DAN TRADISI KEILMUAN DI PESANTREN SUNDA
PENDAHULUAN
Untuk memberikan latar penciptaan teks terjemahan dan teks syarah Kasidah Burdah dalam bahasa Sunda di dunia pesantren, dipandang perlu adanya uraian sekilas tentang sejarah Islamisasi di Jawa Barat (Pasundan). Hal ini didasarkan pada satu asumsi bahwa keberagamaan (religiositas) masyarakat Sunda dan kehidupan agama Islam di Jawa Barat tidak terlepas dari Islamisasi yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten pada awal abad ke-16 Masehi. Oleh karena itu, uraian sekilas tentang sejarah Islamisasi di dearah Sunda dan uraian tentang kegiatan budayanya, dipandang penting untuk mengungkap khazanah sastra keagamaan, khususnya sastra pesantren di Jawa Barat yang pada gilirannya akan diketahui sejarah tradisi lisan di pesantren, khususnya tradisi pembacaan teks selawat Nabi.
TEORI
Apabila semula budaya (“culture”) berarti penanaman (“cultivation”), maka berarti transformasi budaya dapat diterjemahkan sebagai proses pemahaman manusia. Apabila “menanam” itu berarti menumbuhkan dan mengembangkan, maka makna budaya dapat berarti menumbuhkembangkan pikiran dan hati manusia melalui, antara lain, seni dan sastra, atau melalui apresiasi warisan budaya yang diwariskan oleh generasi masa lampau yang hidup harmonis secara bersama-sama dalam kebinekaan budaya (Suryo, 2001:6-7).
Manusia selalu hidup dalam semesta budaya bahkan ia adalah pencipta budaya, termasuk di dalamnya seni, bahasa, dan sastra. Apabila budaya diartikan sebagai general text (Kristeva, 1980:36), maka seni, bahasa, dan sastra adalah bagian dari general text itu. Kehidupan seni, bahasa, dan sastra tiada lain adalah untuk mengembangkan harmoni dalam pikiran dan jiwa manusia agar dapat tercipta satu masyarakat yang bahagia lahir dan batin.
Dalam kaitan ini, kehidupan sebuah kelompok masyarakat, apalagi kalau masyarakat itu bersifat majemuk (plural), juga memerlukan harmoni, yaitu suatu keseimbangan hidup Keharmonisan hidup adalah suatu keniscayaan yang dibutuhkan oleh kelompok sosial dan budaya mana pun. Demikian juga, masyarakat Sunda, sebagai bagian dari kelompok sosial dan etnik yang ada di Nusantara, memerlukan harmoni dalam kehidupannya. Harmoni sosial dan keagamaan masyarakat Sunda, antara lain, dapat dilihat pada pandangan hidupnya sebagai manusia budaya. Dalam hal ini, perlu diuraikan terlebih dahulu pengertian budaya masyarakat Sunda agar diperoleh pemahaman yang bulat.
BUDAYA SUNDA DAN PROSES ISLAMISASI DI JAWA BARAT
Budaya Sunda adalah semua hal yang telah diungkapkan, diwujudkan, dan dilakukan oleh masyarakat Sunda selama keberadaannya sampai kini, yang merupakan ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman bersamanya. Adapun masyarakat Sunda adalah orang-orang yang berbahasa ibu Sunda. Melalui bahasa itulah nilai-nilai budaya Sunda diungkapkan (Sumardjo, 2003:297), antara lain dalam bentuk karya-karya sastra Sunda, baik yang teks asli berbahasa Sunda maupun yang teks transformasi yang berupa terjemahan. Melalui bahasa itu pulalah masyarakat Sunda dapat mentransformasi karya-karya sastra yang datang dari luar budayanya dan memproduksi karyanya sendiri. Dalam konteks ini, pandangan Julia Kristeva (1980:36) tentang budaya sebagai general text dan teks sebagai produktivitas (the text is a productivity) menjadi relevan. Artinya, karya-karya sastra Sunda yang dicipta oleh masyarakat Sunda termasuk bagian dari produksi general text itu.
Dalam kaitan ini, sambutan masyarakat Sunda – sebagai sebuah produktivitas - terhadap karya sastra asing (Arab), yang bernama Kasidah Burdah, dan kemunculan teks terjemahan serta teks syarahnya yang berbahasa Sunda di dunia pesantren dapat dipandang sebagai apresiasi warisan budaya masa lampau. Apresiasi ini juga berarti menumbuhkembangkan pikiran dan hati manusia masa lampau melalui seni, bahasa, dan sastra Sunda. Berdasarkan pemikiran di atas, sebelum uraian latar budaya dan sosial kegiatan bersastra masyarakat Sunda, berikut ini diuraikan sejarah selintas Islamisasi di Jawa Barat sebagai dasar religiositas masyarakat Sunda.
PROSES ISLAMISASI PADA MASYARAKAT SUNDA
Orang Sunda pada dasarnya religius, menyukai kesucian, ketertiban, kualitas kerohanian (Sumardjo, 2003:319), dan memperhatikan ajaran-ajaran agama dalam mengekspresikan dirinya pada kehidupan sosial dan budayanya. Orang Sunda memiliki sifat ramah, lembut hati, rasa kekeluargaan yang dalam, defensive tidak agresif, dan memiliki religiositas yang dalam pula (Sumardjo, 2003:319). Religiositas masyarakat Sunda itu tidak terlepas dari upaya Islamisasi yang dilakukan oleh ”orang suci” yang berasal dari Pasei, kota pelabuhan tua di Aceh. Hoesein Djajadiningrat dalam bukunya ”Sadjarah Banten” mengemukakan bahwa ”orang suci” itu bernama Nurullah kemudian terkenal dengan sebutan Syekh Ibnu Molana. Penulis-penulis Portugis mengenalnya dengan dua nama, Falatehan dan Tagaril, yang menurut Djajadiningrat merupakan satu nama saja (De Graaf dan Pegeaud, 1986:140).
Dalam mengikuti tradisi Jawa Barat, Nurullah melakukan ibadah haji dan sekembalinya dari Mekah (1524) ia tinggal di Demak, kemudian ia menikah dengan seorang saudara perempuan Sultan Trenggana. Tidak lama kemudian ia bertolak ke Banten dan di daerah ini, daerah Pakuan Pajajaran, ia mendirikan pemukiman bagi pengikutnya kaum Muslimin. Upaya Islamisasi itu mendapat izin dan bantuan dari Sultan Trenggana (Kartodirdjo, 1987:32-33, De Graaf dan Pegeaud, 1986:142). Pada masa Sultan Trenggana pula (1521-1546), berkat usaha dan jasa Nurullah, beberapa daerah di Jawa Barat dapat diIslamkan dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Oleh karena itu, kedatangan Nurullah merupakan suatu sumbangan yang besar artinya bagi penyebaran agama Islam selanjutnya (www.tuban-jatim.com/sunannjati.htm).
Nurullah yang disebut ”orang suci” itu kemudian terkenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Ia telah mengangkat Islam menjadi agama yang paling penting di Jawa Barat (De Graaf dan Pegeaud, 1986:139-140). Nurullah kemudian pindah ke Cirebon, sedang pemerintahan di Banten diserahkan kepada seorang putra lain, Hasanuddin (Kartodirdjo, 1987:33). Meskipun Sunan Gunung Jati telah berhasil mengislamkan beberapa daerah di Jawa Barat, namun demikian, kekuasaan tertinggi masih berada di tangan Kerajaan Demak.
Akan tetapi, setelah Sultan Trenggana wafat, Sunan Gunung Jati menyatakan memisahkan diri dari Kerajaan Demak, yaitu ketika di kerajaan ini terjadi perselisihan antara Sultan Adiwijaya dengan Arya Penangsang (www.tuban-jatim.com/sunannjati.htm). Sultan Adiwijaya alias Jaka Tingkir, menantu Sultan Trenggana, memindahkan kerajaan ke Pajang, Boyolali, dan dia menjadi raja pertama di Pajang. Dalam peperangan melawan Arya Penangsang, Sultan Adiwijaya dibantu oleh Senapati, anak Ki Ageng Pemanahan, Sultan Adiwijaya berhasil membunuh Arya Penangsang. Dengan demikian, tamatlah riwayat Kerajaan Islam Demak. Pada gilirannya, Sultan Adiwijaya dari Pajang digantikan oleh Senapati, pendiri dinasti Mataram (www.jawapalace.org/demak.html, Ras, 1990:126).
Pada akhir abad ke-15 tampaknya Cirebon diduduki oleh orang-orang yang sudah memeluk agama Islam (Ricklefs, 1992:56). Pengislaman Cirebon tidak hanya dilakukan oleh Sunan Gunung Jati, dengan nama lain Sayyid Ibrâhîm Maulânâ Maghriby, tetapi juga diperkuat oleh Sayyid Rachmat yang kemudian terkenal dengan Sunan Ngampel (Ras, 1990:126-127). Pada tahun 1513 penduduk kota Cirebon beserta kepala daerahnya telah memeluk agama Islam, juga sebagian penduduk kota pelabuhan Cimanuk Indramayu telah menjadi muslim, terutama penduduk pendatang dari arah timur (Jawa), walaupun kepala daerahnya masih menganut agama Hindu (Ekadjati, 2004:1). Pengaruh agama Islam yang meluas dari Cirebon ke tanah Sunda ternyata sangat besar. Penyebaran agama Islam dan meluasnya bahasa serta kesenian Jawa ke tanah Sunda bagian timur merupakan pengaruh Cirebon (De Graaf dan Pegeaud, 1986:143).
Penyebaran Islam ke daerah pedalaman dilakukan oleh para muballigh, dan ternyata agama Islam dapat diterima dengan relatif mudah, cepat, dan luas oleh masyarakat Sunda. Setelah dianut, agama Islam tidak dilepaskan lagi oleh umumnya orang Sunda hingga saat ini karena dasar ke-Tuhanan agama Islam (Allâhu achad) sama dengan dasar ketuhanan orang Sunda yang ”monoteis” yaitu batara tnggal. Ajaran ”monoteis”orang Sunda ini terungkap dalam ajaran Sanghiyang Siksa seperti yang tertera dalam naskah Sanghiyang Siksakandang Karesian (Ekadjati, 2004:1-2).
Setelah Islamisasi dilakukan oleh Kerajaan Cirebon di daerah Jawa Barat bagian timur, kemudian Islamisasi di Jawa Barat bagian barat dilanjutkan oleh tiga pnguasa Banten, yaitu Nurullah (Sunan Gunungjati), Hasanuddin, dan Maulana Yusuf. Sunan Gunungjati, sebagai penguasa Banten yang pertama, berhasil menggulingkan penguasa lokal, seorang vasal negara Pajajaran, yang beragama Hindu-Budha di wilayah pedalaman Sunda pada tahun 1527. Dalam hal ini, Banten diperintah oleh Sunan Gunungjati sebagai vasal Demak, tetapi keturunannya kelak membebaskan diri dari Demak (Ricklefs, 1992:56-57). Politik ekspansi wilayah kemudian diteruskan oleh penggantinya, Hasanuddin, yang berhasil menguasai Sunda Kelapa sebagai pelabuhan utama negara Pajajaran. Peristiwa ini menggagalkan usaha bangsa Portugis di bawah pimpinan Henri Leme, untuk mengadakan perjanjian dengan raja Sunda. Kemenangan Hasanuddin ini ditandai oleh penggantian nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Ekspansi Banten di bawah pimpinan Hasanuddin, juga dikenal dalam tradisi rakyat sebagai Pangeran Saba Kingking (Kartodirdjo, 1987:33-34).
Dengan ditaklukannya Jayakarta, Banten memegang peranan lebih penting dalam Islamisasi ke daerah pesisir dan pedalaman di Jawa Barat. Sebagai penguasa Banten yang kedua, Hasanuddin (1552-1570) juga memperluas kekuasaan Banten ke daerah penghasil lada, Lampung, di Sumatera Selatan yang sudah sejak lama mempunyai hubungan dengan Jawa Barat. Dengan demikian, ia telah meletakkan dasar-dasar kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada (Ricklefs, 1992:57). Hasanuddin mempunyai dua orang putra dari hasil perkawinannya (tahun 1552) dengan seorang putri Kerajaan Demak, Sultan Trenggana. Putra yang pertama bernama Maulana Yusuf dan yang kedua Pangeran Jepara. Nama yang terakhir ini disebut kemudian karena ia sebagai menantu Ratu Kalinyamat yang selanjutnya menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Jepara (Kartodirdjo, 1987:34).
Putra Hasanuddin yang pertama kemudian menjadi penguasa Banten yang dikenal dengan nama Maulana Yusuf (1570-1580). Tahun 1579 ia berhasil menaklukkan Pajajaran. Dengan jatuhnya Pajajaran, maka lenyaplah negara besar terakhir yang menganut agama Hindu-Budha di Jawa (Ricklefs, 1992:57). Sepeninggal Hasanuddin sekitar tahun 1570, Maulana Yusuf meneruskan politik ekspansinya. Daerah yang menjadi sasarannya ialah Pakuan Pajajaran. Menurut tradisi Sunda, Raja Pajajaran beserta keluarga menghilang setelah keraton jatuh ke tangan pasukan Banten (Kartodirdjo, 1987:34) dan banyak orang Sunda yang memeluk agama Islam, termasuk anggota keluarga Raja Pajajaran.
