Minggu, 26 September 2010

Teologi Pendidikan

Teologi (Theologi) adalah merupakan istilah keilmuan yang berasal dari dua kata yang masing-masing memiliki arti tersendiri baik secara etimologi maupun terminology. Theologi berasal dari kata theos yang berarti Tuhan dan logos yang berarti ilmu. Jadi teologi adalah ilmu tentang ketuhanan atau pengetahuan ketuhanan mengenai sifat-sifat Allah, dasar-dasar kepercayaan kepada Allah dan agama terutama berdasarkan pada kitab-kitab suci. Teologi telah lahir digunakan dalam agama Kristen; dalam masyarakat muslim baru dikalangan intelektual muslim setelah digandakan( jumlah idlafat) teologi Islam.

Pendidikan berasal dari kata didik yang diberi imbuhan awalan dan akhiran sehingga membentuk kata benda “pendidikan”. Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Teologi pendidikan adalah lanjutan kajian ontologi mengenai konsep pendidikan berdasarkan konsep-konsep dasar pendidikan menurut ‘Tuhan’ yang terdapat dalam kitab suci. Jadi yang dimaksud adalah studi atau pemahaman ontologis ilmu pendidikan Islam berdasarkan konsep Ilahiyah yang bersumber dari Al-Quran dan Al Hadits. Beberapa pembahasan yang berkaitan dengan theologi pendidikan, (1) Masyiatullah
Dalam pembahasannya meliputi dua dimensi masyiah. Pertama masyiatillah yaitu kehendak Allah SWT yang bebas atas alam raya dan penghuninya, Dia pelaksana yang dapat memaksakan kehendakNya dan Maha Mengetahui hati manusia apakah mengarah kepadaNYa atau tidak. Masyiatul ibad yaitu kehendak hamba dimana Allah telah menganugrahkan manusia dengan kemampuannya untuk mengetahui yang haq dan yang battil.Pengetahuan itu ditanamkan Allah pada diri manusia berupa potensi untuk mengenalNya serta mengenai pengutusan para rasul, penurunan al Quran, dan lain-lain. Ayat yang dipandang mewakili untuk mendasari masyiatullah dan masyiatul ibad adalah Al-Quran S. At-Takwir : 28-29. Nilai-nilai pedagogis yang terdapat dalam pembahasan Al-Masyiah adalah a. Al-Masyiah (masyiatullah) merupakan cikal bakal pendidikan (niatnya pendidikan) Q.S. Al-Alaq 1-5, Q.S. Ar-Rahman : 4, Az-Zumar:9, Al-MUjadillah:11; b. Al-Masyiah merupakan warisan sosial (Masyiatulibad); c. Al-masyiah merupakan warisan sosial artinya masyiatulibad (tidak masyiatullah) adalah harus melalui proses pewarisan dalam hal ini melalui proses yang dilakukan pendidik kepada peserta didik. Dari warisan tersebut, maka dapat diartikan bahwa pendidikan Islami secara teologis Al-masyiah adalah ruh(core) –nya pendidikan islami yang memiliki daya dorong dalam mencapai tujuannya. Masyiatullah harus menjadi cermin bagi masyiatulibad. ; (2) Hakikat Penciptaan Manusia (khalaikul basyr), disebutkan bahwa manusia merupakan karya Allah SWT yang paling istimewa, bila dilihat dari sosok diri, serta beban dan tanggung jawab yang diamanatkan kepadanya. Manusia merupakan satu-satunya makhluk yang perbuatannya dapat mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Tuhan yang mampu menjadi (mengukir) sejarah (Q.S.5:56). Artinya: Dan barang siapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah itulah yang pasti menang. Manusia adalah puncak ciptaan dan makhluk Allah yang tertinggi dengan sebaik-baiknya bentuk. (Q.S.95:4) Artinya: sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Beribadah kepada Allah adalah perintah yang harus dijalani manusia. Sebab, hanya dengan ibadah yang dilakukan secara tulus pada Sang Pencipta itulah yang akan mengantarkannya mencapai derajat al-insan al-kamil (manusia sempurna). Kesempurnaannya merupakan potensi positif yang terletak pada aspek jasadiah dan ruhaniah. Dari sekian banyak perangkat jasadiah, terdapat tiga rangkai yang dianggap sebagai perangkat utama, yaitu: telinga, mata dan hati. Dari ketiga yang utama tersebut yang paling banyak disebut dalam al-Quran adalah “hati” dengan istilah qalbun terkadang dinamai af’idah dan shadran. Kata qalbun berikut kata jadiannya dalam Al Quaran tidak kurang disebutkan sebanyak 110 kali  walau secara ontologis tidak ada penjelasan secara eksplisit.

