Jumat, 20 Januari 2023

Mendisusikan Konsep Moderasi Beragama dalam Pendidikan (khusus untuk siswa)

Oleh : Dr. H. Dadang Gani, S.PdI, M.Ag

A.     Pendahuluan

Bersikap moderat dalam beragama merupakan amanah negara dan termasuk arah pembangunan nasional, hal ini tercantum di dalam narasi Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 yang berlaku tanggal 20 Januari tahun 2020. Rencana Jangka Menengah ini, kemudian ditindaklanjuti oleh semua Kementerian dan Lembaga termasuk Kementerian Agama Republik Indonesia. Adapun Kemenag RI sudah menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 18 Tahun 2020 tentang Renstra Kementerian Agama 2020-2024 yang di dalamnya terdapat arahan tentang Moderasi Beragama.

Kementerian Agama RI menegaskan bahwa moderasi beragama sebagai prioritas utama harus mewarnai semua langkah dan gerak program lembaga-lembaga yang berada di bawah binaan Kementerian Agama. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) melalui Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam telah menerbitkan Pedoman Implementasi Moderasi Beragama pada Pendidikan Islam. Ditjen Pendis juga telah menyusun modul-modul pendidikan moderasi beragama yang operasional dan terukur. Pengembangan moderasi beragama memiliki alasan yuridis sebagaimana tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945 tentang Kebebasan Beragama dan dalam aturan turunannya yang disebutkan di awal.


B.      Indikator Moderasi Beragama

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama tahun 2019 menerbitkan buku Moderasi Beragama. Buku itu berisikan beberapa materi pokok yaitu: konseptual moderasi beragama; pengalaman empirik moderasi beragama; serta strategi penguatan dan implementasi moderasi beragama. Dalam bagian Konseptual Moderasi Beragama disebutkan ada empat indikator moderasi beragama, yaitu: komitmen kebangsaan,  toleransi, anti-kekerasan dan akomodatif terhadap kebudayaan lokal (Kementerian Agama , 2019: 43). Indikator-indikator itulah yang dijadikan acuan dalam mendiskusikan moderasi beragama. Khususnya bagi Umat Islam, hal tersebut dijadikan tolok ukur dalam mengembangkan materi Islam Washatiyyah atau yang disebut Islam Moderat.

Untuk melihat moderasi beragama dan indikatornya dapat mengacu juga kepada  buku  dengan judul Moderasi Beragama Berlandaskan Nilai-Nilai Islam. Buku itu diterbitkan Ditjen Pendis pada Juni 2021. Buku itu diperuntukan bagi para pendidik dalam memahami makna moderasi beragama.  Dalam buku itu disebutkan ada sembilan nilai moderasi atau wasathiyah, yaitu: tengah-tengah (tawassuth), tegak-lurus (i’tidal), toleransi (tasamuh), musyawarah (syura), reformasi (ishlah), kepeloporan (qudwah), kewargaan/cinta tanah air (muwathanah), anti kekerasan, dan ramah budaya (i’tibar al-‘urf). 

Membuat alat ukur untuk moderasi beragama diperlukan waktu yang relatif lama. Banyak tahapan yang harus dilalui, seperti penentuan tujuan, konsep yang akan diukur, melakukan konseptualisasi dan mengoperasionalisasi konsep tersebut. Apakah alat ukur yang dikembangkan akan menggunakan dimensi dan indikator dari Balitbang Kemenag Ri yang empat nilai itu, atau alat ukur dari Ditjen Pendis yang sembilan nilai.

 

D.     Kontekstualisasi Materi Islam Wasathiyyah

Kontekstualisasi materi Islam Wasathiyyah berarti menjadikan materi tersebut lebih kontekstual agar terjadi penggabungan antara pengetahuan dan tindakan sehingga tujuan pembelajaran dapat terinternalisasi secara maksimal. Hal lain dalam kontekstualisasi yaitu menyesuaikan materi dengan perkembangan sosial masyarakat terkini. Konteksualisasi materi ini akan menjadikan para pembelajar melibatkan seluruh alat indrawi sehingga pembelajaran lebih aktual, kongkrit, realistik, membumi dan bermakna. Dalam konteksualisasi makna kedua tadi, karena pendidikan harus dipandang sebagai sebuah proses hidup bukan hanya persiapan untuk kehidupan mendatang dan harus berkesinambungan dengan kehidupan sosial, “Education, in its broadest sense is the means of sosial continuity of life” (Dewey, 1964, hlm. 2)

Berikut ini beberapa langkah untuk mengkontekstualisasikan materi Islam Washatiyyah, agar materi terinternalisasi dengan baik dan relevan dengan kondisi sosial masyarakat bagi siswa.