Akan tetapi, Prabu Siliwangi, sebagai Raja Pajajaran, tetap kokoh memegang agama lamanya, Hindu, dia tidak mau memeluk agama baru, Islam, tetapi dia mengizinkan putra-putranya, Walang Sungsang, Rara Santang, dan Kean Santang memeluk agama Islam (Ekadjati, 2005:5). Putra-putra Raja Pajajaran ini kemudian belajar agama Islam di Pesantren Gunung Amparan Jati, Cirebon, yang diasuh dan dipimpin oleh Syekh Datuk Kahpi (Reza, 2005:2). Syekh Datuk Kahpi ini adalah nama lain dari Sunan Gunungjati yang juga dikenal dengan nama Nurullah. Jadi, gelar Sunan Gunungjati diikuti dengan nama-nama lain yang juga dikenal dalam Sejarah Islam di Jawa dan Sunda.
Dalam Sadjarah Banten disebutkan bahwa kemenangan pasukan Banten atas Pajajaran, seperti telah diuraikan di atas, dipermudah oleh pengkhianatan seorang pegawai Raja Pajajaran. Pengkhianat ini telah membuka pintu bagi saudaranya yang memegang komando atas sebagian laskar Banten. Dari cerita itu pun dapat dinyatakan bahwa di pihak raja Banten sudah ada orang Sunda Islam yang ikut bertempur. Sesudah kota kerajaan jatuh dan raja beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam (De Graaf dan Pegeaud, 1986:153). Komunitas Islam pengikut Nurullah yang dibawa ke Banten, kemudian mereka sebagian menjadi kiai, memiliki peranan penting dalam menyebarkan Agama Islam kepada masyarakat Sunda di Jawa Barat. Para kiai ini selalu dihormati sebagai wakil Allah di dunia (Hurgronje, 1993:6). Dari masuk Islamnya bangsawan Sunda dan peranan kiai inilah, kemudian Islam menyebar ke sebagian besar lapisan masyarakat Sunda di pelosok-pelosok.
Proses Islamisasi masyarakat Sunda selanjutnya dilakukan secara individual oleh para muballigh seperti Haji Purwa di Cirebon Girang, Syekh Datuk Kahpi atau Syekh Gunung Jati di Cirebon, Syekh Quro di Karawang, Sunan Godog di Suci Garut, Syekh Arief Muhammad di Cangkuang Garut, Arya Wangsagoparana di Sagalaherang Subang, dan Pangeran Hasanuddin di Banten. Para muballigh itu, pada umumnya, adalah pendatang yang memper-kenalkan agama Islam dan mengajarkannya kepada masyarakat Sunda, kecuali Haji Purwa yang berasal dari keluarga Istana Galuh (Ekadjati, 2004:2).
Kerja keras yang dilakukan oleh para muballigh dalam menyebarkan agama Islam tersebut mengakibatkan jumlah orang Sunda yang memeluk agama Islam semakin banyak, dan daerah-daerah yang sudah diislamkan juga semakin banyak, yang pada gilirannya membutuhkan tempat pendidikan agama, terutama bagi anak-anak. Oleh karena itu, didirikanlah lembaga pendidikan agama dalam bentuk pesantren. Pesantren pertama di daerah pesisir yang didirikan di Jawa Barat adalah pesantren yang dibuka dan dipimpin oleh Sunan Gunung Jati sekitar abad ke-15 di Bukit Amparan Jati, sebuah desa sekitar lima kilometer dari kota Cirebon. Adapun pesantren pertama di daerah pedalaman adalah Pesantren Pamijahan di Tasikmalaya Selatan yang didirikan oleh Syekh Abul Muhyi sekitar abad ke-17; ia seorang ulama yang berasal dari Gresik Jawa Timur. Setelah itu, bermunculanlah pesantren-pesantren di sejumlah tempat di Tatar Sunda hingga saat ini (Ekadjati, 2004:2-3). Tatar Sunda, sebagai nama wilayah Jawa bagian barat, disebut oleh Pemerintah Kolonial Belanda menjadi West Java sejak tahun 1925, kemudian sejak tahun 1945, setelah Indonesia merdeka diubah lagi oleh Pemerintah Republik Indonesia menjadi Provinsi Jawa Barat (Ekadjati, 2005:1). Akan tetapi, istilah Tatar Sunda, sebagai sebutan untuk wilayah Sunda yang didiami oleh masyarakat Sunda di wilayah Jawa Barat, masih tetap digunakan dalam perbincangan sosial dan budaya.
Kembali ke soal sejarah kelahiran dan perkembangan pesantren di Jawa Barat, khususnya bahan-bahan ajar yang diberikan di pesantren, dapat dikatakan bahwa kitab-kitab yang dipelajari dan menjadi pegangan para santri pada umumnya berbahasa Arab dan Jawa. Kitab-kitab ini ditulis dalam aksara Arab dan aksara Pegon, serta menggunakan daluang (kertas saeh) sebagai bahan tulisnya. Pada masa itu, kitab suci Alquran masih diproduksi dengan tulisan tangan, seperti naskah Martabat Alam Tujuh, Layang Kaweruh Bab Agami Islam, Tauhid lan Doa-Doa, Kitab Saryogi, Kitab Sapinah, Fiqih-Tarikat-Petanan. Naskah-naskah ini terdapat di Keraton Kasepuhan dan Keraton Kacrebonan di Cirebon (Ekadjati, 2004:3-4).
Naskah-naskah yang berbahasa Arab dan terutama berbahasa Jawa tersebut mengisyaratkan kepada masyarakat Sunda bahwa sumber ilmu-ilmu Islam itu berasal dari Jawa. Oleh karena itu, bagi orang-orang Sunda yang bercita-cita untuk menjadi kiai, apalagi berkeinginan mendirikan pesantren, umumnya terlebih dahulu harus belajar mendalami dan memperluas ilmu agama Islam ke berbagai pesantren di Tanah Jawa. Orang-orang Sunda ini sekalian belajar bahasa dan budaya Jawa, walaupun bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Sunda. Sebagai contoh, dapat dilihat pada Pesantren Lengkong di Kuningan Jawa Barat yang terkenal sebagai pusat penyiapan para santri yang bermaksud mendalami ilmu agama Islam ke pesantren-pesantren di Jawa hingga awal abad ke-20 (Ekadjati, 2004:4).
Bahasa Jawa dibawa ke pedalaman melalui proses pengislaman, khususnya melalui ajaran agama di pesantren. Akan tetapi, pengaruh terbesar kebudayaan Jawa datang setelah masa kekuasaan Mataram menembus wilayah ini pada awal abad ke-17. Meskipun kekuasaan Mataram atas Jawa Barat telah berakhir pada tahun 1705, pengaruh kebudayaan Jawa tidak berhenti, malah meluas. Bahasa Jawa menjadi bahasa pemerintahan, bahasa serta huruf Jawa digunakan pada surat resmi. Di Sunda, aksara Jawa diubah lebih disesuaikan dengan sistem bunyi bahasa Sunda, lalu menghasilkan tulisan Sunda-Jawa yang disebut Cacarakan yang diajarkan di sekolah di Jawa Barat hingga 1950-an. Dalam naskah Sunda, dari masa ini dan setelahnya, putaran delapan-tahun Jawa (windu) sering digunakan pada pertanggalan. Misalnya, salah satu naskah Sejarah Banten diberi tanggal Senin, 26 Sya’ban tahun Ehe (Ekadjati, 1998: 31).
Munculnya pengaruh bahasa, sastra, dan budaya Jawa dalam kehidupan masyarakat Sunda berpengaruh besar terhadap kehidupan pendidikan pesantren di Jawa Barat. Misalnya, sejak abad ke-18, kehidupan bahasa dan sastra tulis Sunda pun fungsi dan perannya digantikan oleh bahasa dan sastra Jawa. Baru pada pertengahan abad ke-19, masyarakat Sunda membangkitkan kembali kegiatan berbahasa, bersastra, dan berbudayanya yang memungkinkan digunakannya kembali bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan karya sastra dan budayanya sendiri. Dampaknya adalah pada awal abad ke-20 orientasi budaya masyarakat Sunda telah kembali kepada bahasa, sastra, dan budayanya sendiri (Ekadjati, 2004:4).
Mulai saat itu, dongeng lisan, baik bentuk prosa maupun puisi, dibuat dalam bentuk naskah. Yang populer adalah dongeng tradisional seperti Manggung Kusuma, Mundinglaya di Kusuma, Mundingsari Jayamantri, Panggung Karaton, Ciung Wanara, dan Lutung Kasarung, memuat cerita tentang kerajaan Sunda masa pra-Islam. Banyak naskah Sunda dari masa ini merupakan terjemahan atau saduran dari naskah Jawa dan biasanya diakui demikian oleh sang pengarang, penerjemah atau penyalin pada pembukaan teksnya. Setelah itu, naskah Sunda didasarkan tidak hanya pada teks Jawa, tetapi juga pada teks Melayu, seperti Carita Perang Istambul (Sejarah Perang Istambul) dan Wawacan Ningrum Kusumah (Cerita Ningrum Kusumah) (Ekadjati, 1998:31).
Banyak wawacan, yaitu cerita dalam bentuk syair, muncul dalam bentuk terjemahan, saduran, dan karangan asli. Bentuk naskah berfungsi sebagai ukuran nilai kesastraannya dan wawacan dikarang bukan hanya untuk dibaca, melainkan juga untuk dinyanyikan. Hal ini dapat dilakukan, baik oleh pribadi maupun bersama-sama sebagai kelompok. Jadi, wawacan bukan hanya karya sastra melainkan bahan seni pertunjukan (Ekadjati, 1998:31).
Sejalan dengan perkembangan kedudukan, fungsi, dan peranan bahasa dan budaya Sunda itulah di lingkungan pesantren pun, sejak awal abad ke-20, bahasa Sunda dijadikan bahasa pengantar dalam kegiatan pendidikannya. Lebih dari itu, di lingkungan pesantren lahir berbagai kitab bahan ajar dan karya sastra Islam berbahasa Sunda, seperti pupujian, terjemahan Barzanjy, tafsir Alquran (nadoman), wawacan tokoh-tokoh Islam, dan sejumlah naskah Islam berbahasa Sunda lainnya. Sejak itu, banyak kitab fikih, tauhid, tafsir, tasawuf, târikh, dan bahan pelajaran lainnya yang menggunakan bahasa Sunda untuk menjelaskan maknanya (Ekadjati, 2004:5).
Berdasarkan uraian inilah tampak jelas bahwa pembacaan, pengajian, dan penerjemahan kitab Kasidah Burdah di lingkungan pesantren pada masyarakat Sunda, pada awalnya, dipengaruhi oleh tradisi pengajian kitab-kitab yang berbahasa Sunda. Selain itu, para kiai Sunda, sebagai guru yang mengajarkan kitab Kasidah Burdah, mengajarkan dan menerjemahkan bait-baitnya yang berbahasa Arab ke dalam bahasa Sunda, masih menggunakan beberapa kosakata bahasa Jawa. Hal ini membuktikan bahwa para kiai Sunda memahami bahasa Jawa setelah kurang lebih setengah abad lamanya budaya Jawa mempengaruhi bahasa, sastra, dan budaya Sunda.
Pada abad ke-17 dan ke-18, di keraton-keraton Cirebon telah berkembang kegiatan sastra yang sangat memikat perhatian. Hal itu antara lain terbukti dari kegiatan mengarang nyanyian keagamaan Islam, yang disebut suluk, yang bercorak mistik. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh rohani Sunan Gunungjati itu masih berlangsung (De Graaf dan Pegeaud, 1986:145). Islamisasi pada masyarakat Sunda banyak ditunjang dan dipelopori oleh orang dan budaya Jawa, baik pada masa Kesultanan Demak pada abad ke-15 dan 16 maupun masa Kesultanan Mataram pada abad ke-17 dan 18 (Ekadjati, 2004:3).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa tradisi nadom, yaitu menyanyikan kasidah-kasidah berbahasa Arab di lingkungan pesantren pada masyarakat Sunda, diawali oleh Sunan Gunungjati di pesantren yang dipimpin-nya, yaitu Pesantren Amparan Jati di Cirebon, dengan nyanyian keagamaan yang bernama suluk. Nyanyian suluk inilah kiranya yang menjadi cikal-bakal lahirnya teks-teks sastra pesantren, terutama dalam bentuk kasidah, yang dinyanyikan oleh para santri dalam pengajian kitab dan dalam kehidupan sehari-harinya di pesantren.
Dari uraian sejarah Islamisasi masyarakat Sunda hingga sejarah awal berdiri, perkembangan, dan munculnya tradisi nyanyian keagamaan di pesantren di Jawa Barat, dapat dikatakan bahwa Islam secara inklusif telah masuk ke dalam budaya masyarakat Sunda yang saat itu masih beragama Hindu-Budha. Dalam kaitan ini, dapat dibuktikan bahwa masyarakat Sunda bersifat inklusif dalam perilaku agama dan budayanya. Sebagai ilustrasi, jika ada kegiatan budaya yang dilakukan oleh masyarakat Sunda, pada hakikatnya kegiatan itu adalah pengamalan ajaran agama Islam. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa ajaran agama Islam telah diinternalisasikan ke dalam budaya Sunda.
