagi yang melakukan eksperimen untuk mengukur respon-respon dan untuk memberi punishment atau reward. Lefrancois (2000.132) mengatakan untuk eksperimennya , kotak tersebut berisi sebuah pengungkit, sebuah tali, sebuah jaring bermuatan listrik yang terletak di lantai, dan sebuah baki makanan, semuanya diatur sedemikian rupa sehingga apabila tikus tersebut menekan pengungkit, lampu akan menyala dan sebutir makanan akan masuk kedalam baki makanan. Pada kondisi seperti itu, kebanyakan tikus akan dengan segera belajar menginjak pengungkit, dan mereka akan melakukan hal serupa selama beberapa waktu meskipun mereka tidak selalu memperolah makanan setiap kali mereka menekan pengungkit. Demikian pula, tikus-tikus tersebut dapat dengan tiba-tiba diarahkan untuk menolak pengungkit jika pada saat menekannya akan mengaktifkan arus listrik pada lantai jaring. Tetapi, tikus-tikus tadi juga akan belajar untuk menekan pengungkit untuk memadamkan arus listrik. Sebagian besar element dasar dari teori-teori Skinner terbukti dalam situasi itu. Tindakan tikus menekan pengungkit merupakan operant—prilaku yang hampir jarang terjadi yang semata-mata ditampakkan daripada dihasilkan oleh sebuah stimulus tertentu. Butiran makanan berlaku sebagai reinforcement. Keberadaan mereka sebagai sebuah hasil dari penekanan tikus terhadap pengungkit meningkatkan peluang kapanpun tikus tersebut berada dalam situasi serupa, tikus tersebut akan berjalan-jalan disekitar pengungkit dan menekannya. Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya : Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan meningkat dan Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.  Secara umum, operant conditioning meningkatkan peluang bahwa sebuah respon akan muncul kembali. Peningkatan ini merupakan sebuah hasil dari reinforcement. Selanjutnya, model Skinner mengenai operant conditioning menyatakan bahwa reward, bersama-sama dengan apakah stimuli yang dibedakan (discriminated stimulus) (SD) dimunculkan pada saat reinforcement, merupakan stimuli yang, setelah belajar, dapat menghasilkan operant. Sebagai contoh, penglihatan (dan penciumannya) tikus terhadap situasi di dalam kotaknya Skinner pada akhirnya memungkinkan berlaku sebagai stimuli untuk berperilaku menekan pengungkit. Tetapi, tegas Skinner, semua itu bukan stimuli dalam hal dimana tiupan angin di mata merupakn sebuah stimulus yang menghasilkan kedipan. Akan tetapi lebih kepada, stimuli yang dibedakan tadi semata-mata dianggap sebagai gejala dimana prilaku tertentu bisa mengarah pada reinforcement.Reber  menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer. Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.

Artikel Terkait Teori dan Aliran filsafat Pendidikan

Komentar Postingan