1.      Perunutan Materi Islam Wasathiyyah sesuai tingkatan proses berpikir

Materi itu bisa berbentuk pengetahuan, sikap maupun keterampilan yang harus dipelajari seorang siswa dalam rangka mencapai kompetensi dasar atau capaian pembelajaran yang diharapkan sesuai yang ditetapkan dalam kurikulum. Materi Islam Wasathiyyah ada yang  berupa pengetahuan yang bersifat faktual, konseptual, prosedural dan metakognitif.  Materi Islam Washathiyyah yang bersifat faktual berarti pengetahuan tentang doktrin Islam moderat baik berupa dalil dan sebagainya. Adapun materi berbentuk konseptual yaitu konsep-konsep yang ada yang berkaitan dengan Islam moderat seperti konsep tawassuth, tasamuh dan lainnya. Kemudian berbentuk prosedural seperti teknik pemecahan masalah atau mencari jalan keluar ketika menghadapi permasalahan sosial. Materi bersifat Metakognisi adalah sarana untuk berpikir lebih dalam pada tingkat absatraksi yang lebih tinggi. Ini juga menghasilkan efisiensi dalam berpikir dan belajar. Konseptualisasi pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi memperluas cakupan penerapan dan transfer ide dan pemahaman, seperti strategi memimpin masyarakat yang  majemuk dan lain sebagainya.

Dalam hal tersebut, materi Islam washatiyyah dikembangkan dan dikontekstualisasikan dengan memulai dari materi yang mudah untuk nantinya bisa memahami materi yang sulit, dari materi Islam Wasathiyyah yang konkret untuk memahami materi tersebut yang berbentuk abstrak, dari materi Islam Wasathiyyah yang sederhana ke materi Islam Washathiyyah yang relatif kompleks.

2.      Penyusunan Materi mengacu pada Prinsip Pengembangan Materi yang Ilmiah

Dalam pengembangan materi Islam Washyatiyyah perlu diperhatikan muatan yang ada dalam suatu materi, sehingga para siswa mudah dalam memahami dan mengerti materi Islam Wasathiyyah tersebut. Pengembangannya berdasar pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (a) Prinsip relevansi artinya materi Islam Washatiyyah hendaknya sesuai dan memiliki keserasian antara komponen-komponennya, kesesuaian materi dan kebutuhan masyarakat; (b) Konsistensi, artinya adanya keajegan antara materi Islam Washatiyyah dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai siswa. Dalam sebuah lembaga pendidikan berarti tujuan pendidikan yang paling tinggi sampai tujuan pembelajaran yang paling operasional ada kesesuaian, baik dari tujuan pendidikan Islam, tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional (visi misi lembaga), tujuan jenjang menengah, Standar Kompetensi Lulusan, Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Materi; (c) Prinsip Kontinuitas artinya materi Islam Washatiyyah berkesinambungan dalam kurikulum baik dari tingkatan kelas yang paling bawah sampai ke yang paling atas.

3.      Pemilihan Materi Ajar yang Kontekstual

Substansi sikap moderat merupakan suatu bagian integral dari keseluruhan tujuan pembelajaran  untuk siswa madrasah, sama halnya dengan profil pelajar Pancasila. Para guru dapat mengembangkan materi Islam Wasathiyyah ini agar proses belajar mengajar tidak monoton dan membosankan juga agar tujuan materi tersebut tercapai. Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu pemilihan materi-materi Islam Wasathiyyah baik dari sumber al-Quran, Hadits dan pengalaman kehidupan. Dengan jumlah halaman buku teks yang terbatas, maka seorang penyusun buku ataupun seorang guru mampu mencari materi Islam Moderat yang memiliki prioritas utama untuk ditulis dalam buku tersebut. Dengan jumlah hanya sebelas halaman, tentunya harus sangat ketat dalam memilih materi prioritas. Inovasi dan pengembangan Materi Islam Moderat ini sangat diperlukan, hal ini merupakan tanggung jawab dari seorang pendidik dalam mengembangkannya, karena yang mengetahui secara langsung keadaan siswa atau lingkungan.