SEJARAH DAN TRADISI KEILMUAN DI PESANTREN
Kasidah Burdah adalah karya sastra Arab yang mendapat sambutan besar masyarakat pesantren di Jawa Barat berupa transformasi teksnya dalam bahasa Sunda. Hal ini menunjukkan bahwa teks transformasi Kasidah Burdah dapat dipandang sebagai fakta sastra dan fakta sosial masyarakat Sunda, yang pada gilirannya membuktikan adanya kegiatan sastra keagamaan pada masyarakat pesantren di Jawa Barat. Kasidah Burdah sebagai karya sastra keagamaan, yang tertulis dalam bahasa Arab, telah menjadi bagian dari khazanah sastra di Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Tulisan keagamaan berbahasa Arab berperan penting dalam kebudayaan Indonesia (Johns, 2002:20), termasuk kebudayaan daerah, khususnya kebudayaan Sunda, dalam memperkaya khazanah kebudayaan nasional Indonesia.
Untuk melihat secara utuh tradisi kehidupan pesantren, berikut ini disajikan uraian mengenai sejarah kelahiran pesantren di Indonesia dan tradisi keilmuannya. Dalam perspektif kehidupan sastra di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, uraian ini dipandang penting untuk memberi dasar pijakan analisis terhadap Kasidah Burdah sebagai karya sastra Arab, yang bernafaskan agama Islam, yang mengalami transformasi tekstual dan reproduksi naskahnya.
Islam adalah agama samawi, yang secara sosiologis, dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia yang majemuk. Dengan memakai kriteria apa pun kenyataan objektif telah terbukti bahwa umat Islam adalah mayoritas penduduk dan warga negara Indonesia. Umat Islam bukan saja mayoritas dalam hitungan demografis pada tingkat nasional, tetapi juga pada tingkat lokal. Kecuali beberapa enclaves, kantong-kantong non-Islam, di Sumatera Utara, Sulawesi Utara, Bali, dan beberapa pulau di Indonesia bagian Timur, boleh dikatakan sebagian besar wilayah administratif Republik Indonesia didiami oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam (Abdullah dan Hisyam, 2003:1). Sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas warga negara, posisi agama Islam membawa sejumlah implikasi agama dan sosial-budaya dalam kehidupan masyarakat yang majemuk. Implikasi agama dan sosial-budaya berpengaruh pada apresiasi dan resepsi masyarakat terhadap ajaran-ajaran Islam yang dipahami, dipelajari, dan diamalkan oleh umat Islam Indonesia dengan berbagai macam pemahaman. Oleh karena itu, berdasarkan kemaje-mukan dan keanekaragaman pemahaman tersebut, tidak heran apabila Islam yang muncul di Indonesia, baik sebagai ajaran maupun sebagai realitas sosial, tampak bermacam-macam pula dalam perilaku keagamaan dan kemasyarakat-an bangsa Indonesia.
Dalam memahami dan mempelajari ajaran Islam itu, umat Islam melakukannya dengan berbagai macam sarana, antara lain melalui sarana pen-didikan. Dalam operasionalnya, sarana pendidikan tidak akan berjalan dengan baik apabila tidak diberi wadah, maka wadah pendidikan Islam khas Indonesia adalah pesantren.
Pada hakikatnya, pesantren sudah mengakar dalam budaya bangsa Indonesia. Sistem pendidikan khas Indonesia yang sudah dikenal oleh masyarakat adalah model pendidikan pesantren dan model pendidikan pawiyatan yang kemudian di Jawa dikembangkan oleh Taman Siswa, sedangkan dalam tradisi pendidikan Sunda, nama pesantren identik dengan kabuyutan, yaitu daerah keagamaan. Kabuyutan ini memiliki ciri-ciri mirip pendidikan pesantren, yaitu menempati lokasi tertentu yang terpisah dari pergaulan masyarakat luas, pola hidup penghuninya mandiri, otoritas guru dominan, dan penggunaan naskah sebagai sarana bahan ajar (Ekadjati, 2005:2, 2004:3). Untuk kepentingan penelitian ini, model pendidikan tertua khas Indonesia yang akan dibahas adalah pesantren, sedangkan penyebutan istilah pawiyatan (Jawa) dan kabuyutan (Sunda) sekedar untuk menyatakan bahwa ketiga istilah lembaga pendidikan khas Indonesia itu memiliki kesamaan dari keasliannya sebagai produk budaya Indonesia.
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian, atau disebut tafaqquh fiddîn, dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat. Pesantren telah hidup sejak 300-400 tahun yang lampau, menjangkau hampir seluruh lapisan masyarakat muslim (Mastuhu, 1994:3). Asal usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad ke-15 dan ke-16 Masehi di Jawa. Sebagai sebuah sistem pendidikan tertua khas Indonesia yang eksistensinya telah teruji oleh sejarah dan berlangsung hingga kini (Azizy, 2002:vii), pesantren merupakan lembaga pendidikan dan fenomena kultural yang unik (Ismail, 2002:xi). Keunikan pesantren terlihat pada sistem pendidikannya yang mengedepankan pendidikan agama dan moral.
Lembaga pendidikan ini telah berkembang, khususnya di Jawa selama berabad-abad. Maulana Malik Ibrahim (wafat di Gresik Jawa Timur pada tahun 1419 Masehi), sebagai spiritual father Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di tanah Jawa. Ppesantren-pesantren tua dan besar di luar Jawa juga memperoleh inspirasi dari ajaran Walisongo (Mas'ud, 2002:3).
Untuk lebih memahami pesantren sebagai lembaga pendidikan dan penyebar Islam, perlu diketahui peran Maulana Malik Ibrahim dan Walisongo dalam mentransmisikan pesantren di kalangan masyarakat muslim. Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, seorang ahli mengatur negara, dakwah di Jawa Timur, dan wafat di Gresik pada tahun 1419. Adapun Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa pada abad ke-15 dan ke-16 Masehi yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam kepada masyarakat. Mereka adalah : (i) Sunan Ampel, (ii) Sunan Bonang, (iii) Sunan Kalijaga, (iv) Sunan Drajat, (v) (vii) Sunan Giri, (vii) Sunan Kudus, (iii) Sunan Muria, dan (ix) Sunan Gunung Djati (Mas'ud, 2002:4).
Raden Rahmat Ali Rahmatullah, yang terkenal dengan gelar Sunan Ampel, berasal dari Cempa Muangthai Selatan, ia datang ke Surabaya pada tahun 1421, kemudian ia menggantikan Maulana Malik Ibrahim. Sayyid Ja’far Shadiq, yang terkenal dengan gelar Sunan Kudus (Sunan Undung), berasal dari Palestina, ia datang ke Kudus pada tahun 1436 dan tinggal di daerah itu. Syekh Maulana ’Ainul-Yaqin, yang terkenal dengan gelar Sunan Giri, adalah putra Syekh Maulana Ishaq yang berasal dari Blambangan. Raden Said, yang terkenal dengan gelar Sunan Kalijaga, adalah putra Adipati Tuban yang menggantikan Syekh Subakir yang kembali ke Persia. Raden Makdum Ibrahim, yang terkenal dengan gelar Sunan Bonang, adalah kelahiran Ampel, putra Sunan Ampel yang menggantikan Hasanuddin yang wafat. Raden Qasim, yang terkenal dengan gelar Sunan Drajad, adalah kelahiran Ampel yang juga putra Sunan Ampel yang menggantikan Aliyuddin yang wafat. Raden Umar Said, yang terkenal dengan gelar Sunan Muria, adalah putra Sunan Kalijaga yang menggantikan wali yang sudah wafat. Fathullah Khan atau juga disebut Falatehan, yang terkenal dengan gelar Sunan Gunungjati (Sunan Cerbon), adalah berasal dari Pasei, Aceh, yang menggantikan al-Maghrabi yang wafat. (www.jawapalace.org/sejarah.html, Ras, 1990:128).
Dalam kaitan dengan peran Walisongo sebagai pencipta tradisi pesantren, Mas'ud (2002:8) lebih jauh mengatakan bahwa pendekatan dan sifat bijak Walisongo tampak melembaga dalam satu esensi budaya pesantren dengan kesinambungan ideologis dan kesejarahannya. Kesinambungan ini tercermin dalam hubungan filosofis dan keagamaan antara taqlid dan modeling bagi masyarakat santri. Melalui konsep modeling, keagungan Nabi Muhammad saw dan kharisma Walisongo, yang dipersonifikasikan oleh para wali dan kiai, telah terjunjung tinggi dari masa ke masa. Melalui modeling inilah, tampaknya, gagasan pesantren sederhana yang diperkenalkan oleh Maulana Malik Ibrahim mampu hidup dan berkembang dari abad ke abad sampai kini.
Sejarah pendirian pesantren yang dilakukan oleh Maulana Malik Ibrahim dapat dilihat pada strateginya dalam merebut simpati masyarakat dan citra dirinya sebagai tokoh panutan masyarakat. Tradisi awal pesantren dapat dilihat pada siang hari, misalnya, sang guru (kiai) membawa para anak didik (santri) ke sawah, pada malam hari, sang guru mengajarkan kepada mereka ilmu-ilmu dasar seperti membaca Alquran (Mas'ud, 2002:8). Hubungan santri dengan masyarakat sekitar pesantren juga tampak erat. Hal ini dapat dilihat pada kegiatan menanam dan mengetam padi, pada upacara kematian, dan pada bulan puasa. Selain itu, pesantren juga memiliki peran dalam memper¬satukan anak didik yang datang dari segala lapisan masyarakat (bdk. Kartamihardja, 1986:61).
Dalam hal ini, Walisongo dipandang berhasil melakukan transformasi sistem kepercayaan lama (dalam bentuk agama Jawa) ke dalam budaya Islam yang tercermin pada tradisi pesantren. Berdasarkan pemikiran di atas dapat dikatakan bahwa pesantren adalah hasil rekayasa umat Islam Indonesia yang mengembangkannya dari sistem pendidikan agama Jawa (Djamari, 1985:51-52). Agama Jawa (abad ke-8-ke-9 Masehi) merupakan perpaduan antara kepercayaan Animisme, Hinduisme, dan Budhisme. Di bawah pengaruh Islam, sistem pendidikan tersebut diambil alih dengan mengganti nilai ajarannya menjadi nilai ajaran Islam (Mastuhu, 1994:3). Sejak akhir abad ke-15 Masehi, Islam telah menggantikan Hinduisme, dan pada abad ke-16 Masehi dengan munculnya kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam, penduduk Jawa telah dapat diislamkan (Dhofier, 1982:8).
Menurut Mastuhu (1994:3), model pendidikan agama Jawa itu disebut pawiyatan, berbentuk asrama dengan rumah guru yang disebut ki ajar di tengah-tengahnya. Ki ajar dan cantrik atau murid hidup bersama dalam satu kampus. Hubungan mereka sangat erat, siang dan malam selama 24 jam. Pengajarannya meliputi ilmu-ilmu filsafat, alam, seni, sastra, dan diberikan secara terpadu dengan pendidikan agama dan moral. Model pendidikan pawiyatan itu ternyata juga dikembangkan oleh Taman Siswa dengan menekankan pentingnya hidup berasrama antara guru dan siswa. Dalam kaitan ini, istilah pesantren dan taman siswa menunjukkan orientasi yang sama, yaitu pentingnya murid dalam suatu lembaga pendidikan. Akan tetapi, tidak semua pendidikan Taman Siswa memiliki asrama; berbeda dengan pesantren yang selalu memiliki asrama sebagai salah satu ciri esensialnya (Mastuhu, 1994:3-4).
Jadi, dapat dikatakan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tertua khas Indonesia yang dilahirkan oleh umat Islam, yang embrionya diambil dari khazanah budaya bangsa. Dalam konteks ini, pesantren menjadi antitesa dari sistem pendidikan agama Jawa yang dalam perjalanan sejarahnya mengalami perubahan dan penyesuaian dengan agama Islam.
Selanjutnya, sistem pendidikan pesantren dalam semesta pendidikan Islam di Indonesia selalu disandingkan dengan sistem pendidikan madrasah. Dalam pendidikan pesantren, selalu melekat sebutan tradisional karena sebagian besar pesantren hanya mengajarkan pelajaran-pelajaran keakhiratan saja, sementara ilmu-ilmu keduniaan belum diajarkan secara sungguh-sungguh. Istilah madrasah merupakan ismul-makân atau nomen locativum (nama tempat), berasal dari kata Arab darasa yang bermakna tempat orang belajar. Dari akar makna tersebut kemudian berkembang menjadi istilah yang kita pahami sebagai tempat pendidikan, khususnya yang bernuansa agama Islam (Huda, 2002:211) atau tempat belajar agama Islam, antara lain mengajar anak-anak mengaji dan membahas kitab Jawi untuk kelas anak-anak dan dewasa (Abdullah, 2005:3).
