Kamis, 05 April 2012

Desentralisasi Pendidikan Dan Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah

Pekembangan zaman selalu menuntut terjadinya perubahan di berbagai sektor kehidupan, tak terkecuali pendidikan. Institusi pendidikan sebagai organisasi yang memiliki life Cycle (siklus kehidupan) merupakan entitas yang terus berubah. Dan perubahan tersebut bisa berujung pada kehancuran tatkala para pengelola tidak mampu beradaptasi dengan tuntutan yang ada. Sebuah organisasi dapat dikatakan sukses menuju masa depan, jika organisasi tersebut responsif dan berubah sesuai dengan tuntutan dunia sekitar (Sallis, 2006: 155). Di sinilah organisasi perlu bertindak proaktif melakukan revitalisasi dan pembaharuan secara periodik dan diuji dengan terus menerus. Kenyataan yang ada, masih banyak organisasi yang mempertahankan status quo. Struktur organisasi tradisional yang bersifat sentralistik masih banyak digunakan. Hal ini ditandai dengan kendala perdepartemen dan hirarki yang berlebihan serta prosedur yang terlalu kaku. Organisasi tradisional juga tidak mengembangkan perhatian terhadap pelanggan. Akhirnya budaya mutu sulit tercapai.
Sekolah merupakan salah satu organisasi pendidikan yang perlu mendapat perhatian serius. Model organisasinya perlu disesuaikan dengan tuntutan pelanggan dalam hal ini murid, masyarakat dan juga guru sebagai pelanggan internal. Kepala sekolah sebagai pemegang pimpinan diharapkan dapat mendorong penciptaan budaya sekolah yang menukung tercapainya tujuan bersama.
Demi mencapai sebuah budaya organisasi sekolah yang kondusif, salah satunya adalah dengan mengembangkan model organisasi sekolah desentralistik. Model organisasi tradisional dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan budaya mutu. Beberapa hal substantif yang medasari pentingnya perubahan dalam model organisasi adalah kurangnya tanggung jawab dan komitmen dari para stakeholder sekolah, hubungan kepala sekolah-guru dan guru-murid masih lemah, pemberian motivasi terhadap pelajar masih bersifat negative—banyak mengandalkan kekerasan, menganggap pelajar hanya sebagai beban dan tanggung jawab bukan sebagai aset dan perbaikan mutu masih dianggap sebagai suatu pemborosan. Pembaharuan organisasisonal tersebut merupakan cara yang paling utama dalam pengembangan mutu layanan pendidikan di sekolah. Sebab organisasi, sebagaimana dikatakan Creech (1996: 10), merupakan pilar utama yang menjadi kerangka kerja bagi semua unsur dan kegiatan yang ada. Model organisasi desentralistik dianggapnya sebagai model yang sesuai dengan konsep budaya mutu. Desentralisasi dalam pendidikan merupakan sebuah model manajemen yang sedang popular dewasa ini. Pemerintah telah mencanangkannya lewat UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah. Kebijakan ini kemudian melahirkan konsep MBS dalam pendidikan.
Dengan konsep MBS, desentralisasi pendidikan dituntut dapat menyeluruh menyentuh lapisan paling bawah. Tidak hanya dari tingkat pusat ke tingkat sekolah, namun desentralisasi diharapkan dapat tercipta dalam organisasi sekolah itu sendiri. Ada beberapa hal yang berkaitan dengan implementasi MBS  (1) Bagaimana model organisasi sekolah yang mendukung implementasi MBS, (2) Bagaimana implementasi MBS di lapangan dan (3) Apa saja permasalahan yang menghambat implementasi MBS.
Organisasi adalah pilar tengah dari lima pilar TQM yang menjadi kerangka kerja andalan bagi setiap sistem manajemen untuk mendapat hasil kerja yang efesien (Creech, 1996: 10). Robin (1994: 4) mendefinisikannya sebagai kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat dididentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama. Cara orang menyusun sebuah organisasi akan mempengaruhi semua unsur dan kegiatan yang lain. Dalam prakteknya, sebuah organisasi dapat mengunakan dua model struktur, yaitu sentralistik dan desentralistik. Pengalaman menunjukkan bahwa beberapa struktur organisasi hanya cocok untuk sistem tersentralisasi, sedangkan yang lain hanya cocok untuk sis¬tem desentralisasi. Penetapan terhadap model organisasi tersebut merupakan penentu apakah sebuah organisasi dapat melambung atau sebaliknya malah terpuruk.
