Selasa, 09 Februari 2016

Sidik Jari

SIDIK JARI

By : Sarlito Wirawan Sarwono

Setelah kasus Otak Tengah, yang akhir-akhir ini sering ditanyakan kepada saya
adalah tentang Test Sidik Jari untuk mengetahui kepribadian anak.
Saya sendiri yang sudah 43 tahun malang-melintang di dunia psikologi, belum pernah tahu sebelumnya
tentang keberadaan test tersebut dan tidak mau ambil pusing. Paling-paling penipuan
lagi, pikir saya.

Tetapi beberapa hari yang lalu, anak saya yang kebetulan juga psikolog, berceritera
kepada saya bahwa dia diajak temannya (baca: dikejar-kejar) temannya untuk
bergabung dengan usaha dia dalam usaha test Sidik Jari. Lumayan, kata temannya
itu. Captive market-nya ibu-ibu yang punya anak kecil, dan sekolah-sekolah, dan
biayanya Rp 500.000,-per anak.

Sebagai psikolog professional anak saya meragukan validitas dan reliabilitas
(keabsahan dan kesahihan) test itu. Apalagi dengan job dan statusnya yang sudah
mapan dan gajinya yang sudah berlipat-lipat di atas UMR, dia tidak mau ambil risiko,
karena itu ia minta pendapat saya.

Saya langsung saja menyatakan bahwa saya pun tidak percaya, tetapi saya
penasaran. Maka saya pun browsing semua jurnal Psikologi (hampir seluruh dunia
yang berbahasa Inggris) yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi
Amerika (APA) dimana saya menjadi salah satu anggotanya.
Hasilnya menakjubkan, sekitar 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print”.
Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait dengan sidik jari dalam
hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak. Hasilnya: NIHIL!
Sedangkan kalau saya gunakan kata kunci Dermatoglyphic (Dermato artinya kulit,
Glyphs artinya ukiran, jadi kulit yang berukiran) ada satu keluaran, yaitu tulisan
berjudul “Neurodevelopmental Interactions Conferring Risk for Schizophrenia: A Study
of Dermatoglyphic Markers in Patients and Relatives”, oleh
Avila, Matthew T.; Sherr, Jay; Valentine, Leanne E.; Blaxton, Teresa A.; Thaker,
Gunvant K. dalam Schizophrenia Bulletin, Vol 29(3), 2003, halaman 595-605. Jadi
tulisan yang satu ini pun hanya tentang hubungan antara gejala sakit jiwa
skhizoprenia (yang dipercaya merupakan penyakit turunan) dengan pola sidik jari
(yang juga merupakan bawaan),

Sebaliknya, dari Google saya mendapat banyak sekali keluaran setelah memasukkan
kata kunci “sidik jari”. Bahkan ada website-nya sendiri. Hampir semuanya berceritera
tentang ke-ilmiahan metode analisis kepribadian dengan test Sidik Jari ini. Bahkan
ada iklan promo yang menawarkan test Sidik jari “hanya” untuk Rp 375.000 per anak.
Sisanya adalah testimoni dari orang-orang yang pernah mencoba test yang katanya
pelaksanaannya sangat mudah. Sedangkan salah satu kalimat promosi mereka adalah
bahwa “Analisa sidik jari memiliki tingkat akurasi lebih tinggi daripada metode
pengukuran lain. Klaim akurasi 87%”.

Luar biasa kalau test itu benar. Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia”
kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, maka dia tinggal ongkang-ongkang kaki
dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai dengan petunjuk hasil test Sidik Jari,
dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti pada orangtua,
beriman, bertakwa, saleh/salehah. Lebih senang lagi anggota Densus88. Tidak perlu
berpayah-payah lagi mereka. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa
mengidentifikasi pembom bunuh diri menangkapnya dan memasukkannya ke penjara.

Tetapi faktanya kan tidak seperti itu. Upaya manusia untuk mempelajari jiwa sudah
berawal sejak zaman Socrates, 400 thn sebelum Masehi, dan melalui perjalanan
sejarah yang panjang sekali, serta mendapat masukan dari berbagai ilmu, termasuk
ilmu faal dan kedokteran, serta matematika, Wilhelm Wundt baru menyatakan
Psikologi sebagai Ilmu yang mandiri pada tahun 1879 di Leipzig, Jerman (versi
Amerika oleh William James, di sekitar tahun yang sama di Universitas Harvard).
Pasca kelahirannya, Psikologi berkembang terus, termasuk mengupayakan berbagai
teknik dan metode untuk mengukur berbagai aspek kepribadian, termasuk test IQ,
minat, sikap, bakat, emosi dan seterusnya. Kemajuannya sangat langkah-demi-la
ngkah, tidak ada yang langsung meloncat, dan sebagaimana ilmu pengetahuan
lainnya, setiap kemajuan, temuan atau kritik selalu dilaporkan dalam jurnal-jurnal dan
seminar-seminar psikologi seluruh dunia. Karena itulah maka langkah pertama saya
adalah mengecek jurnal ilmiah Psikologi untuk memastikan apakah test Sidik Jari ini
termasuk metode yang diakui dalam Psikologi atau tidak.