Hal yang menarik dari istilah madrasah ini adalah ketika Islam mengalami masa kejayaan pada masa Daulah Abbasiyah, istilah itu digunakan untuk lembaga pendidikan tinggi, misalnya Madrasah Nidzâmiyyah yang dibangun di Baghdad pada tahun 1065-1607 Masehi (Armstrong, 2002:xxiii) yang menyelenggarakan kajian-kajian ilmiah dan mendalam tentang berbagai madzhab, dilakukan oleh orang-orang dewasa dengan bekal kemampuan yang memadai. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, istilah madrasah pada masa sekarang, khususnya di Indonesia, digunakan untuk suatu nama lembaga pendidikan tingkat dasar dan menengah yang diikuti oleh anak-anak dan remaja yang relatif belum didukung dengan bekal ilmu yang mantap (Huda, 2002:218-219).
Lembaga pendidikan berbentuk madrasah tersebut, dalam perjalanan sejarah pendidikan Islam Indonesia, menjadi pelengkap bagi sistem pendidikan pesantren. Pesantren itu sendiri mengalami modernisasi dalam segala bidang, khususnya dalam sistem pendidikannya. Dalam hal ini, tidak sedikit pesantren yang menyempurnakan corak pendidikannya dengan sistem madrasah sebagai jawaban terhadap kebutuhan pendidikan ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu pengetahuan umum. Madrasah, dalam pengertian modern, adalah lembaga pendidikan formal yang mengajarkan ilmu-ilmu dasar agama Islam sekaligus dengan ilmu-ilmu pengetahuan umum secara sistematik dan berjenjang. Dalam struktur kelembagaannya, karena keformalannya, madrasah biasanya dapat berdiri sendiri tanpa harus berada di bawah pesantren dan tidak mesti di bawah kepemimpinan kiai, tetapi madrasah juga dapat ditempatkan dalam lingkungan pendidikan pesantren sebagai pelengkap.
Tradisi pesantren mengutamakan sistem pendidikannya pada tiga hal utama, pertama, penguatan hubungan vertikal dengan Allah swt (chablun minal-Llâh). Kedua, pemupukan ajaran moral berupa penanaman nilai-nilai kehidupan yang dapat menciptakan harmoni sosial dalam pergaulan antarsesama umat manusia (chablun minan-nâs). Ketiga, menuntut ilmu (thalabul-'ilmi) karena Allah swt (lil-Lâhi ta'âlâ).
Hal yang pertama berkaitan dengan sikap hidup masyarakat pesantren yang selalu melihat ke "Atas", yaitu Allah swt sebagai sumber dari segala sumber kehidupan di dunia dan akhirat. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia sudah diatur berdasarkan konsep takdir Allah yang mutlak. Dalam hal ini, manusia harus pasrah menerima takdir-Nya yang baik dan buruk. Untuk menghadapi kehidupan manusia, dengan segala kemungkinan takdir Allah yang diterimanya, harus berdasarkan takwa dan taat. Dengan takwa dan taat kepada Allah itu, manusia akan memperoleh keberuntungan dan derajat yang mulia (ar-rabchu wal-fauzu fid-darajât) (al-Ghazâly, t.t.:7), yaitu kedudukan yang tinggi dengan bertambahnya kebaikan pada diri manusia itu (Nawawy al-Jâwy, t.t.:9).
Hal yang kedua berhubungan dengan nilai-nilai kehidupan yang tumbuh dan berkembang di pesantren adalah persaudaraan (ukhuwwah), saling menolong (ta`âwun), persatuan (ittichâd), sederhana (basathâh), ikhlas, jihad, dan taat kepada Tuhan, Rasul, ulama sebagai pewaris Nabi, dan kepada orang yang diakui sebagai pemimin (bdk. Rahardjo, 1988:9). Nilai-nilai kehidupan ini sangat dipengaruhi oleh pandangan fikih-sufistik al-Ghazâly yang menekankan kehidupan manusia itu harus bersandar pada mengagungkan Allah (ta'dzîmullah), yaitu dengan ikhlas, niat yang bersih, dan amal yang baik (bdk. al-Ghazâly, t.t.:8).
Hal yang ketiga berkaitan dengan sistem pendidikan pesantren yang memandang semangat mencari ilmu (thalabul-'ilmi) sebagai panggilan Ilahi dan Rasul-Nya, dan sebagai perwujudan ketaatan santri kepada guru atau kiainya. Ketiga hal tersebut mewarnai secara dominan kehidupan pesantren sehingga melahirkan tradisi pesantren yang kuat, yang ditandai dengan prinsip utama, yaitu kiai dan santri selalu memandang Allah swt sebagai al-Khâliq (Pencipta) yang wajib ditaati seluruh perintah-Nya, dan wajib dijauhi segala larangan-Nya.
Prinsip tersebut menandakan adanya filosofi hidup pesantren yang (i) selalu memandang ke "Atas", yaitu Tuhan sebagai penentu segala kehidupan dunia dan akhirat, (ii) kiai dan santri selalu memandang kehidupan di dunia harus selalu didasarkan pada moralitas yang baik sehingga mampu menciptakan masyarakat yang berkeseimbangan (tawâzun), tenang (sakînah), penuh cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah), (iii) kiai dan santri memandang ajaran menuntut ilmu merupakan perintah Allah dan Rasul-Nya yang wajib diamalkan oleh umat manusia. Lebih jauh lagi, menurut Hadis Nabi, yang diriwiyatkan oleh Ibnu Abdil-Bâr dari Ali Ibn Abi Thâlib, bahwasanya Nabi bersabda : “Carilah ilmu sampai ke negeri Cina karena sesungguhnya mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim laki-laki dan perempuan” (as-Samarqandy t.t.:3). Tempat yang dipandang paling cocok untuk mencari ilmu itu, menurut keyakinan kiai dan santri, adalah pesantren.
Berikut ini dibahas sistem pendidikan khas pesantren yang pada gilirannya nanti akan sampai pada pemahaman tentang budaya pesantren yang mencakup sistem pendidikan dan sumber daya manusia pesantren. Sistem pendidikan pesantren bertumpu pada metode pengajaran yang bertingkat-tingkat dengan sistem lingka¬ran (halaqah). Metode pengajaran ini disebut sistem salaf, menurut pengertian teknis, yaitu metode mengajar secara tradisional dengan sistem soro-gan, bandongan, wetonan, dan balagan (Wahid, 2001:55, Maoshul, 2005).
Sorogan adalah cara belajar santri kepada kiai atau guru yang dilaksanakan secara orang per orang, yaitu dengan menyodorkan sebuah kitab untuk dibaca di hadapan kiai, atau bisa juga disebut bimbingan individual (Ali, 1987:19, Kuntowijoyo,1991:252). Bandongan adalah cara belajar santri kepada kiai atau guru yang dilaksanakan secara bersama-sama, atau bisa disebut semacam ceramah umum (bdk. Kuntowijoyo, 1991:252). Wetonan adalah bentuk pengajian yang diberikan oleh kiai kepada santri yang diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu, atau juga sering disebut majelis ta'¬lim, yaitu pengajian yang bersifat pendidikan kepada umum (bdk. Kuntowijoyo, 1991:255). Balagan adalah bentuk pengajian kitab tertentu yang dikhususkan pada pembacaan dan pemahaman secara menyeluruh terhadap semua substansi pada kitab tersebut, yang pelaksanaannya di bawah bimbingan langsung kiai (Hielmy, 2005).
Ciri utama metode sorogan dan bandongan adalah penangkapan harfiah atas suatu kitab dengan teknik membaca kitab tertentu, kemudian dilanjutkan dengan membaca kitab lain (Wahid, 1973:73). Dalam metode wetonan, sebuah kitab dibaca oleh kiai pada waktu tertentu kemudian santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai itu, tetapi tidak dapat diketahui kemampuan santri dalam memahami kitab tersebut karena tidak ada ujian, dan santri dibebaskan untuk belajar dan untuk tidak belajar (Ali, 1987:19). Dalam metode balagan, sebuah kitab harus tuntas dikaji oleh setiap santri dalam waktu tertentu dan tidak boleh ada satu substansi pun yang luput dari pembahasan (Hielmy, 2005).
Eksistensi pesantren tidak dapat dipisahkan dari sumber daya manusia yang menjaga kelestariannya, menghidupkan organisasinya, dan mengembangkan sistem pendidikannya. Sumber daya manusia pesantren yang paling dominan adalah kiai dan santri. Kiai dan santri inilah yang menjadi komponen utama masyarakat pesantren, yang menjadi subjek pemelihara, penjaga, pelaku, dan pengembang tradisi pesantren.
Dalam terminologi pesantren, gelar kiai diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier, 1982:55). Kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan oleh kiai dan guru-guru kepada para santri, antara lain, ilmu-ilmu tasawuf, tauhid, fiqih, ushul fiqih, hadis, tafsir, târikh, etika, semantik, stilistika, dan gramatika Arab (Dhofier, 1982:50-51).
Untuk mengetahui pandangan dunia (world view) kiai, dapat dilihat pada filsafat hidupnya yang mengutamakan ketaatan ibadah kepada Allah swt, hidup sederhana, ikhlas, rendah hati, suka menolong, dan mencintai sesama umat manusia. Dalam konteks agama dan sosial-budaya, kiai dapat dipandang sebagai orang yang beraklak mulia, memiliki dan memimpin pesantren, menguasai ilmu-ilmu agama Islam, dan mengajarkan ilmu yang dimilikinya itu kepada para santrinya.
Seperti telah dikemukakan di atas bahwa sumber daya manusia pesantren adalah kiai dan santri yang dipandang sebagai penjaga tata nilai pesantren. Sumber daya manusia pesantren ini dituntut untuk memelihara tata nilai pesantren yang lebih mengutamakan beribadah kepada Allah swt dalam rangka pengabdian dan pemuliaan terhadap guru sebagai jalan untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki. Khusus bagi santri, syarat untuk memperoleh pengetahuan agama yang hakiki itu adalah taat kepada guru (kiai). Adapun bagi kiai, yang dalam posisi tertentu dia juga berkedudukan sebagai santri bagi kiai di atasnya, syarat untuk memiliki ilmu yang bermanfaat dan mendapat berkah Allah swt juga dengan menunjukkan ketaatan kepada kiai di atasnya yang menjadi guru atau mursyidnya. Ketaatan kepada guru merupakan hal yang esensial dalam kehidu¬pan pesantren (bdk. Kartodirdjo, 1984:223). Di seputar ketaatan kepada guru inilah dilaksanakan kegiatan-kegiatan, seperti bertirakat dalam usaha untuk mencapai keluhuran budi dan jiwa, keikhlasan untuk mengerjakan apa saja bagi kepentingan guru (Wahid, 1973:73-74).
Filosofi kehidupan pesantren seperti yang disebutkan di atas, membawa implikasi luas terhadap peran kiai dalam kehidupan kemasyarakatan dan kepesantrenan. Dalam kehidupan kemasyarakatan, peranan kiai dapat dilihat pada kedudukannya sebagai ulama yang berfungsi melayani kehidupan rohani umat, baik dalam bentuk nasihat-nasihat keagamaan yang bersifat kehidupan keseharian maupun dalam bentuk fatwa-fatwa hukum. Dalam hal ini, kiai dipandang sebagai orang yang pengetahuan agamanya mendalam dan cara hidupnya dipercayai serta dihormati oleh masyarakat (Steenbrink, 1984:160).
Dalam kehidupan kepesantrenan, peran kiai terlihat dominan dalam proses pengajian kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Artinya, kiai memegang peranan penting dalam mentransmisikan (menciptakan) teks-teks keagamaan, khususnya teks-teks sastra yang terkandung dalam kitab-kitab tersebut. Di antara kitab-kitab yang diajarkan oleh kiai itu adalah kitab-kitab keagamaan yang bercorak sastra, seperti Barzanjy, al-Maulidud-Dibâ`îy, dan Kasidah Burdah, bahkan ketiga kitab itu di pesantren tidak hanya disambut dengan tradisi tulisan, tetapi disambut dengan tradisi lisan. Para santri melantunkan bait-bait puisi selawat kepada Nabi Muhammad saw, terutama dari kitab Barzanjy atau Kasidah Burdah pada setiap malam Jumat (Romli, 2002). Sambutan masyarakat pesantren terhadap karya keagamaan, terutama kitab yang bercorak sastra, khususnya kitab puji-pujian kepada Nabi yang berbentuk puisi, didasarkan pada Hadis Nabi yang berbunyi "sesungguhnya di dalam puisi itu ada hikmah" (ad-Damanhûry, t.t.:3). Hadis ini mendasari keyakinan masyarakat pesantren dalam membaca puisi-puisi keagamaan yang diyakini akan mendatangkan hikmah.