Model sentralistik adalah sebuah model struktur organisasi dimana manajer puncak mengambil semua keputusan dan segala masalah dialirkan ke atas (Robins, 1994: 6). Model sentralistik sedikit bervariasi dari satu organisasi dengan organisasi lainnya. Pendekatan itu mempunyai ciri tertentu yang dijumpai dalam semua bentuk bisnis. Berdasarkan pendekatan tersebut, model struktural organisasi adalah fungsi (biasanya berorientasi secara vertikal). Manajer dari fungsi-fungsi ini memusatkan perha-tian pada input, parameter input, dan peraturan input. Setiap pekerja dalam setiap deretan fungsi ini memusatkan pada pekerjaan mereka sendiri. Dan semuanya ini dipersatukan dengan peraturan yang sesuai dengan prosedur yang ketat, dan kendali manajer yang mudah menyebar. Hasilnya adalah sentrokrasi, tidak peduli ukuran organisasinya. Adapun mengenai, ciri-ciri pendekatan sentralistik, secara rinci dapat diuraikan sebagai berikut: Prinsip-prinsip sentralisme ada di mana-mana, Setiap kegiatan dikonsolidasikan dalam skala besar, eksekutif puncak menentukan semua kebijakan, wewenang dipegang erat-erat oleh manajer, tanggung jawab kabur dan sulit dilacak, fokus pada mutu hanya sedikit dan hanya pada beberapa hal, penetapan biaya menentukan mutu, hanya sedikit dilakukan pengukuran, pembandingan dan umpan balik, produktivitas dan mutu merupakan harapan: “Kerjakan Tugas Anda”, prestasi kerja dikaitkan pada pemenuhan: Kerjakan dengan Tepat”, Sasaran manajer dan karyawan berlainan, kecurigaan dan supervisi ketat menjadi budaya, iklim ditandai dengan kekerasan dan perhatian penuh pada biaya, hanya sedikit manfaat dari perbaikan produktivitas, hubungan dengan pelanggan lemah dan tidak terpokus, peralatan motivasi menekan pada yang negatif, penyertaan hanya merupakan program membari saran, komitmen diharapkan, bukan dipelihara dan sistem manusia hanya sedikit diperhatikan (Creech,1996: 489). Penetapan Sentralisme pada input dan ketergantungan pada peraturan yang berlebihan—seperti yang tergam,bar dalam ciri-ciri di atas—dapat membuat semangat manusia tertekan. Perlakuan yang asal, terhadap faktor sistem manusia membuat orang merasa terasing dan memadam¬kan motivasi. Akibatnya, produk hasil dari struktur dan sistem yang tersentrali¬sasi secara menyedihkan tidak memadai. Hal yang menyedihkan, apa yang di¬butuhkan secara potensial ada di dalam tenaga kerja yang sama, tetap tinggal sebagai potensial.
Model desentralisasi berbeda secara radikal dari pendekatan sentralistik. Sebuah organisasi dikatakan desentralistik jika kekuasaan atau pengambilan keputusan disebar ke bawah yaitu ke manajer-manajer yang paling dekat dengan tindakan (Robins, 1994: 6). Struktur organisasi seperti ini lebih berdasarkan pada Tim bukan Fungsi. Fokus supervisi dipusatkan pada output bukan Input. Kesadaran penyelesaian pekerjaan berada pada produk bukan pada pekerja masing-masing orang. Orientasi terdesentralisasi mempengaruhi setiap aspek operasional dan interaksi sistem manajemen—bukan hanya struktur, tetapi juga semua aspek karakteristik organisasi, budaya dan iklim kerja. Adapun ciri-ciri pendekatan desentralistik secara rinci, mencakup hal-hal sebagai berikut: Prinsip-prinsip desentralisasi dijumpai di mana-mana, skala besar dipahami menimbulkan pemborosan, semua karyawan terlibat dalam kepemimpinan, wewenang didistribusikan secara luas ke seluruh organisasi, tanggung jawab tidak terpisahkan, terikat pada wewenang, mutu merupakan jalan hidup setiap saat, dalam segala hal, mutu mengurangi biaya-”Tidak bermutu tidak memberikan hasil, pengukuran, pembadingan dan umpan balik banyak digunakan di semua tingkat, produktivitas dan mutu mengalir dari komitmen: “Ikut terlibat”, prestasi kerja dikaitkan dengan pemberian wewenang: Kerjakan hal yang Tepat”, tujuan bersama memperoleh komitmen kuat dan pencapaian, menekankan budaya kewibawaan, penghargaan dan kerjasama, iklim ditandai dengan komitmen kuat demi keunggulan, sukses dirasakan bersama: Ada andil dalam hasil, fokus utama adalah setiap kebutuhan pelanggan, penyertaan dan penghargaan melahirkan motivasi, pemberian wewenang dan kepemilikan mencapai setiap orang, komitmen merupakan tujuan dari setiap kebijakan, sistem manusia merupakan batu tumpuan. Model struktur desentralistik seperti yang diuraikan di atas, akan mempermudah seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya dan membuat bawahan bebas berkreatifitas. Berdasarkan ciri-ciri di atas, organisasi desentralistik cenderung mengembangkan aspek manusia. Hal inilah yang menjadikan bawahan berusaha untuk memaksimalkan kerjanya, berdasar komitmen mereka, demi mencapai hasil yang bermutu.