Di sisi lain, teknik analisis sidik jari juga sudah berembang sejak 1800an. Tahun 1880
Dr Henry Faulds melaporkan tentang sistem klasifikasi yang dibuatnya untuk
mengidentifikasi seseorang. Tahun 1901 teknik yang disebut Daktiloskopi ini
digunakan di Inggris, 1902 di Amerika digunakan di kalangan pegawai negeri, 1905 di
Angkatan darat AS, dan sejak 1924 mulai dipakai oleh FBI. Tetapi semuanya adalah
untuk menentukan identitas fisik seseorang. Misalnya, apakah benar sidik jari yang
ditinggalkan pelaku di TKP (Tempat Kejadian Perkara) perampokan adalah milik si
Fulan. Sebelum ditemukan system DNA, Daktiloskopi lah yang menjadi andalan Polisi.
Namun di kemudian hari, nampaknya teknik analisis Sidik Jari yang awalnya hanya
untuk identifkasi fisik, berkembang menjadi teknik identifikasi psikis (kejiwaan) juga.
Ilmuwan Inggris Sir Francis Galton yang masih sepupu Sir Charlis Darwin adalah
penganut teori evolusi. Dia percaya bahwa kepribadian ditentukan oleh bakat-bakat
yang dibawa sejak lahir dan bakat-bakat itu terukir di sidik jari srtiap orang. Maka ia
menerbitkan buku “Finger prints” (1888) dan memperkenalkan klasifikasi sidik jari
yang dihubungkan dengan klasifikasi kepribadian.
Pasca Galton, nampaknya Dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai
ilmu pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku dan jurnal-jurnal “ilmiah”
mereka sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci Dermatoglyphs akan
keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya di luar komunitas ilmu psikologi.
Dengan demikian Dermatoglyphs sebenarnya adalah pseudo science (ilmu semu) dari
psikologi.

Ilmu semu lain dalam psikologi yang banyak kita kenal adalah Astrologi (banyak di
majalah-majalah wanita dan remaja, tetapi tidak pernah ada di Koran SINDO),
Palmistri (ilmu rajah tangan, yang ketika saya mahasiswa sering saya pakai untuk
merayu mahasiswi-mahasiswi Fakultas Sastra sambil meraba-raba tangannya),
Numerologi (meramal atau menjodohkan orang dengan menggunakan angka-angka
tanggal lahir dsb.), Tarrot (dengan menggunakan kartu-kartu) dan masih banyak lagi.
Semua itu mengklaim diri sebagai ilmu, lengkap dengan literatur dan teknik masing-
masing, dan memang nampaknya sahih dan canggih betul (ada yang putus dari pacar
gara-gara bintangnya tidak cocok).

Tetapi ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa
diverifikasi teorinya. Dalam Astrologi, misalnya, tidak pernah bisa dibuktikan hubungan
antara singa yang galak, dengan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia
berbintang Leo dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak
merpati, loh!).
Dalam hal ilmu Sidik Jari, sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hububnannya
antara sidik jari (bawaan) dengan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karir,
bahkan kesalehan seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variable seperti faktor
sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun juga
termasuk sedikit faktor bawaan.

Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh fator bawaan (nativisme) sudah lama
ditinggalkan oleh Psikologi . Teori yang berlaku sekarang adalah bahwa kepribadian
ditentukan oleh pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Karena itu untuk
memeriksanya diperlukan proses yang panjang (metode psikodiagnostik, assessment)
dan duit yang lumayan banyak.
Karena itu saya tidak pernah menyarankan orang untuk ikut psikotes kalau hanya
untuk ingin tahu. Buang-buang duit. Tetapi lebih sia-sia lagi kalau buang duit untuk
tes Sidik Jari. Dr Budi Matindas, psikolog (UI) menerangkannya jauh lebih simpel:
sidik jari permanen dari lahir sampai mati. Jiwa/kepribadian berubah terus dari bayi
sampai tua. Bagaimana sesuatu yang berubah bisa berkorelasi dengan sesuatu yang
tidak pernah berubah?

Jakarta, 11 Mei 2011
Sarlito W. Sarwono Tulisan ini dimuat di Koran SINDO 15 Mei 2011. Atas permintaan
banyak pihak, saya muat ulang di sini.

*saya termasuk yg suka metode observasi, dibanding tes2an, krn keyakinan yg sama bhw manusia itu dinamis

Balita Schooling Azzakiyah Medan Rahmat Dian

Artikel Terkait Kajian Umum

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar Postingan