Selain kiai yang menjadi tokoh utama pesantren, juga ada santri yang berperan sebagai "tokoh bawahan" pesantren. Kita sulit mengatakan kalau ada kiai tanpa santri yang menjadi muridnya. Sebaliknya, tidak bisa dibayangkan kalau ada orang yang mengaku santri kalau dalam kehidupan kepesantrenannya tanpa ada kiai yang mendidiknya. Jadi, dalam pembicaraan ini dipandang penting untuk mengetahui arti dan peran santri dalam tradisi pesantren. Menurut pengertian yang dipakai dalam lingkungan orang-orang pesantren, seorang alim hanya bisa disebut kiai bilamana memiliki pesantren dan santri yang tinggal dalam pesantren tersebut untuk mempelajari kitab-kitab Islam klasik. Oleh karena itu, santri merupakan elemen penting dalam suatu lembaga pesantren (Dhofier, 1982:51).
Dilihat dari segi menetap dan tidak menetap, santri dikategorikan menjadi santri mukim dan santri kalong. Santri mukim adalah yang belajar di pesantren dengan cara menetap di dalam pondok atau asrama pesantren, sedangkan santri kalong adalah yang belajar di pesantren tetapi tidak menetap di dalam pondok atau asrama. Dipandang dari sudut keilmuan, santri dikategorikan menjadi santri senior dan santri yunior. Disebut senior karena santri itu telah lama belajar kepada kiai, mampu membaca, menghafal, dan memberikan pengajian kitab kepada santri yunior, serta dipercaya oleh kiai. Santri senior inilah yang sering menjadi badal (pengganti) atau juga disebut wakil kiai dalam berbagai kegiatan ketika kiai berhalangan hadir. Dalam tradisi penulisan kitab di pesantren, badal sering berperan sebagai katib (penulis) kitab yang dibacakan dan diajarkan oleh kiai (Manshur, 2004). Badal ini biasanya akan menjadi kiai di suatu pesantren (Indra, 2003:151). Adapun santri yunior sering dikategorikan sebagai murid yang belum lama belajarnya kepada kiai; belum begitu mahir membaca kitab, belum banyak hafalan kitab-kitab tertentu, tetapi mereka secara perlahan-lahan disiapkan menjadi santri senior.
Hal yang menarik dari istilah dan sebutan santri adalah kata itu bukan berasal dari terminologi Islam padahal santri adalah orang yang belajar agama Islam. Dalam hal ini, dapat dilihat pandangan Zaini Muchtarom (1988) tentang asal usul kata santri yang dipakai dalam dunia pendidikan Islam. Istilah santri yang mula-mula dan biasanya dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam, merupakan perubahan bentuk terhadap kata India shãstri, yang berarti orang yang mengetahui dan memahami kitab-kitab suci (Hindu). Adapun kata shãstri diturunkan dari kata shãstra yang berarti kitab suci, atau karya keagamaan atau ilmiah (Muchtarom, 1988:6). Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa santri adalah orang yang belajar agama Islam kepada orang yang berpengetahuan luas tentang agama. Santri adalah manusia salih yang senantiasa beribadah dengan sungguh-sungguh (Moeliono, 1987:783; Poerwadarminta, 1976:-870).
Sama seperti dalam bahasa Jawa dan Sunda, orang salih yang pengetahuan agamanya mendalam disebut santri, sebagaimana orang Melayu menyebut senteri bagi murid sekolah agama Islam (Gonda, 1952:234). Senada dengan pendapat Zaini Muchtarom, menurut Gonda (1952:235), etimologi kata santri berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Çastrin yang berarti orang yang benar-benar mengetahui ilmu pengetahuan atau orang yang terpelajar. Orang-orang Sinhala menyebutnya sata yang berarti orang yang mengetahui, sedangkan orang Tamil menyebutnya sattarin atau sattri yang dalam bahasa Jawa kuna berarti orang yang melakukan pengorbanan besar dan senantiasa mengerjakan kebajikan (Gonda, 1952: 235). Jadi, kata pesantren, yang diturunkan dari kata santri dengan dibubuhi awalan pe- dan akhiran –an, berarti sebuah pusat pendidikan Islam di Jawa. Guru pesantren disebut kiai, yaitu orang tua terhormat atau guru agama yang mandiri dan berwibawa (Muchtarom, 1988:6).
Berdasarkan pemikiran di atas dapat dikatakan bahwa peranan Walisongo dalam penyebaran agama Islam dan pemunculan embrio pesantren di Jawa (melalui Maulana Malik Ibrahim), sebagai wadah pendidikan Islam, cukup dominan. Dalam perjalanan sejarah, agama Islam disebarkan di Indonesia, antara lain melalui pendidikan, dan pendidikan Islam khas Indonesia yang paling tua adalah pesantren. Sebagai wadah, pesantren sudah tentu memiliki komponen-komponennya, yaitu kiai dan santri. Melalui kiai dan santri inilah ajaran-ajaran Islam, di samping disebarkan, juga diajarkan kepada masyarakat dengan berbagai pendekatan, baik sosial-budaya maupun ekonomi dan politik. Penyebaran dan pengajaran ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh kiai dan santri itu lebih dominan melalui jalur agama dan budaya.
Melalui jalur agama, ajaran-ajaran Islam yang terkandung dalam kitab-kitab (yang bercorak klasik dan berbahasa Arab), seperti fikih, tafsir, hadis, tarikh, tasawuf, adab (sastra) diajarkan oleh kiai kepada santri dan masyarakat sekitar pesantren, kemudian santri itu mengajarkannya kembali kepada masyarakat yang lebih luas. Melalui jalur budaya, ajaran-ajaran Islam disampaikan oleh kiai dan santri dengan berbagai kegiatan kemasyarakatan yang bernuansa agama, seperti tahlilan, Deba’an, Barzanjenan, Maulid Nabi, Isra Mi’raj Nabi, bulan Ramadhan, dan sebagainya. Kegiatan kiai menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada santri dan masyarakat sekitar melalui kitab-kitab Islam klasik tersebut, dengan berbagai pendekatan, disebut tradisi pesantren.
Dalam tradisi pesantren, kiai sebagai orang yang selalu melihat ke “Atas”, tawadhu (rendah hati), sederhana, dihormati, dan ditaati oleh para santrinya, selalu menyampaikan ajaran-ajaran Islam melalui pengajian kitab-kitab yang telah ditentukannya. Kitab yang diajarkan di pesantren didasarkan pada pandangan al-Ghazâly tentang pengkategorian ilmu agama ke dalam tiga wilayah kajian, yaitu (i) ilmu tauhid, (ii) ilmu syariah, dan (iii) ilmu sirri (bdk. al-Ghazâly, t.t.:8). Sebagai contoh, di pesantren ilmu tauhid dapat dilihat pada kitab-kitab : (i) tijânud-darûry, (ii) as-sanûsiyyah, (iii) risâlatut-tauhîd, dan (iv) fatchul-majîd. Ilmu syariah, dalam pengertian fikih, termuat dalam kitab-kitab : (i) at-taqrîb, (ii) fiqhus-sunnah, (iii) al-waraqât, (iv) jam'ul-jawâmi', (v) irsyâdul-fuchûl, (vi) al-muwâfaqât. Ilmu syariah, dalam pengertian Tafsir Alquran, termuat dalam kitab-kitab : (i) al-jalâlayn, (ii) al-mâraghy, (iii) al-qâsimy, dan (iv) al-manâr. Ilmu syariah, dalam pengertian hadis, termuat dalam kitab-kitab: (i) al-arba'in, (ii) bulûghul-marâm dan syarahnya subulus-salâm, dan (iii) shachîchul-bukhâry (Manshur, 1997:22). Adapun ilmu sirri adalah ilmu yang barkaitan dengan pengelolaan hati dan usaha-usaha penjagaannya (al-Ghazali, t.t.:8), yang termuat antara lain dalam kitab-kitab : (i) ihyâ'u 'ulûmiddîn, (ii) bidâyatul-hidâyah, (iii) syarchu minhâjil-'âbidîn, dan (iv) al-chikam.
Ilmu nahwu (gramatika Arab) termuat dalam kitab-kitab : (i) al-jurû-miyyah, (ii) al-fiyyah, dan (iii) al-mughnî. Ilmu Sharaf (morfologi Arab) termuat dalam kitab-kitab : (i) matanul-binâ, (ii) al-kaylâny. Akan tetapi, ada juga kitab târikh (sejarah) Nabi Muhammad saw dan tokoh-tokoh Islam terkenal yang bernuansa sastra. Kitab-kitab târikh bernuansa sastra yang diajarkan di pesantren, yang utama, adalah Barzanjy, al-Maulidud-Dibâ’îy, dan Kasidah Burdah. Ketiga kitab, yang berirama kasidah itu, berisi puisi selawat kepada Nabi Muhammad saw yang sangat dekat dengan masyarakat pesantren.
Dalam penelitian ini, pokok bahasan akan difokuskan pada kitab Burdah, sementara kitab Barzanjy dan kitab al-Maulidud-Dibâ’îy akan diulas secara sekilas sebagai bandingan bahwa kedua kitab tersebut dibaca dan didendangkan oleh masyarakat pesantren, baik dalam kegiatan ritual Islam di pesantren maupun dalam kegiatan kemasyarakatan.
Kitab Barzanjy ditulis oleh Sayyid Ja’far al-Barzanjy Ibn Sayyid Chasan Ibn Sayyid Abdul Karîm Ibn Sayyid Muhammad al-Madany Ibn Sayyid Rasûl (1609-1766 Masehi). Nama kitab Barzanjy diambil dari nama pengarangnya yang dihubungkan dengan tempat asalnya, yakni daerah Barzinj (Kurdistan). Kitab ini juga biasa disebut kitab ‘Iqdul-Jawâhir yang berarti kalung permata (www.nu.or.id.2004). Barzanjy dikategorikan sebagai kitab selawat (puji-pujian dan doa) kepada Nabi yang biasa dibacakan oleh masyarakat pesantren, terutama pada upacara Maulid Nabi. Maulid artinya hari kelahiran Nabi Muhammad saw yang diselenggarakan pada tanggal 12 Rabî’ul-Awwal dengan pembacaan teks maulid, yaitu pemujaan puitis mengenai masa lalu, kelahiran, dan kehidupan Nabi Muhammad saw yang penuh dengan keajaiban (Kaptein, 1994:2). Kitab-kitab yang dipakai pada upacara pembacaan teks puitis maulid itu adalah Barzanjy, al-Maulidud-Dibâ’îy, dan Kasidah Burdah. Jarak kemunculan Barzanjy dengan Burdah diperkirakan 397 tahun. Jadi, bentuk dan pola puisi serta isi kandungan naskah Barzanjy diduga mentransformasi teks Kasidah Burdah.
Kitab al-Maulidud-Dibâ’iy ditulis oleh Syaykh Abdur-Rachmân ad-Dibâ’iy (Muhammad, t.t.:v). yang juga termasuk kategori kitab selawat kepada Nabi. Pembacaan kitab al-Maulidud-Dibâ’iy oleh masyarakat pesantren sering disebut Deba’an. Artinya, membaca bait-baitnya pada upacara-upacara ritual Islam sebagai ekspresi kecintaan dan penghormatan kepada Nabi. Pembacaan kitab al-Maulidud-Dibâ’îy, dengan berbagai nada dan irama bacaannya masing-masing, telah melembaga dalam masyarakat Islam, khususnya masyarakat pesantren tidak hanya di kalangan orang tua, tetapi juga remaja dan anak-anak. Membaca kitab al-Maulidud-Dibâ’iy berarti membaca selawat kepada Nabi, yang pada gilirannya akan mengetahui sifat-sifat mulia Nabi dan wataknya, derap langkah perjuangannya yang bisa diteladani oleh setiap muslim (Muhammad, t.t.:iv), terutama oleh para santri dan kiai yang masih kuat menjaga dan mengamalkan tradisi selawat Nabi dalam kehidupan pesantren. Kitab al-Maulidud-Dibâ’iy ini yang isinya meneladani teks Kasidah Burdah, telah menyemarakkan tradisi pembacaan teks selawat Nabi berbahasa Arab pada masyarakat pesantren.
Dalam konteks ini, dapat dikatakan bahwa kitab Kasidah Burdah, adalah kitab sejarah sastra Arab yang diajarkan oleh kiai di pesantren, bahkan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan pesantren yang wajib dipelajari dan diikuti oleh setiap santri yang menuntut ilmu di pesantren. Jadi, kitab Kasidah Burdah mendapat sambutan besar di kalangan masyarakat pesantren, khususnya para santri. Ketika para santri menamatkan pendidikannya di pesantren, mereka kembali ke kampung halamannya, kemudian menyebarkan dan mengajarkan kitab Kasidah Burdah kepada masyarakat, maka meluaslah sambutan masyarakat terhadap Kasidah Burdah.
Untuk melihat posisi Kasidah Burdah dalam sejarah sastra keagamaan dan perkiraan masuknya ke Indonesia, dapat dilihat pada kelahiran karya-karya keagamaan di pesantren, yang selalu dikaitkan dengan kitab-kitab klasik berbahasa Arab yang sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-16 Masehi. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Melayu, sementara beberapa pengarang Indonesia telah menulis kitab-kitab dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa dengan kitab ortodoks. Sekitar tahun 1600 Masehi, sejumlah naskah Indonesia berbahasa Melayu, Jawa, dan Arab dibawa ke Eropa. Mereka memberi gambaran berharga, meskipun belum sempurna, tentang tradisi keilmuan Islam di Nusantra saat itu (Bruinessen, 1995:27).