Organisasi sekolah sebagai bagian dari kurikulum perlu mendapat perhatian yang serius khususnya dari masyarakat sekolah itu sendiri. Organisasi sekolah diharapkan dapat mendukung terwujudnya layanan pendidikan yang bermutu. Berdasarkan uraian di atas, maka desain organisasi yang sesuai dengan pengembangan mutu layanan sekolah adalah desain yang menekankan pada model desentralistik. Ini jualah yang melatar belakangi munculnya Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Berkenaan dengan organisasi desentralistik, kepemimpinan sekolah pun harus disesuaikan, sebab kepala sekolah mempunyai peranan kunci dalam menciptakan kondisi sekolah, terutama dalam pengembangan kurikulum sekolah itu sendiri. Disamping sebagai menajer, kepala sekolah diharapkan lebih memposisikan dirinya sebagai pemimpin seperti yang dituntut dalam organisasi desentralistik. Prinsip ini merupakan modal utama dalam membangun antusias dan komitmen para staf dan dewan guru yang dipimpinnya. Salah satu model kepemimpinan yang direkomendasikan dapat mendukung terciptanya manajemen sekolah yang efektif adalah model kepemimpinan transformasional. Model kepemimpinan ini dianggap representatif dengan tuntutan era desentralisasi sebab memiliki titik konsentrasi yang khas sesuai dengan jenis permasalahan dan mekanisme kerja yang diserahkan kepada bawahan.
Dalam sekolah yang menganut model desentralistik seorang kepala sekolah dapat berperan sebagai pemimpin yang bisa mengimplementasikan proses button-up secara demokratis, sehingga semua pihak memiliki tangung jawab terhadap keputusan yang diambil beserta pelaksanannya.
Untuk mengetahui lebih jelas tentang teori kepemimpinan transformasional, biasanya para ahli mempertentangkannya dengan kepemimpinan transaksional. Bagi Bass, kepemimpinan transformasional dan transaksional itu berbeda tapi bukan proses yang sama-sama ekslusifnya. Kepemimpinan transformasional lebih meningkatkan motivasi dan kinerja pengikut dibandingkan dengan kepemimpinan transaksional, tetapi pemimpin yang efektif menggunakan kombinasi dari kedua jenis kepemimpinan tersebut.
Karakteristik tersebut dengan lebih rinci, Masing-masing mencakup perilaku kepemimpinan sebagai berikut: a. Karisma atau Idealized Influence: Memiliki keyakinan diri yang kuat, menghadirkan diri disaat-saat sulit, memegang teguh nilai-nilai, mempunyai komitmen tinggi, Menumbuhkan rasa bangga terhadap pengikutnya, memiliki visi yang jelas, tujuan yang pasti dan tekun, b. motivasi inspirasional (Inspirational Motivation), menginspirasi karyawan mencapai kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbayangkan, menyelaraskan tujuan individu dan organisasi, memandang ancaman dan persoalan sebagai kesempatan untuk belajar dan berprestasi, menggunakan kata-kata yangg membangkitkan semangat, menampilkan visi yang menggairahkan, menantang karyawan dengan standar yg tinggi, berbicara optimis dan antusias, memberikan dukungan terhadap apa yang perlu dilakukan, memberikan makna pada apa yang dilakukan, menjadi rol model bagi karyawan, menciptakan budaya dimana kesalahan yang terjadi dipandang sebagai pengalaman belajar, menggunakan metafora menjadi mentor; c. Stimulasi intelektual (Intellectual Stimulation: mempertanyakan status quo, mendorong pemenfaatan imajinasi, mendorong penggunaan intuisi yang dipadu dengan logika, melihat perspektif baru; d. Perhatian individual (Individualized consideration :merenung, memikirkan dan mengidentifikasi kebutuhan karyawan, mengidentifikasi kemampuan karyawan, membangkitkan dan memberi kesempatan belajar, melatih dan memberikan umpan balik pengembangan diri bagi karyawannya, mendengar karyawan dengan penuh perhatian, mendelegasikan wewenang.