Ada tiga kata yang digunakan Al Quran untuk menunjuk kepada manusia, yaitu insan/nas/ins, basyar, dan bani Adam atau zuriyat Adam. Konsep al Basyr dipandang dari pendekatan biologis, konseptual insan mengacu kepada potensi yang diarahkan Allah kepada manusia berupa potensi untuk tumbuh dan berkembang baik fisikan (Q.S. 23:12-14) maupun mental spiritual (Q.S. 49:13). Konsep Bani Adam yang berarti manusia adalah spesies makhluk tersendiri yaitu keturunan Adam.
Dari konsepsi Ilahiyah (secara teologis) tersebut bahwa manusia adalah makhluk teristimewa yang penuh dengan potensi untuk dibina dan dikemnbangkan. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang memerlukan bimbingan dan bantuan secara sadar dan terencana untuk mengarahkan jalan hidupnya untuk mencapai tujuannya. Usaha tersebut adalah yang disebut dengan proses pendidikan; (3) Konsep Ibadah
Allah SWT menyuruh kepada hambaNya agar senantiasa beribadah kepadaNya. Allah SWT berfirman : Q.S. Adz-Szariyat:56. Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Karena manusia diberi tugas untuk beribadah, maka manusia dinamakan Abdullah. Seluruh makhluk yang memiliki potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah, dalam arti milik Allah. Kepemilikan Allah kepada makhluk tersebut merupakan kepemilikian mutlak dan sempurna. Dengan demikian Abd Allah tersebut tidak dapat berdiri sendiri dalam kehidupan dan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan itu. Kemudian ibadah itu sendiri berupa pengabdian yang hanya diperuntukkan kepada Allah semata. (Q.S. 12:40). Artinya: Kamu tidak menyembah yang selain Allah kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu. Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Dalam konteks konsep Abd Allah ini ternyata peran manusia harus disesuaikan dengan kedudukannya sebagai abd (hamba). Hal ini berarti bahwa manusia harus menempatkan diri sebagai yang dimiliki. Menumbuhkan kesadaran ini tidak datang serta merta, namun melalui proses bimbingan, pembinaan, dan pembiasaan bahkan mungkin latihan. Proses demikian itu tidak lain adalah proses pendidikan; proses pendidikan yang bersumber dari konsep Ilahiyah.; (4) Konsep Ma’rifat, Al Raghib Al Asfahany dalam kitabnya mu’jan mufradat Li Alfazh Al Quran menyatakan bahwa kata ma’rifat begitu pula irfan, mempunyai arti mengetahui sesuatu dengan cara tafakur dan memikirkan dampak (effect) sesuatu tersebut. Kata ini lebih khusus dan lebih mendalam artinya daripada arti kata ilmu.Ma’rifat manusia kepada Allah sebenarnya adalah memikirkan secara mendalam bekas dari pekerjaan Allah, bukan mengetahui Dzat Allah. Dikatakan pula Allah mengetahui sesuatu bukan berarti Allah mengenal sesuatu begitu saja. Kata ma’rifat digunakan pada pengetahuan yang secara khusus tercapai oleh tafakur (Al Raghib Al Asfahany:432).
Pemaknaannya makrifat adalah terletak pada tafakur. Tafakur adalah proses berpikir secara mendalam. Kalau konsepsi ma’rifat (tafakur) ini diturunkan menjadi sebuah konsepsi pendidikan, maka terdapat beberapa hal penting yang dapat diajukan yaitu : pendidikan harus berorientasi kepada suatu konsepsi berpikir yang menadalam (holistik), pendidikan harus berorientasi kepada tujuan dengan melalui proses berpikir sistematis dan holistik, pendidikan berkonsep ma’rifat harus berada pada situasi pergaulan pendidik dan peserta didik yang saling mengenal diantara keduanya maka akan semakin cepat mencapai hasil yang diharapkan oleh tujuan pendidikan tersebut.; (5) Iradatullah dan Iradatul Insan, kata iradah yang merupakan bentuk masdar dari arada-yuridu dari akar kata rawada. Dengan seluruh infleksi (tasrifan)nya, kata ini digunakan dalam Al Quran tidak kurang dari 148 kali. Dalam bentuk fi’il madli mazid yang digandengkan secara langsung dengan kata Allah, kata ini disebut sebanyak empat kali.