Tradisi keilmuan Islam di Nusantara, dalam konteks yang lebih sempit di dunia pesantren, bersumber pada dua gelombang : (i) gelombang pengetahuan keislaman yang datang ke kawasan Nusantara dalam abad ke-13 Masehi, bersamaan dengan masuknya Islam ke kawasan ini dalam lingkup yang luas, (ii) gelombang ketika para ulama kawasan Nusantara menggali ilmu di Semenanjung Arabia, khususnya di Makkah dan kembali setelah itu ke tanah air untuk mendirikan pesantren-pesantren. Kedua gelombang inilah yang menjadi sumber tradisi keilmuan Islam yang berkembang di pesantren (Wahid, 2001:162-163).
Pada gelombang pertama yang datang ke Indonesia, manifestasi keilmuan Islam yang datang kemari adalah dalam bentuk tasawuf dan ilmu-ilmunya yang, tentu juga, tidak lepas dari ilmu-ilmu syariah pada umumnya. Masa abad ke-13 Masehi itu, Islam datang di Indonesia sudah dalam bentuk yang dikembangkan di Persia dan kemudian di anak Benua India, yaitu yang berorientasi sangat kuat pada tasawuf. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah orientasi yang menentukan corak keilmuan dan watak tradisi keilmuan di pesantren pada saat itu. Buku-buku tasawuf yang menggabungkan fikih dengan amal-amal akhlak merupakan bahan pelajaran utama. Di antaranya adalah bidâyatul-hidâyah, karangan al-Ghazâly, yang merupakan karya fikih-sufistik yang paling menonjol selama berabad-abad, bahkan sampai abad ini di pesantren-pesantren (Wahid, 2001:163).
Kehidupan dunia tasawuf di pesantren tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam di Indonesia pada abad ke-16-17 Masehi, yang antara lain ditandai dengan munculnya paham tasawuf yang dikembangkan oleh seorang ulama Aceh bernama Hamzah Fansuri (Baroroh-Baried, 1987:1). Pada masa itu, dunia pesantren memang ditandai secara dominan oleh pandangan fikih dan tasawuf, bahkan pada abad ke-16 Masehi manifestasi fikih-sufistik telah merasuki keseluruhan kehidupan ilmiah orang Islam. Waktu itu yang dipentingkan adalah pendalaman akhlak dalam bentuk pengamalannya secara tuntas dan pendalaman pemahaman sufistik pada kehidupan (Wahid, 2001:163). Gambaran kehidupan pesantren yang berorientasi pada fikih-sufistik ini dapat dilihat pada kitab syarah chikam karya Ibnu Athâ’il-Lâh al-Askandary, seorang penulis sufi yang terkenal (Wahid, 2001:164), yang karyanya itu sampai sekarang masih dipelajari secara setia oleh para santri di sejumlah besar pesantren, bahkan dibaca oleh masyarakat luas dan dijadikan acuan oleh para muballigh dalam materi dakwah mereka.
Untuk memberi pendahuluan yang lebih memadai terhadap bahasan kitab Kasidah Burdah sebagai kitab pujian kepada Nabi yang sufistik, ada baiknya dikemukakan asal-usul tradisi keilmuan Islam di pesantren yang berorientasi pada fikih-sufistik berdasarkan kitab-kitab klasik berbahasa Arab yang dipelajari oleh masyarakat pesantren sampai saat ini. Di antara kitab-kitab fikih-sufistik adalah qathrul-ghayts dan an-nashâ’ihud-dîniyyah bidâyatul-hidâyah, kitab akhlak murni dzurratun-nâshichîn, sedangkan kitab-kitab fikih yang mendalam adalah al-muhadzdzab, fatchul-qarîb, qulyûby wa umayrah, dan bujayrîmy. Lebih dari itu, dalam tradisi keilmuan di pesantren digunakan juga referensi fikih yang berukuran raksasa, seperti kitab majmû’, yang merupakan komentar atas kitab al-muhadzdzab, yang berjumlah 14 jilid dengan tebal masing-masing 6.000 halaman. Kitab fikih yang sangat tua, yaitu tuchfah, merupakan salah satu kitab pegangan utama yang tidak pernah berhenti diajarkan di pesantren, di samping kitab fikih dasar, yaitu at-taqrîb dan at-tachrîr (Wahid, 2001:167). Ada juga kitab fikih yang laku dan terkenal di pesantren karangan an-Nawâwy, minhâjut-thâlibîn, yang pada tahun 1878 Masehi diterjemahkan oleh L.W.C. Van Den Berg ke dalam bahasa Prancis, atau bahasa ilmiah yang lebih umum dipakai ketika itu daripada bahasa Inggris (bdk. van den Berg, 1989:xiv).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa kitab-kitab klasik berbahasa Arab itu masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke-16 Masehi seiring dengan penelitian van Ronkel (1896) tentang kitab Tafsir Alquran dalam naskah-naskah Melayu, dua hikayat bertema Islam, sebuah kitab hukum pernikahan Islam, dan sebuah terjemahan syair puji-pujian terhadap Nabi, yaitu Kasidah Burdah, karya al-Bûshîry, yang diedit oleh Drewes pada tahun 1955 (Bruinessen, 1995:27). Jadi, berdasarkan penelitian van Ronkel dan Drewes tersebut, teks Kasidah Burdah, sebagai bagian dari kitab-kitab klasik berbahasa Arab, masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke-16 Masehi.
Teks pertama Kasidah Burdah yang dicipta di Nusantara diperkirakan yang terdapat dalam dua naskah tulisan tangan yang berjudul qashîdatul-burdah, naskah pertama ditulis oleh Haji Kami Ibnu Hûmy, Haji Muchammad Sa’îd al-’Âsyy, seorang ulama Aceh, sedangkan naskah kedua tidak diketahui penulisnya (anonim). Adapun naskah (kitab) Kasidah Burdah yang pertama masuk ke dunia pesantren adalah châsyiyatul-bâjûry ‘ala matanil-burdah, karya Ibrâhîm al-Bâjûry dan 'ashîdatusy-syahdah syarchu qashîdatil-burdah ditulis oleh al-Kharbûthy. Asumsi ini dipilih karena Naskah Ibrâhîm al-Bâjûry dan Naskah al-Kharbûthy paling banyak disambut oleh masyarakat pesantren. Dalam hal ini, naskah châsyiyatul-bâjûry ‘ala matanil-burdah dan naskah 'ashîdatusy-syahdah syarchu qashîdatil-burdah dapat dipandang sebagai teks transformasi yang secara turun-menurun melahirkan teks-teks Kasidah Burdah dalam bentuk terjemah dan syarah, antara lain dalam bahasa Sunda.
Selain kitab Kasidah Burdah yang mendapat sambutan besar masyarakat pesantren, ada juga kitab-kitab sezaman dengannya yang terkenal dan bernuansa sufistik, yang dipelajari dan dipedomani oleh masyarakat pesantren, antara lain, ichyâ ‘ulûmud-dîn, minhâjul-‘âbidîn (al-Ghazâly), at-tamhîd fî bayânit-tauchîd (Abû Syukûr al-Kâsyi as-Sâlimy), daqâ’iqul-akhbâr (kitab populer tentang kosmologi dan eskatologi), al-kanzul-khâfy dan ma’rifatul-‘âlam. Di samping itu, dikenal juga kitab at-tuchfah al-mursalah (tentang tasawuf wachdatul-wujûd, karya Burhanpuri), kitab at-taqrîb fil-fiqh dari Abû Syuja’ al-Isfahâny dan kitab al-îdhâh fil-fiqh (Bruinessen, 1995:27-28).
Khusus kitab minhâjul-‘âbidîn karya al-Ghazâly itu, telah diberi komentar (syarah) oleh Kiai Ihsan Jampes dengan menulis kitab yang berjudul sirâjatuth-thâlibîn. Dalam kitab ini, Kiai Ihsan Jampes (Kediri) menampilkan penguasaan yang mendalam atas ilmu-ilmu agama yang bermacam-macam, namun pada saat yang sama menampilkan pula wajah sufistik seorang ilmuwan yang mengamalkan syariat secara penuh (Wahid, 2001:169). Selain itu, Kiai Ihsan juga menulis kitab manâhijul-imdâd (walaupun belum diterbitkan) sebuah karya pendek yang merupakan komentar atas kitab irsyâdul-‘ibâd. Dalam kitab manâhijul-imdâd ini terbukti kemampuan ulama pesantren untuk mengkombinasikan antara kemampuan mendalami ilmu-ilmu agama secara tuntas, sekaligus mengamalkan tasawuf secara tuntas pula (Wahid, 2001:169).
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat dikatakan bahwa tradisi keilmuan Islam di Indonesia, khususnya di pesantren, orientasinya lebih condong ke fikih-sufistik yang dilakukan dengan metode pendidikan Islam yang bertumpu pada pengajian kitab-kitab klasik berbahasa Arab. Sesuai dengan watak utama pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam (Wahid, 2001:157), maka pengajian kitab tersebut hanya bisa dilakukan oleh kiai kepada para santri dan masyarakat sekitarnya dengan kaidah utama : (i) taat, (ii) ikhlas ibadah kepada Allah swt, (iii) tawâdhu, dan (iv) sederhana. Di seputar sifat-sifat mulia inilah proses pengajian kitab dilaksanakan di pesantren.
Bagi para santri, sifat-sifat mulia itu dijadilan pendorong untuk melakukan apa saja yang diperintahkan oleh kiai untuk kemuliaan Islam dan kejayaan kaum muslimin. Dalam hal ini, kegiatan membaca dan menulis kalimat per kalimat, menerjemahkan kata per kata, mensyarahi tema per tema atas kitab-kitab keagamaan, dan menghafal isi kitab-kitab tersebut (termasuk kitab Kasidah Burdah) adalah bentuk pengamalan perintah kiai dalam rangka ibadah kepada Allah swt dengan penuh ketaatan dan keikhlasan. Dengan demikian, sambutan masyarakat pesantren terhadap Kasidah Burdah dilakukan dalam suasana tradisi pesantren yang penuh ketaatan, keikhlasan, ketawadhuan, dan kesederhanaan.
Pendidikan tradisional di pesan¬tren tersebut dapat terwujud karena ada unsur-unsur yang mendukung dan membentuknya. Pendidikan tradisional, yang kemudian disebut tradisi pesantren, dipandang telah melahirkan naskah-naskah keagamaan, antara lain, berupa karya-karya sastra keagamaan yang disebut juga karya sastra pesantren atau teks sastra pesantren.
Sastra pesantren dimaksudkan untuk menyebut karya sastra yang hidup dan diciptakan oleh kalangan pesantren (Tohari, 1998:80) dalam suasana tradisi pesantren yang khas. Tradisi pesantren tersebut ditandai dengan lima unsur, yaitu asrama (pondok), masjid, santri, kitab, dan kiai. Hubungan antara kelima unsur itu tampak kuat dan kohesif, misalnya, asrama atau pondok merupakan tempat bertemu dan berkumpul setiap hari bagi para guru dan santri. Di tempat itulah, mereka hidup bersama-sama dalam jangka waktu yang lama (Ziemek, 1986:18), dan di asramalah kitab-kitab keagamaan, khususnya yang bercorak sastra, dikaji bersama-sama antara santri dengan santri dan antara santri dengan kiainya.
Fungsi masjid dalam tradisi pesantren, khususnya dalam penciptaan teks-teks sastra keagamaan, dapat dilihat pada kegiatan pembacaan kitab-kitab di bawah bimbingan guru, cara membacanya bab demi bab, dan para santri menirukannya baris demi baris (bdk. Geertz, 1983:242). Karena masjid dipandang sebagai salah satu pusat penciptaan teks-teks sastra keagamaan yang hasil karyanya dikonsumsi oleh masyarakat pesantren yang ada di pedesaan, maka masjid juga dapat dipandang sebagai pusat kelembagaan masyarakat Islam pedesaan dan pusat belajar masyarakat (Horikoshi, 1987:115; Ziemek, 1986:20), yaitu masyarakat yang belajar menghargai dan menikmati karya-karya sastra keagamaan.
Peran santri, dalam proses penciptaan teks-teks sastra keagamaan, dapat dilihat pada kegiatan mereka dalam mendengarkan dan menulis pelajaran yang disampaikan oleh guru atau kiai. Setiap mata pelajaran ditentukan kitabnya oleh kiai, termasuk pelajaran yang kitabnya bercorak sastra. Dalam mengajarkan kitab yang bercorak sastra itu, para santri menyambutnya dengan menyimak dan menulis keterangan guru atau kiai. Sambutan santri dalam bentuk tulisan biasanya ditulis di dalam lembaran kitab yang dipelajarinya itu, baik dalam tulisan tangan yang miring ke bawah (tulisan jenggot) maupun tulisan tangan yang ditulis di lembaran pinggir kitab (lembaran matan).