Desentralisasi adalah penyebaran atau pelimpahan secara meluas kekuasaan dan pembuatan keputusan ke tingkatan-tingkatan organisasi yang lebih rendah. Desentrealisasi dalam system manajemen Indonesia merupakan salah satu wujud otonomi, dimana pemerintahan pusat melimpahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah. Dalam Undang-undang NO. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, dijelaskan bahwa pemerintah daerah memilki kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan termasuk didalamnya penyelenggaraan system pendidikan, kecuali dalam kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta agama. Implikasinya, manajemen pendidikan nasional yang sebelumnya dilaksanakan secara terpusat, dikurangi konsentrasinya dan bahkan sepenuhnya diserahkan ke daerah melalui desentralisasi pendidikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Sejalan dengan desentralisasi pendidikan tersebut, lahirlah MBS sebagai bentuk pengelolaan organisasi sekolah secara desentralistik. MBS merupakan paradigma baru pendidikan yang memberikan otonomi luas pada tingkat sekolah dengan maksud agar sekolah leluasa mengelola sumber daya dan sumber dana dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan. Namun dengan diberikannya otonomi ini, sekolah tetap mengacu pada kewenangan yang didelegasikan kepada sekolah dan berpegang teguh pada tujuan MBS serta prinsip-prinsip implementasinya yang bersifat desentralistik.
Adapun wewenang daerah yang didelegasikan kepada pihak sekolah mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. Perencanaan dan Evaluasi. Sekolah diberi kewenangan untuk melakukan perencanaan sekolah sesuai dengan kebutuhannya (school-based plan). Oleh karena itu, sekolah harus melakukan analisis kebutuhan mutu dan berdasarkan hasil analisis kebutuhan mutu inilah kemudian sekolah membuat rencana peningkatan mutu. Sekolah berwenang untuk melakukan evaluasi, khususnya evaluasi yang dilakukan secara internal. Evaluasi internal dilakukan oleh warga sekolah untuk memantau proses pelaksanaan dan untuk mengevaluasi hasil program-program yang telah dilaksanakan. Evaluasi semacam ini sering disebut evaluasi diri. Evaluasi diri harus jujur dan transparan agar benar-benar dapat mengungkap informasi yang sebenarnya.
2. Pengelolaan Kurikulum dan proses pembelajaran yang dilakukan bersama-sama dengan komite sekolah, orang tua dan masyarakat. Dalam penyusunan kurikulum, sekolah dapat mengembangkan (memperdalam, memperkaya, dan memodifikasi) kurikulum, namun tidak mengurangi standar isi yang berlaku secara nasional. Selain itu, sekolah diberi kebebasan untuk mengembanhgkan kurikulum muatan lokal. Sedangkan dalam proses pembelajaran, sekolah diberi kebebasan memilih strategi, metode, dan teknik-teknik pembelajaran dan pengajaran yang paling efektif, sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, karakteristik siswa, karakteristik guru, dan kondisi nyata sumber daya yang tersedia di sekolah. Secara umum, strategi/metode/teknik pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered) lebih mampu memberdayakan pembelajaran siswa.
3. Menjamin dan mengusahakan sumberdaya (human and financial) yang mencakup dukungan untuk pengajaran dan kepemimpinan, dukungan sekolah dan lingkungan sekolah.
4. Pelayanan Siswa. Pelayanan siswa, mulai dari penerimaan siswa baru, pengembangan/pembinaan/pembimbingan, penempatan untuk melanjutkan sekolah atau untuk memasuki dunia kerja sampai pada pengurusan alumni.
5. Pengelolaan Iklim Sekolah. Iklim sekolah (fisik dan non fisik) yang kondusif-akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/espektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa (student-centered activities) adalah contoh-contoh iklim sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa.
Tujuan utama penerapan MBS pada intinya adalah untuk penyeimbangan struktur kewenangan antara sekolah, pemerintah daerah dan pusat sehingga manajemen menjadi lebih efisien. Kewenangan terhadap pembelajaran di serahkan kepada unit yang paling dekat dengan pelaksanaan proses pembelajaran itu sendiri yaitu sekolah. Disamping itu untuk memberdayakan sekolah agar sekolah dapat melayani masyarakat secara maksimal sesuai dengan keinginan masyarakat tersebut. Tujuan penerapan MBS adalah untuk memandirikan atau memberdayakan sekolah melalui kewenangan (otonomi) kepada sekolah dan mendorong sekolah untuk melakukan pengambilan keputusan secara partisipatif.

Daftar Pustaka

Creech, B. (1996). The Fife Pillars of TQM (terjemahan). Jakarta: Binarupa Aksara.
Robbins, S. P. (1994). Organization Theory: Stricture, Design and Applications (terjemahan). Jakarta: Penerbit Arcan.
Sallis, E. (1993). Total Quality Management in Education. London: Kogan Page.
Undang-undang no 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. (online). Terasedia: http://www.pu.go.id/itjen/hukum/uu32-04.htm (18 Mei 2008).
Undang-undang Republik Indonesia No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. (online).Tersedia:http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama=ProdukHukum&op=detail_hukum&id=33(18 Mei 2008).
Undang-undang Republik Indonesia No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. (online).

Artikel Terkait Kebijakan Pendidikan

Komentar Postingan