Q.S. 2:26. Artinya : Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?" Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik, Artinya: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Q.S. 39:4
Artinya: Kalau sekiranya Allah hendak mengambil anak, tentu Dia akan memilih apa yang dikehendaki-Nya di antara ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan-Nya. Maha Suci Allah. Dia-lah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. Dan 74:31 Artinya: Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): "Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia. Sedang dalam bentuk fiil mudlari mazid yang digandengkan langsung dengan kata Allah disebut sebanyak 10 kali, yaitu dalam .S.2:125; 3:108;176; 4:26,27,28; 5:6,49; 8:7,67; 9:55,85; 11:34; 33:33; dan 40:31. Menurut Ibn Qutaybah dan al Raghib al Asfahany akar kata rawada ini bermakna “sering (berulang-ulang), meminta (mencari) sesuatu secara halus”. Makna asal iradah menurut mereka adalah “potensi” (daya) yang terbentuk dari hasrat (syahwah), kebutuhan, dan harapan. Makna ini selanjutnya digunakan untuk kecendrungan jiwa terhadap sesuatu disertai dengan ketetapan layak-tidaknya sesuatu itu dilakukan atau tidak dilakukan. Iradatillah hanya digunakan dalam makna bahwa sesuatu itu mesti begitu atau begini seperti firmanNya Q.S. Al Ahzab:17 Artinya: Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah. Iradatul insan terkadang digunakan pada tahap permulaan (orientasi) berupa kecendrungan terhadap sesuatu;terkadang juga digunakan pada kahir berupa penetapan kemestian dilakukan atau tidak dilakukan.Uraian di atas memberikan isyarat untuk direfleksikan dalam pendidikan bahwa dalam mendidik harus dilakukan berulang-ulang. Pendidikan harus dilakukan dengan penuh kebijaksanaan. Pendidikan harus diberikan dalam rangka memenuhi hasrat, kebutuhan, dan harapan peserta didik. Pendidik harus cerdas dan menimbang-nimbang layak atau tidak layaknya bahan ajar diberikan kepada peserta didik; (6) Qudratullah dan Qudratul Insan Dalam Al Quran, lapadz qudra dirangkaikan dengan lapadz Allah secara berturut-turut sebanyak empat kali, yaitu dalam surat Al An’am: 91, Artinya: Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia". Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya) dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui (nya)?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Qur'an kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya. Q.S. Yunus:5, Artinya: Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.
Q.S. Al Hajj:74, Artinya: Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.dan Q.S. Al Zumar:67.
Artinya: Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. Keempat ayat di atas substansinya cenderung berkaitan dengan keharusan-keharusan manusia menghormati, mengagungkan, mengakui, memanfaatkan, dan mentaati ketentuan-ketentuan Allah dalam ayat-ayat qauliyah maupun ayat-ayat kauiyah. Kecendrungan maknanya bahwa Allah telah menetapkan kadar-kadarnya.
Implikasinya dalam pendidikan adalah perlunya penetapan-penetapan mulai konsep bahan ajar yang terukur sampai kepada penggunaan metode dan teknik mengajar yang tepat.
Demikian beberapa ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah sering kali mendasarkan tentang kekuasaan dan kebesaranNya. Allah menunjukkan qodratNya melalui eksistensi alam, baik dalam konteks penciptaan, pemeliharaan, dan pemberian bimbingan sehingga berjalan dalam keteraturan, serta memberi jalan kembali jika mereka tersesat. Dengan qodratNya Allah memberikan reward kepada alam (manusia) yang berprestasi dalam menjalankan hidupnya dan punishment kepada yang menyalahinya yang kemudian dibukakan pintu ampunan yang selebar-lebarnya kepada yang menyesali kesalahannya. Demikian indahnya kekuasaan Sang Maha Guru Allah Azha wajalla (the merciful creativity of God). Disinilah letak aspekteologis dalam implikasi edukatif yang seharusnya diterapkan.; (7) Takhallaqu bi Akhlaqillah Bagi muslim kemuliaan akhlak merupakan tolak ukur kesempurnaan imannya. Hadits nabi menyatakan “Orang muslim yang paling sempurna imannya ialah yang paling baik akhlaknya” (H.R. Thabrani dari Ibnu Umar). Kuatnya keimanan seseorang akan melahirkan akhlak yang mulia manakala ada upaya internalisasi nilai-nilai keimanan ke dalam jiwanya. Akhlak merupakan manifestasi perilaku dari apa yang terdapat dalam jiwa. Makanya tidak sedikit ayat Al Quran yang memerintahkan menjaga kondisi jiwa. Konsep Takhallaqu bi Akhlaqillah merupakan paradigma agung yang bisa memandu manusia dalam berakhlak. Makanya dapat dikatakan bahwa manusia harus berakhlak dengan akhlak Allah. Konsep ini mengandung muatan makna teologis yang sangat dalam.