Tradisi tulisan jenggot dan lembaran matan di pesantren mempunyai arti bahwa santri sangat memperhatikan keterangan yang disampaikan oleh kiai dalam pengajian kitab. Di samping itu, filosofi tulisan jenggot juga menyiratkan konsep barakah yang dipercayai oleh masyarakat pesantren, yaitu ilmu-ilmu kiai akan dapat diserap dengan lancar oleh santri apabila ia menunjukkan kesungguhannya dalam menimba ilmu dan membuktikan ketaatannya kepada kiai. Konsep barakah ini didasarkan pada doktrin ta’lîmât dari al-Ghazâly. Doktrin ini memandang bahwa guru adalah individu yang tidak mungkin bersalah (Hoesin, 1975:38).
Dalam tradisi pesantren, kiai adalah guru yang dipandang menguasai ilmu-ilmu dan ajaran-ajaran agama Islam serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari sebagai ekspresi ketaatannya kepada Allah. Dengan demikian, konteks ta’lîmât dalam tradisi pesantren dan konsep ”barakah” kiai selalu dikaitkan dengan ajaran ketaatan. Ketaatan kepada Allah akan memancarkan energi karâmah-Nya kepada orang yang disebut kiai.
RESEPSI KASIDAH BURDAH DALAM TRADISI LISAN MASYARAKAT PESANTREN DI JAWA BARAT
Pada subbahasan ini dibicarakan resepsi Kasidah Burdah dalam kegiatan pelisanan pada enam buah pesantren di tiga kabupaten di Jawa Barat, yaitu Ciamis, Tasikmalaya, dan Sukabumi. Pemilihan tiga kabupaten dan enam pesantren sebagai sampel itu didasarkan pada satu asumsi bahwa pusat utama pesantren dan kaum santri ada pada tiga kabupaten tersebut. Hal ini dapat dilihat, secara kuantitatif, pada jumlah pesantren pada ketiga kabupaten tersebut.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa sambutan masyarakat pesantren di Jawa Barat terhadap Kasidah Burdah dapat dilihat pada intensitas pelisanannya, baik dalam kegiatan kepesantrenan maupun kemasyarakatan. Sebagai karya sastra yang berbentuk puisi, pada teks Kasidah Burdah terdapat susunan bahasa Arab yang indah. Oleh karena itu, pada studi ini teori estetika resepsi dipandang cocok untuk menelaah aspek-aspek puisi dalam teks Kasidah Burdah. Asumsi ini didasarkan pada fakta bahwa teks Kasidah Burdah berbentuk puisi yang mendapat sambutan besar dari masyarakat pesantren khususnya di Jawa Barat.
Seorang penulis (dalam hal ini pengarang puisi), dalam menulis suatu karya, mungkin menggunakan informasi yang ada pada karya lain yang dikenalnya. Informasi itu mungkin diterima secara utuh, diubah atau ditentang (Junus, 1985:82). Penulisan itu pada hakikatnya adalah hasil pembacaan seseorang terhadap karya-karya lain. Demikian juga, teks Kasidah Burdah yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pesantren di Jawa Barat, merupakan hasil pembacaan para penyambut terhadap karya-karya yang lain.
1. Pengajian Kitab Kasidah Burdah di Pesantren Darussalam
Pengajian kitab Kasidah Burdah di Pesantren Darussalam Ciamis tidak dapat dipisahkan dari metode tiga tingkatan pengajian, yaitu tingkat dasar, tingkat menengah, dan tingkat atas. Ketiga tingkatan pengajian itu merupakan satu kesatuan yang utuh dan berjenjang. Artinya, santri yang belum lulus pada tingkat dasar belum diperbolehkan mengikuti pengajian kitab pada tingkat menengah, dan santri yang belum dinyatakan selesai pada tingkat menengah belum diperbolehkan meneruskan ke tingkat atas.
Kenaikan tingkat pengajian dari satu jenjang ke jenjang berikutnya dilakukan oleh tim penilai yang beranggotakan dewan guru senior yang ditunjuk langsung oleh kiai. Kriteria kenaikan tingkat didasarkan pada kemampuan santri dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tertulis dan lisan dalam satu ujian pesantren yang diadakan dua kali dalam setahun. Santri yang memperoleh nilai terbaik dalam tiap tingkat, khususnya tingkat atas, diberi perhatian khusus oleh pesantren untuk dipersiapkan menjadi guru pengajian kitab di pesantren, dan diberi kesempatan untuk asistensi pengajian pada tingkat dasar.
Kitab-kitab yang dikaji di Pondok Pesantren Darussalam Ciamis diklasifikasi ke dalam lima kelompok : (i) kelompok Alquran, tafsir dan hafalannya, (ii) kelompok al-hadits, (iii) kelompok akhlak dan tauhid, (iv) kelompok fikih, dan (v) kelompok bahasa dan sastra Arab. Dalam hal ini, kitab Kasidah Burdah dapat dikategorikan ke dalam kelompok bahasa dan sastra Arab.
Kelompok pertama menelaah kitab-kitab tafsir al-jalâlayn, tafsir al-marâghy, dan qirâ`at/tajwîd; kelompok kedua menelaah kitab-kitab al-arba’în an-nawawiyyah, bulûghul-marâm, dan subulus-salâm; kelompok ketiga mengkaji kitab-kitab akhlaq lil-banîn/banât, al-jawâhirul-kalâmiyyah, fatchul-majîd; kelompok keempat menelaah kitab-kitab al-fiqhul-wâdhih, fatchul-qarîb, dan kifâyatul-akhyâr, dan kelompok kelima menelaah kitab-kitab an-nachwul-wâdîh, al-jurûmiyyah, mutammimah, al-fiyah, matanul-binâ, al-kaylâny, al-jauharul-maknûn, ‘uqûdul-juman, dan Kasidah Burdah.
Pengajian kitab pada kelompok kesatu, kelompok kedua, kelompok ketiga, dan kelompok keempat dibimbing dan diasuh oleh guru-guru pesantren yang ditunjuk oleh kiai. Syarat utama yang harus dipenuhi dalam pengajian itu adalah seluruh santri diharuskan memiliki kitab-kitab yang akan ditelaah, dan mereka tidak diperbolehkan meminjam dan menukar kitab-kitabnya itu karena pada setiap akhir semester dewan guru akan memeriksa kitab-kitab santri untuk mengetahui sejauh mana para santri memahami isi kitab-kitab tersebut.
Mekanisme pengajiannya adalah guru dan santri berkumpuil di kelas atau di asrama dengan sekurang-kurangnnya melalui empat tahapan : (i) guru membacakan kitab beberapa alinea atau bait dan santri mendengarkan, (ii) guru menerjemahkan alinea atau bait yang ada dalam kitab secara harfiah (kata per kata), yang secara langsung ditulis oleh para santri pada kitab-kitabnya masing-masing, (iii) guru meminta beberapa orang santri untuk membacakan dan menerjemahkan kitab yang baru ditelaah tersebut. Dalam tahap ini, kesalahan dan ketidakcermatan yang dibuat oleh santri dalam membaca dan menerjemahkan kitab akan dikoreksi langsung oleh guru, (iv) guru menafsirkan dan memberi ilustrasi (yang kadang-kadang panjang lebar) tentang kitab yang sedang dikajinya itu. Pada tahap ini para santri biasanya hanya mendengarkan; mereka tidak diharuskan mencatat uraian guru tersebut.
Adapun pengajian kitab pada kelompok kelima di samping penekanan-nya sama pada aspek pembacaan, pemahaman, dan penafsiran juga difokuskan pada pelatihan dan kemahiran santri dalam berbahasa dan bersastra. Di antara kitab yang bercorak sastra yang dibaca, dan dipahami, dan ditafsirkan dalam mekanisme pengajian kitab di Pesantren Darussalam Ciamis adalah kitab Kasidah Burdah.
Kitab Kasidah Burdah dibaca, dipahami, dan ditafsirkan oleh masyarakat pesantren sekali dalam satu minggu. Kegiatan membaca, memahami, dan menafsirkan Kasidah Burdah itu di Pesantren Darussalam Ciamis disebut dengan Pengajian Burdah yang diselenggarakan satu kali dalam satu minggu, yaitu setiap malam Sabtu. Pengajian Burdah ini diasuh dan dipimpin langsung oleh putra kiai (guru senior) di gedung dengan cara : (i) guru membacakan dan menyanyikan Kasidah Burdah teks Arab dan teks terjemahan Sundanya, (ii) setelah teks Kasidah Burdah dibacakan dan dinyanyi-kan per bait, santri membaca dan menyanyikannya bersama-sama, (iii) seusai guru dan santri membacakan dan menyanyikan Kasidah Burdah itu, kemudian sang guru memberi ulasan dan penjelasan pada setiap bait Kasidah Burdah, iv) ulasan dan penjelasan guru itu berisi penafsirannya terhadap kitab Kasidah Burdah yang pada hakikatnya merupakan resepsi guru terhadap Kasidah Burdah tersebut. Kegiatan Pengajian Burdah di Pesantren Darussalam Ciamis dapat dilihat pada Video Compact Disk (VCD).
Perbedaan mendasar antara pengajian kitab-kitab non-Kasidah Burdah dan Pengajian Burdah di Pesantren Darussalam Ciamis adalah terletak pada aspek penerjemahan. Pada pengajian kitab-kitab non-Kasidah Burdah guru membacakan dan menerjemahkan teks secara harfiah kemudian menjelaskan dan menafsirkannya tanpa dinyanyikan. Akan tetapi, pada Pengajian Burdah guru membacakan bait-bait Kasidah Burdah dan bait-bait terjemahan Sundanya dengan menyanyikannya, kemudian ia menjelaskan dan menafsirkan isinya.
Mekanisme pengajian kitab, termasuk Pengajian Burdah, di Pesantren Darussalam Ciamis merupakan satu kesatuan dengan kegiatan salat berjamaah. Salah satu kekhasan pesantren adalah menempatkan pengajian kitab dalam manajemen salat berjamaah, sehingga jadwal pengajian kitab selalu disesuaikan dengan salat lima waktu. Untuk mengetahui jadwal pengajian kitab tertentu dapat dilihat pada peredaran waktu salat.
Hal ini dapat dilihat pada Pengajian Burdah dan pengajian kitab tafsir yang dilaksanakan setelah salat Subuh, pendalaman terhadap kitab-kitab tata bahasa Arab dilakukan setelah salat Dzuhur; pengajian kitab sharaf dan hadis dilaksanakan setelah salat Ashar; pengajian kitab nahwu dan fikih dilaksanakan setelah salat Maghrib dan Isya.
2. Pengajian Kitab Kasidah Burdah di Pesantren Al-Masthuriyah
Pengajian Kasidah Burdah merupakan salah satu mata pelajaran yang tercatat dalam kurikulum Pesantren Al-Masthuriyah. Pengajian Kasidah Burdah dilakukan tiap malam Sabtu, waktunya setelah salat Maghrib dimulai dari jam 18.30 sampai dengan 20.15. Seluruh santri dan dewan guru diwajibkan mengikuti pengajian ini. Pengajian Kasidah Burdah disampaikan langsung oleh kiai sepuh. Bila kiai sepuh berhalangan, kegiatan diisi oleh dewan pengasuh (adik atau sepupu kiai), tetapi materi yang disampaikan bukan Kasidah Burdah, karena selain kiai sepuh tidak diperkenankan mengajarkan materi pengajian Burdah. Hal ini didasarkan pada satu kepercayaaan yang berlaku di Pesantren Al-Masthuriyah bahwa Kasidah Burdah memiliki keistimewaan dan kehususan yang tidak boleh diajarkan oleh orang yang belum memiliki otoritas keilmuan dan kapasitas keulamaan (Adang, 2005).
Metode pengajian Kasidah Burdah yang digunakan di Pesantren Al-Masthuriyah adalah sorogan dan balagan dengan cara : i) kiai membaca bait-baitnya dengan dilagukan (dinadhamkan) yang diikuti oleh santri, yang dalam setiap kali pengajian, biasanya diterangkan dua bait atau lebih, ii) kiai menerjemahkan bait-bait Kasidah Burdah, iii) kiai menerangkan maksud dan makna yang terkandung dalam tiap bait tersebut.
Lagu yang digunakan dalam membaca Kasidah Burdah ada lima macam (dapat didengar dalam rekaman kaset yang disertakan dalam disertasi ini). Santri wajib menghafal, minimal, dua bait Kasidah Burdah. Setiap tahun, Kasidah Burdah ini dilombakan di kalangan santri, baik dari segi lagu maupun jumlah bait yang dihafal. Kasidah Burdah ini diamalkan oleh kiai dan santri dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam meneladani ucapan dan perilaku Nabi Muhammad saw. Bait-bait tertentu dijadikan penutup acara pada kegiatan ritual kegamaan. Setelah salat Idul Fitri, masyarakat pesantren melakukan ziarah kubur sambil membaca bait-bait berikut ini.
مو لى يا صل و سلم دائما....
هو الحبيب الذى ترجا شفاعته....
يا رب باالمصطفى بلغ مقا صدنا...