4.      Memperbanyak  contoh dan praktek bersosial yang berkaitan dengan keragaman

Membumikan pemahaman siswa dengan praktek sosial, melalui interaksi dengan lingkungan yang beragam dan menginterpretasikan pengetahuan dan pengalaman hidup. Seorang pembelajar dapat mengkonstruksikan  makna dan nilai untuk diinternalisasikan dalam kehidupannya. Pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit hasilnya diperluas melalui konteks (Gredler, 2011, hlm. 25). Lingkungan dapat mendukung proses berpikir peserta didik, mendukung kematangan proses berpikir  dan lainnya. “the invironment influences the personality pattern most notably in three ways: it encourages or stunts the maturation of heredity potentials...” (Hurlock, 1998, hlm. 79).

Para pendidik, khususnya yang menyampaikan materi Islam Washathiyyah memberikan contoh tentang keragaman sosial dan contoh tindakan yang berlawanan dengan itu. Para pendidik juga menjadwalkan kunjungan ke sosial masyarakat yang beragam seperti ke tempat ibadah yang berbeda agama, ke perumahan penduduk yang berbeda agama dan lain sebagainya.

Kontekstualisasi Materi Islam Wasathiyah disusun agar lebih bermakna bagi kehidupan peserta didik, hal ini bisa dilakukan dengan memilah-milah materi yang tekstual dan yang bisa dihubungkan dengan kehidupan sosial sehari-hari. “learning is an enduring change in behavior or in the capacity to behace in a given fashion  which results from practice or other forms of eksperience” (Schunk, 2012, hlm. 3) artinya bahwa pembelajaran merupakan perubahan yang bertahan lama dalam perilaku atau dalam kapasitas berperilaku dengan cara tertentu yang dihasilkan dari praktek dan pengalaman lainnya.

E.      Penutup

Kontekstualisai Materi Islam Washathiyaah di tingkat menengah Atas merupakan suatu keharusan, sebab para siswa dalam tingkatan usia mereka sudah memiliki pemahaman yang kompleks dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Beberapa langkah untuk mengkontekstualisasikan materi Islam Washatiyyah agar bersifat membumi tidak hanya ada dalam pikiran para siswa saja, antara lain : perunutan Materi Ajar Islam Wasathiyyah sesuai tingkatan proses berpikir, penyusunan Materi mengacu pada Prinsip Pengembangan Materi yang Ilmiah, pemilihan Materi Ajar yang Kontekstual, memperbanyak  contoh dan praktek bersosial yang berkaitan dengan keragaman.  Pada akhirnya, materi pembelajaran dan proses pembelajaran perlu mengacu pada konteks sosial dan kultural yang sedang berkembang disamping pada doktrin normatif agama, sehingga materi tersebut harus membumi bukan malah tercerabut dari pengalaman keseharian peserta didik.

F.       Daftar Pustaka

Hidayah, Nurul., (2020), Penerbit Direktorat KSKK, Akidah Akhlak Tingkat X MA

Hurlock, E. B (1998), Personality Development, USA: Mc Graw-Hill Book Company.

Keputusan Dirjen No. 7272 tahun 2019 telah menerbitkan Pedoman Implementasi Moderasi Beragama pada Pendidikan Islam.

Keputusan Kepala Badan Standar Kurikulum dan Assesmen Pendidikan kemendikbud Ristek No 033/H/KR/2022 tentang Dimensi, Elemen dan Subelemen Profil Pelajar Pancasila pada Kurikulum Merdeka

Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 bagian Lampiran Narasi

PP No 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP)

Permendikbud Ristek No 5 Tahun 2022 tenteng Standar Kompetensi Lulusan (SKL)

Permendikbud Ristek No 7 Tahun 2022 tentang Standar Isi

Permendikbud Ristek No 16 tahun 2022 tentang Standar Proses

Schunk, D. H. (2012), Learning Theorries An Educational Perspektive, terjemah Eva dkk edisi keenam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar

SK Dirjen Pendidikan Islam No 3211 tahun 2022 tentang Capaian Pembelajaran PAI dan Bahasa Arab pada Madrasah

Artikel Terkait Perkuliahan INU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Postingan