Imam al Ghazali dalam Ihya Ullum al Din merumuskan bahwa akhlak merupaka suatu kondisi yang menetap dalam jiwa yang menimbulkan berbagai perbuatan dengan mudah tanpa membutuhkan pemikiran.
Demikian halnya Ibnu Miskawayh yang dikutip Rahmat Jatnika (1996:26) menyebutkan bahwa akhlak adalah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak membutuhkan pemikiran. Dari definisi di atas jelas bahwa akhlak merupakan sikap kepribadian yang terekspresiakan dalam bentuk tingkah laku secara murni yang mendasar kepada nilai-nilai yang mempengaruhinya. Muslim hendaknya berakhlak yang mendasar kepada nilai-nilai Islam yang bersumber Al Quran dan Al Hadits dan itulah makna Takhalaqu bi Akhlaqillah. Takhalaqu bi Akhlaqillah ini implikasinya dalam manusia (muslim) harus melalui proses pendidikan yang berorientasi pula kepada Akhlaqillah yang tersusun secara sistematis dan sekuen yang runtut dalam kurikulumnya yang dilaksanakan oleh tenaga pendidik yang konsisten terhadap Takhalaqu bi Akhlaqillah. Takhalaqu bi Akhlaqillah hendaknya menjiwai seluruh mata pelajaran yang terdapat dalam isi dan struktur kurikulum itu secara menyeluruh. Pendidikan Islam merupakan suatu sistem dan proses internalisasi dan transformasi ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan. Pendidikan yang dilaksanakan adalah pendidikan yang utuh, integral, dan universal dalam kerangka membentuk manusia muslim yang berakhlak mulia. Implikasi pedagogis dari paradigma di atas ialah bahwa pendidikan dengan berbagai komponennya harus mampu menciptakan suasana yang senantiasa mencerminkan akhlak mulia (akhlak Allah) yang dilakukan oleh para pelaku pendidikan yang berakhlak dengan akhlak Allah pula sehingga output-nya pun dipastikan berakhlak Allah pula (akhlak al karimah).; (8) Eskatologi, berasal dari kata esckalos yang berarti ‘yang terakhir’, ‘yang selanjutnya ‘, dan ‘yang paling jauh’. Secara umum eskatologi adalah merupakan ilmu pengetahuan tentang hal-hal yang akhir, yang merupakan kelanjutan dari kehidupan yaitu kematian, kebangkitan,kiamat, kehidupan akhirat.
Dalam istilah Islam, eskatologi dikenal dengan sebutan ma’ad. Eskatologi merupakan bagian dari prinsip keimanan di dalam Islam, tanpa keyakinan tentang prinsip ini maka batallah keimanan seseorang di dalam berislamnya. Namun demikian prinsip ini menjadi sebuah diskusi yang sangat panjang di dalam Islam. Panjangnya perbincangan bukan terletak pada dasar-dasar eksistensinya akan tetapi berkait dengan kajian filsafatnya. Dalam filsafat Islam perbincangan tentang eskatologi menjadi sebuah bidang tersendiri sebagai refleksi pengungkapan dimensi-dimensi metafisis dan ketuhanan yang berlandaskan pada ayat-ayat yang termaktub di dalam Al Quran. Walaupun demikian pembahasan tentang eskatologi ini mengandung perdebatan yang sangat krusial diantara pemikir-pemikir Islam. Namun demikian intinya eskatologi dalam Islam adalah pandangan kehidupan masa depan setelah kematian yang harus diyakini oleh setiap muslim yang informasi dan manifestasinya bersumber dari Al Quran. Pendidikan Islam dalam segala aspeknya harus memuat informasi eskatologi yang bersumber dari Al Quran dan Al Hadits dan mampu menjelaskan urgensinya, sehingga tertanam keyakinan yang mutlak akan adanya hari akhir tersebut yang merupakan bagian dari keimanan di dalam berislam.Aspek pedagogisnya akan berdampak pada kepribadian peserta didik yang optimistis, selalu mau berbuat baik, menghindari perbuatan jelek atau yang sia-sia, dan terhindar dari sikap potus asa atau pesimistis.

Artikel Terkait Kajian Kependidikan

Komentar Postingan