Pembacaan Kasidah Burdah ini dilakukan berdasarkan kandungan maknanya yang diyakini dapat membuka pintu ijâbah doa. Santri yang telah menjadi alumni senantiasa mengamalkan Kasidah Burdah, bahkan santri yang telah menjadi kiai dan memimpin pesantren kemudian mengajarkan Kasidah Burdah tersebut kepada anak didiknya. Di antaranya K.H. Deden dan K.H. Nanan Munawar, Pengasuh Pesantren Al-Tanwiriyah Cianjur dan Pesantren Cikole Sukaraja Sukabumi.
3. Pengajian Kitab Kasidah Burdah di Pesantren Miftahul Huda
Pengajian Kasidah Burdah di Pesantren Miftahul Huda tidak dijadikan kurukulum pesantren, tetapi dikaji oleh kiai dan santri setahun dua kali pada liburan bulan Rabî’ul-Awwal dan Ramadhan. Pengajian Kasidah Burdah disampaikan oleh kiai, tetapi jika kiai berhalangan, maka ia digantikan oleh anggota dewan guru, tetapi tidak harus dari dewan pengasuh.
Metode pengajaran yang digunakan adalah : (i) kiai membaca dan menerjemahkan bait-bait Kasidah Burdah, (ii) kiai menjelaskan kandungan sejarah Kasidah Burdah, (iii) kiai menjelaskan keindahan bahasanya. Lagu yang dinyanyikan dalam Pengajian Kasidah Burdah bermacam-macam, dan santri tidak diwajibkan untuk menghafal bait-baitnya. Kasidah Burdah dikaji karena memiliki keindahan bahasa yang tinggi. Kitab Kasidah Burdah yang dikaji di Pesantren Miftahul Huda tidak dicetak sendiri, tetapi menggunakan kitab yang biasa digunakan di pesantren-pesantren lain. Dari pihak pimpinan pesantren tidak ada upaya untuk menulis ulang, menerjemahkan, dan memberi komentar Kasidah Burdah dalam bentuk buku, walaupun hanya digunakan untuk kalangan sendiri.
4. Pengajian Kitab Kasidah Burdah di Pesantren Miftahul Khoer
Pengajian Kasidah Burdah tidak dijadikan kurikulum di Pesantren Miftahul Khoer, namun kitab ini dikaji seminggu sekali pada setiap hari Kamis. Pengajian Kasidah Burdah disampaikan oleh dewan kiai dan jika berhalangan dapat digantikan oleh dewan guru atau santri kepercayaan kiai yang disebut badal. Metode pengajarannya adalah sistem bandongan, yaitu kiai membacakan bait-bait Kasidah Burdah, sedangkan santri mendengar dan mencatat komentar (syarah) yang dijelaskan oleh kiai.
Lagu yang dipakai dalam pengajian Kasidah Burdah bermacam-macam. Santri tidak diwajibkan untuk menghafal bait-bait Kasidah Burdah. Hampir semua bait Kasidah Burdah diamalkan oleh kai dan para santri dalam kehidupan kepasantrenan sehari-hari. Pembacaan Kasidah Burdah secara rutin dilakukan karena diyakini oleh masyarakat pesantren bahwa di dalam bait-baitnya terkandung ajaran moral.
Dalam kaitan ini, moral dipandang sebagai ajaran yang berkaitan dengan bagaimana mengajari seseorang dengan kebaikan (Hirsch, 1989:31). Artinya, bagaimana para santri dapat menjadi orang-orang yang gemar berbuat kebaikan. Jadi, di dalam bait-bait Kasidah Burdah itu terkandung ajaran-ajaran yang mengajak pembacanya (para santri) untuk berbuat kebaikan. Menurut kepercayaan para santri dan kiai, Kasidah Burdah itu merupakan penjabaran dari Alquran dan Hadis yang dijelaskan oleh ulama, yaitu al-Bûshîry. Oleh karena itu, mempelajari Kasidah Burdah dipandang sebagai representasi mempelajari Alquran dan Hadis.
5. Pengajian Kitab Kasidah Burdah Pesantren Al-Fadhiliyah Cibeunying
Pengajian Kasidah Burdah merupakan salah satu rangkaian kegiatan kepesantrenan yang masuk dalam kurikulum pesantren. Pengajian dilakukan setiap hari, yaitu setiap setelah salat Ashar menjelang salat Maghrib Bagi santri baru diwajibkan mengaji Kasidah Burdah secara intensif setiap salat Ashar dengan metode bimbingan khusus.
Pengajian Kasidah Burdah harus disampaikan langsung oleh kiai. Apabila kiai berhalangan maka pengantinya adalah dari dewan kiai yang terdiri atas adik kiai atau sepupu kiai yang telah matang dalam usia dan penguasaan kitab kuning. Metode pengajaran yang digunakan adalah : (i) kiai membaca bait-baitnya dengan dilagukan (dinadhamkan) dan diikuti oleh para santri, (ii) kiai menerjemahkan bait-bait Kasidah Burdah, (iii) kiai menerangkan maksud dan makna bait-bait yang dibacakan serta memberikan contohnya dalam pengalaman kehidupan sehari-hari. Pada setiap tahun ada pengajiaan khusus kitab syarah, yaitu penjelasan secara rinci kitab Kasidah Burdah.
Lagu yang dinyayikan dalam pengajian Kasidah Burdah hanya dengan satu lagu, yaitu dengan dinadhamkan. Bagi santri diwajibkan menghafal seluruh bait Kasidah Burdah, bahkan dalam kegiatan latihan pidato, santri diwajibkan mengunakan dalil-dalil dengan bait-bait Kasidah Burdah.
Kasidah Burdah diamalkan oleh kiai dan santri. Bait-bait tertentu dijadikan wirid dan dibaca setiap setelah melaksanakan salat wajib lima waktu, bahkan santri-santri menjalankan puasa 40 hari agar bisa menghafal bait-bait Kasidah Burdah. Selama berpuasa, setiap hari, santri wajib membaca seluruh bait Kasidah Burdah. Di akhir bulan Ramadhan, kiai memberi ijazah kepada setiap santri yang telah menyelesaikan pengajian Kasidah Burdah. Dengan ijazah itu, diartikan bahwa santri telah mendapat ”hikmah” dan ketika ia pulang ke kampung halamannya, mereka berhak mengajarkan Kasidah Burdah kepada masyarakat.
Alasan para kiai dan santri mengamalkan atau mewiridkan Kasidah Burdah karena ia mengandung hikmah dan daya magis yang kuat, yang dipercaya oleh masyarakat pesantren, mempunyai pengaruh besar bagi kehidupan manusia. Apabila dibaca atau diwiridkan akan menjadikan orang sukses dalam karier. Misalnya, Haji Abdul, alumnus Pesantren Cibeunying Ciamis, adalah seorang santri yang berhasil menjadi pengusaha (kontraktor) di Jakarta. Kunci keberhasilannya itu, menurut pengakuannya karena ia selalu membaca dan mewiridkan bait-bait Kasidah Burdah. Di samping itu, Kasidah Burdah juga dipercaya dapat mengobati orang sakit. Misalnya, Kiai Lukman di Sindanggalih Ciamis, dalam mengobati orang-orang yang sakit, ia membaca dan mewiridkan bait-bait Kasidah Burdah secara terus-menerus (wawancara dengan Ijudin, 2005).
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pesantren, sebagai lembaga kebudayaan, memainkan peranan penting dalam menghasilkan karya-karya keagamaan yang bernuansa sastra, yang kemudian disebut karya sastra keagamaan khas pesantren. Karya sastra keagamaan yang khas pesantren ini berupa hasil resepsi kiai dan santrinya terhadap kitab-kitab yang dikaji dan dijadikan acuan kehidupan masyarakat pesantren sehari-hari. Kegiatan resepsi kiai terhadap kitab dilakukan berdasarkan mekanisme pengajian kitab yang diselenggarakan oleh pesantren untuk para santrinya, yang dipusatkan di masjid atau di gedung yang ada di dalam kampus pesantren.
Mekanisme pengajian kitab tersebut ditandai dengan kegiatan membaca dan menafsirkan kitab-kitab yang dipimpin langsung oleh kiai dan diikuti oleh santri. Kegiatan ini disebut tradisi pembacaan dan penafsiran kitab di pesantren. Dalam proses membaca dan menafsirkan kitab-kitab itu sebenarnya kiai sedang meresepsi pandangan ulama-ulama terdahulu yang terkandung dalam teks-teks klasik tersebut. Di antara kitab yang bercorak sastra yang dikaji oleh mayarakat pesantren adalah kitab Kasidah Burdah, dan di antara pesantren di Jawa Barat yang meresepsi Kasidah Burdah dalam bentuk tulisan adalah Pesantren Darusalam Dewasari Ciamis dan Pesantren as-Salafiyyah Tipar Sukabumi.
Di Pesantren Darussalam Ciamis kitab Kasidah Burdah diapresiasi dan diresepsi oleh pimpinan pesantren generasi pertama, yaitu Kiai Achmad Fadhil. Resepsi K.H. Achmad Fadhil terhadap menghasilkan karya terjemahan puisi Sunda yang indah. Teks terjemahan Kasidah Burdah dalam puisi Sunda itu dikaji oleh santri dalam mekanisme pengajian kitab di Pesantren Darussalam, yang kemudian disebut Pengajian Burdah.
Dalam Pengajian Burdah itu kiai membaca dan menafsirkan bait-bait dalam Kasidah Burdah yang dicatat oleh santri secara teliti. Di samping itu, kiai juga menyanyikan bait-bait Kasidah Burdah tersebut yang ditirukan oleh santri. Dalam menyanyikan Kasidah Burdah itu ada proses transformasi nilai-nilai keteladanan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw dalam teks Kasidah Burdah tersebut.
Adapun di Pesantren as-Salafiyyah Tipar Sukabumi, resepsi Kasidah Burdah dilakukan oleh K.H. Ahmad Makki, kiai generasi kedua pesantren tersebut. Pada generasi kiai pertama, di pesantren ini tidak dilakukan penulisan kitab Burdah karena konsentrasi difokuskan pada kitab-kitab tauhid dan fikih.
Pesantren-pesantren yang meresepsi Kasidah Burdah dalam bentuk lisan (kegiatan pelisanan) adalah Pesantren Al-Masthuriyah Tipar Sukabumi, Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya, Pesantren Miftahul Khoer Gobras Tasikmalaya, Pesantren Darussalam Dewasari Ciamis, dan Pesantren Al-Fadhiliyyah Pusakanagara Cibeunying Ciamis. Pesantren-pesantren tersebut satu sama lain memiliki hubungan ideologis dan emosional berdasarkan hubungan inti-plasma, yaitu guru (kiai) dan murid (santri). Misalnya, Pesantren Miftahul Huda Manonjaya Tasikmalaya dipandang sebagai pesantren inti (guru) dari Pesantren Miftahul Khoer Gobras Tasikmalaya, sedangkan pesantren yang disebut terakhir dipandang sebagai pesantren murid (plasma). Demikian juga, Pesantren Darussalam Dewasari Ciamis dipandang sebagai pesantren inti (guru) dari Pesantren Al-Fadhiliyyah Cibeunying Ciamis yang dipandang sebagai pesantren murid (plasma).
Jadi, resepsi Kasidah Burdah secara turun-temurun di pesantren-pesantren yang memiliki hubungan ideologis dan emosional berdasarkan hubungan inti-plasma itu merupakan satu fenomena yang menarik. Para pimpinan pesantren memandang bahwa pelestarian Pengajian Burdah, sebagai bentuk resepsi, merupakan satu amanah dari para gurunya yang ”harus” dilaksanakan oleh generasi penerusnya secara turun-temurun.
PENUTUP
\
DAFTAR PUSTAKA
De Graaf, H.J. dan T.H. Pigeaud. 1986. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Grafitipers, Jakarta.
Ekadjati, Edi S. 1998. “Tradisi Tulis Sunda” dalam John H. McGlynn, Indonesian Heritage Bahasa dan Sastra, Jayakarta Agung Offset, Jakarta.
____________ 2004. ”Pendidikan di Tatar Sunda pada Periode Islam (2)” dalam www.pikiran-rakyat.com/cetak/1104/ 0802.htm.
_________________. ”Sajarah Sunda” dalam Mangle, Kamis, 26 Mei
2005.
Kristeva, Julia. 1980. Desire in Language, A Semiotic Approach to Literature and Art. Basil Blackwell Publisher, Oxford. Copyright Columbia University Press.
Ras, J.J. 1990. ”Tradisi Jawa mengenai Masuknya Islam di Indonesia” dalam Beberapa Kajian Indonesia dan Islam (W.A.I. Stokhof dan N.J.G. Kaptein, redaktur). Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS), Jakarta.
Reza, M. 2005. “Para Santri dan Sejarah Cirebon yang Terpinggirkan” dalam http://muslimdelft.nl/titian_ilmu.
Ricklefs, M.C. 1992. Sejarah Indonesia Modern. Gadjah Mada University Press, Yogyakaarta.
Sumardjo, Jakob. 2003. Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda, Tafsir-Tafsir Pantun Sunda. Penerbit Kelir, Bandung.
www.tuban-jatim.com/sunannjati.htm.
www.jawapalace.org/demak.html.